Fenomena Rojali dan Rohana di Mall Dampaknya Apa? Ini Penjelasannya

Fenomena Rojali dan Rohana di Mall Dampaknya Apa? Ini Penjelasannya

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Minggu, 27 Jul 2025 13:21 WIB
Grand Indonesia Shopping Town merupakan mal di Jakarta. Pada tahun 2007 Hotel Indonesia mengalami pemugaran. Selanjutnya setelah dibuka kembali, hotel akan dikelola oleh grup Kempinski dan namanya diganti menjadi Hotel Indonesia - Kempinski. File/detikFoto.
Pengunjung mall. (Foto: Rachman Haryanto)
Jogja -

Fenomena rojali (rombongan jarang beli) dan rohana (rombongan hanya nanya) menggambarkan perubahan perilaku konsumen yang sering terlihat di pusat perbelanjaan. Istilah ini merujuk pada sekelompok orang yang datang ke mall hanya untuk melihat-lihat, bertanya-tanya, atau sekadar nongkrong, tanpa melakukan pembelian berarti.

Meski bukan hal baru, tren ini kini makin mencolok dan kerap dikaitkan dengan turunnya daya beli masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Dalam laporan detikFinance, perilaku rojali dan rohana mulai terlihat pada kalangan menengah atas.

Lalu, apakah fenomena rojali dan rohana ini akan berdampak pada perekonomian dalam skala yang lebih besar? Mari kita ulas, detikers!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dampak Fenomena Rojali dan Rohana

Seperti penjelasan di atas, fenomena rojali maupun rohana merupakan bentuk penurunan daya beli masyarakat. Pada akhirnya, ini akan menimbulkan dampak yang besar bagi perekonomian. Mari simak penjelasannya berikut ini.

ADVERTISEMENT

1. Turunnya Permintaan Barang dan Jasa

Dalam buku Kumpulan Soal dan Pembahasan Ujian Ekonomi Tingkat SMA oleh Nur Sri Lestari, dijelaskan bahwa penurunan daya beli masyarakat akan berdampak langsung pada menurunnya permintaan terhadap barang dan jasa. Ketika pendapatan rumah tangga menyusut, konsumen cenderung menahan pengeluaran untuk kebutuhan yang sifatnya non-prioritas.

Barang-barang sekunder atau tersier akan menjadi pilihan terakhir untuk dibeli. Akibatnya, akan banyak sektor usaha mulai merasakan penurunan penjualan. Dalam jangka pendek, ini akan membuat perputaran ekonomi melambat dan tekanan pada pelaku usaha semakin besar.

2. Produksi Menurun dan PHK Meningkat

Ketika permintaan melemah, perusahaan akan menyesuaikan tingkat produksinya. Hal ini turut diuraikan dalam buku Masa Depan Industri Kelapa Sawit Indonesia oleh Ishak Hasan dkk. Di situ dijelaskan bahwa produksi yang menurun menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan.

Jika kondisi ini berlangsung lama, perusahaan akan kesulitan menutup biaya operasional termasuk menggaji karyawan. Banyak pelaku industri akhirnya terpaksa merumahkan atau mem-PHK sebagian tenaga kerja sebagai langkah efisiensi. Gelombang PHK ini tentu saja memicu masalah baru, terutama meningkatnya angka pengangguran dan meluasnya tekanan ekonomi rumah tangga.

3. Terganggunya Konsumsi dan Pendapatan UMKM

UMKM menjadi sektor yang sangat rentan terhadap fluktuasi daya beli masyarakat. Dalam buku Teori Ekonomi Makro untuk UMKM oleh Zulkarnain Nasution dan Henky Japina, dijelaskan bahwa ketika tingkat pengangguran meningkat akibat PHK, maka pendapatan masyarakat pun menurun. Hal ini berdampak langsung pada pola konsumsi, terutama terhadap produk-produk dari UMKM yang biasanya bersifat konsumtif dan tidak primer.

Akibatnya, pendapatan pelaku UMKM menyusut drastis. Karena sebagian besar UMKM bergantung pada pasar lokal, mereka tidak punya bantalan kuat untuk bertahan dalam tekanan ekonomi seperti ini. Hal ini dapat mengancam keberlangsungan bisnis skala kecil yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.

4. Peningkatan Pengangguran dan Penurunan Investasi

Kondisi ekonomi yang lesu juga berdampak pada keputusan investasi, baik oleh pelaku usaha besar maupun kecil. Dalam buku Ekonomi Teknik karya Rashid Ridho Harahap dkk, disebutkan bahwa ketika konsumen menurunkan pengeluarannya, perusahaan mengalami tekanan keuangan. Untuk bertahan, mereka akan memangkas biaya dengan mengurangi tenaga kerja.

Peningkatan pengangguran ini semakin memperburuk daya beli, menciptakan lingkaran yang sulit diputus. Selain itu, ketidakpastian ekonomi membuat pelaku bisnis ragu untuk menanamkan modal baru. Penurunan investasi ini tentu berdampak pada pertumbuhan jangka panjang dan bisa memperlambat pemulihan ekonomi secara keseluruhan.

Penyebab Fenomena Rojali dan Rohana di Mall

Dikutip dari laporan detikFinance, fenomena rojali dan rohana muncul sebagai respons langsung terhadap kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil, baik secara nasional maupun global. Penyebab utamanya bervariasi tergantung pada segmen masyarakat.

Untuk kelas menengah ke bawah, penyebabnya adalah menurunnya daya beli akibat terbatasnya uang tunai yang dimiliki. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum APPBI, Alphonsus Widjaja.

"Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," ungkap Alphonsus.

Sementara itu, masyarakat kelas menengah atas cenderung bersikap lebih hati-hati dalam membelanjakan uangnya karena mempertimbangkan situasi ekonomi global.

"Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih ke hati-hati dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global," lanjutnya.

Selain itu, pergeseran ke belanja daring juga ikut memperkuat kebiasaan 'lihat-lihat dulu' di pusat perbelanjaan, sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perdagangan Budi Santoso. "Kita tuh bebas mau beli di online, mau beli di offline.

"Dari dulu fenomena itu (rojali) juga ada. Namanya orang dari dulu 'kan juga begitu. Orang mau belanja, dicek dulu, yang ingin lihat barangnya bagus atau tidak, harganya seperti apa," ujar Budi.

Demikianlah tadi penjelasan mengenai dampak dari fenomena rojali dan rohana di mall. Semoga bermanfaat!




(sto/aku)

Hide Ads