Istilah Rojali dan Rohana tengah ramai diperbincangkan, terutama di media sosial. Meski terdengar jenaka, dua istilah ini ternyata menyimpan makna yang cukup serius karena berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.
Fenomena ini membuat para pelaku usaha mulai resah, bukan karena sepi pengunjung, melainkan karena banyaknya yang hanya datang, melihat-lihat, lalu pulang tanpa belanja. Lantas, apa sebenarnya makna istilah rojali dan rohana yang lagi ngetren?
Pengertian Rojali dan Rohana
Dilansir detikFinance, istilah Rojali dan Rohana tengah ramai diperbincangkan di media sosial karena dianggap merepresentasikan perilaku unik pengunjung pusat perbelanjaan. Secara harfiah, Rojali merupakan singkatan dari Rombongan Jarang Beli, sedangkan Rohana adalah kependekan dari Rombongan Hanya Nanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Istilah rojali dan rohana muncul sebagai bentuk sindiran jenaka terhadap pengunjung yang datang dalam rombongan besar ke mal atau toko, namun tidak melakukan pembelian apa pun.
Rojali cenderung hanya berjalan-jalan, menikmati suasana, atau sekadar nongkrong, sedangkan Rohana lebih banyak bertanya-tanya tentang harga atau produk tapi akhirnya tidak jadi membeli. Meskipun terkesan lucu, fenomena ini mencerminkan tren perubahan perilaku konsumen di tengah tantangan ekonomi.
Penyebab Fenomena Rojali dan Rohana
Fenomena ini tidak hanya muncul di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja menyampaikan, kelas menengah atas pun turut menjadi bagian dari fenomena rojali dan rohana, meskipun dengan latar belakang yang berbeda.
"Kalau yang di kelas menengah atas, penyebabnya misalkan mereka lebih ke hati-hati dalam berbelanja. Apalagi kalau ada pengaruh makroekonomi, mikroekonomi dari global. Sehingga mereka (memilih) belanja atau investasi? 'Kan itu juga terjadi," ujar Alphonsus, dikutip dari detikFinance.
Di sisi lain, kelompok menengah ke bawah lebih dipengaruhi faktor daya beli. Meski uang yang mereka miliki terbatas, kunjungan ke pusat perbelanjaan masih tetap dilakukan, walaupun hanya untuk sekadar cuci mata.
"Kemudian sekarang memang terjadi ini lebih karena faktor daya beli, khususnya yang di kelas menengah bawah. Daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan. Makanya data APBBI menyatakan bahwa jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap naik, meskipun tidak signifikan," ungkapnya.
Tanggapan Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) ikut menyoroti fenomena rojali dan rohana. Menurut BI, kondisi ini menunjukkan bahwa konsumen semakin selektif dalam membelanjakan uang mereka. BI melihat hal ini sebagai sinyal penting bahwa masyarakat sedang menyesuaikan pola konsumsi dengan kondisi ekonomi yang berlangsung.
"Untuk menjaga agar roda ekonomi tetap bergerak, Bank Indonesia menurunkan BI-Rate. Tujuannya? Mendorong perbankan agar bisa menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih terjangkau, sehingga konsumsi dan investasi tetap tumbuh di tengah tantangan," ujar BI dalam akun Instagram resmi, dikutip detikFinance.
"Didukung sinergi berbagai pihak, kebijakan ini diharapkan dapat membuka ruang lebih banyak bagi peluang usaha, akses pembiayaan, dan perputaran ekonomi berkelanjutan," tambahnya.
Penurunan BI Rate ini diharapkan mampu menurunkan Cost of Fund (COF) alias biaya dana, yang pada akhirnya berdampak pada bunga kredit yang lebih rendah bagi masyarakat. Dengan turunnya bunga kredit, permintaan pembiayaan pun diharapkan meningkat dan bisa mendorong belanja serta sektor produksi.
Langkah ini menjadi salah satu upaya agar rojali dan rohana tak hanya numpang lewat di mal, tapi ikut menggairahkan transaksi ritel yang sempat lesu. Harapannya, dengan meningkatnya belanja masyarakat, ekonomi nasional pun bisa terus tumbuh secara berkelanjutan.
Baca artikel selengkapnya di detikFinance.
(irb/hil)