Beragam Respons Warga Jogja Kebijakan Pengecer LPG 3 Kg Dihapus

Round-Up

Beragam Respons Warga Jogja Kebijakan Pengecer LPG 3 Kg Dihapus

Tim detikJogja - detikJogja
Selasa, 04 Feb 2025 07:14 WIB
Ilustrasi tabung gas melon 3 kg subsidi
Ilustrasi gas LPG 3 kg. Foto: Getty Images/iStockphoto/danikancil
Jogja -

Pemerintah menyatakan per 1 Februari 2025, tidak ada lagi pengecer Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg. Warga Jogja memberikan respons atas kebijakan ini.

Dilansir detikFinance, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung, menerangkan para pengecer akan didorong untuk menjadi pangkalan resmi PT Pertamina (Persero).

Langkah ini ia lakukan untuk menata kembali penjualan LPG sesuai dengan harga yang telah ditetapkan. Ke depan, para pengecer yang bertransformasi menjadi pangkalan akan mendapat nomor induk usaha.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini kita kan lagi menata, bagaimana harga yang diterima oleh masyarakat bisa sesuai dengan batasan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadi yang pengecer, justru kita jadikan pangkalan. Itu ada formal untuk mereka mendapatkan nomor induk perusahaan terlebih dulu," kata Yuliot kepada wartawan di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (31/1/2025).

Yuliot mengatakan transformasi pengecer menjadi pangkalan akan memutus mata rantai penyaluran LPG 3 kg. Sehingga risiko oversupply dan penyalahgunaan penyaluran LPG 3 kg bisa dihindari.

ADVERTISEMENT

"Jadi mungkin itu juga tidak terjadi oversupply atau untuk penggunaan LPG-nya tidak tepat. (Aturannya) Itu kan pengaturannya Pertamina. Ini distribusinya kan penyediaannya melalui Pertamina," ujarnya.

Lantas, seperti apa respons warga Jogja? Berikut rangkumannya oleh detikJogja.

1. Khawatir LPG 3 Kg Makin Sulit Didapatkan

Damar, warga di Bumijo, Jetis, Kota Jogja, mengungkapkan kekhawatiran kebijakan ini akan membuat warga semakin susah mendapat gas melon. Dia mengaku tidak mempersoalkan pengecer menjual dengan harga lebih tinggi.

"Saya beli Rp 22-23 ribu, ya nggak masalah (pengecer lebih mahal), kan gas susah cari ya jadi harga berapa pun yang penting dapat," ujar Damar saat ditemui di Pasar Senen, Ngampilan, Gedongtengen, Kota Jogja, Senin (3/2/2025).

Damar mengaku tidak setuju dengan kebijakan pengecer LPG menjadi pangkalan. Menurutnya, jumlah pangkalan masih sedikit dan pangkalan tidak memberi kemudahan bagi pembeli seperti yang dilakukan pengecer.

"Pangkalan kan unitnya lebih sedikit, lebih jauh juga. Kalau pengecer kan juga ngasih layanan antar," ungkapnya.

2. Tak Permasalahkan Pengecer Dihapus Asal...

Hakim, warga Kota Jogja lainnya, berujar dia tidak masalah jika kebijakan tersebut diterapkan. Hanya saja, pemerintah harus memastikan stok serta akses pembelian bagi warga.

"Kalau saya ndak masalah, yang penting stok aman. Sama pengganti pengecer berarti pangkalan ditambah," ujar Hakim.

Kondisi gas LPG 3 kg yang dijual di Wates, Kulon Progo, Senin (3/2/2025).Kondisi gas LPG 3 kg yang dijual di Wates, Kulon Progo, Senin (3/2/2025). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja

3. Emak-emak Kulon Progo Sambat

Keluhan disuarakan Wagiyem, emak-emak asal Kokap, Kulon Progo. Dia mengutarakan kebijakan itu akan merepotkannya jika sedang terburu-buru.

"Yang jelas jadi akan repot, karena kayak kami gini jadi nggak bisa cepat kalau pas buru-buru butuh ketika tabung gas di rumah habis," keluhnya.

Wagiyem mengatakan selama ini dirinya membeli gas LPG di pengecer karena lebih dekat dengan rumah. Jika akhirnya tidak boleh ada penjualan eceran, maka dia harus mengeluarkan tenaga dan biaya lebih untuk bisa sampai ke pangkalan gas yang jaraknya cukup jauh.

"Kalau selama ini saya mengandalkan pengecer karena cuma deket. Kalau harus ke pangkalan yang adanya di Wates, ya jauh harus naik motor, belum lagi waktunya," ujarnya.

4. Pengecer Tak Ada Modal Jadi Pangkalan

Salah satu pengecer LPG 3 kg di Wates, Agus Salim, menyatakan keberatan. Salah satunya terkait biaya jika diminta naik menjadi pangkalan.

Pasalnya, untuk jadi pangkalan, dirinya setidaknya harus bisa menyetok minimal 100 tabung.

"Kalau mau jadi pangkalan kan harus mampu nyetok paling tidak 100 tabung gas dalam seminggu. Sedangkan saat ini saya hanya mampu 20 tabung gas 3 kg tiap minggunya. Ini pun tergantung ketersediaan di pangkalan," ucapnya.

Adapun pengelola pangkalan di Wates, Suwalgito, menilai kehadiran pengecer malah membantu distribusi ke masyarakat daripada langsung ke pangkalan.

"Mereka (pengecer) ini malah membantu penjualan gas menjadi lebih cepat sehingga bisa segera balik modal. Kalau hanya mengandalkan konsumen rumah tangga, bakal lama sekali habisnya, beda dengan adanya pengecer bisa cepat habis," terang Suwalgito.

Sebagai informasi, Suwalgito setiap minggunya bisa menyetok hingga 200 tabung gas LPG 3 kg yang dijual dengan harga Rp 18 ribu per tabung. Mayoritas dibeli oleh pengecer untuk dijual dengan harga kisaran Rp 21 ribu.

Oleh karena itu Suwalgito ingin agar pengecer masih diperbolehkan menjual gas LPG. "Seharusnya pengecer tetap dibolehkan saja untuk menjual gas 3 kg, biar di pangkalan seperti saya juga cepat laku," ujarnya.

5. Pakar UGM Nilai Kebijakan Itu Blunder

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, turut menyoroti kebijakan tersebut. Dalam penilaiannya, keputusan pemerintah yang melarang pengecer gas melon akan memberi masalah.

"Kebijakan tersebut merupakan kebijakan blunder lantaran mematikan pengusaha akar rumput, menyusahkan konsumen, dan melabrak komitmen Presiden Prabowo yang berpihak kepada rakyat kecil," kata Fahmy dalam keterangan tertulis yang diterima detikJogja.

Fahmy bilang, kebijakan ini sama saja mematikan usaha masyarakat kecil. Sebab, selama ini mereka mengais pendapatan dengan berjualan gas 3 kg.

"Larangan bagi pengecer menjual LPG 3 Kg mematikan usaha mereka. Dampaknya, pengusaha akar rumput kehilangan pendapatan, kembali menjadi pengangguran dan terperosok menjadi rakyat miskin," ujarnya.

Adapun kebijakan ini mengharuskan masyarakat membeli gas melon hanya di pangkalan atau penyalur resmi Pertamina. Pengecer yang ingin tetap menjual gas melon harus mengubah dari pengecer menjadi pangkalan dan diberi waktu 1 bulan untuk pengubahan tersebut.

"Mustahil bagi pengusaha akar rumput untuk mengubah menjadi pangkalan atau pengecer resmi Pertamina karena dibutuhkan modal yang tidak kecil untuk membayar pembelian LPG 3 dalam jumlah besar," ucap dia.

Di sisi lain, kebijakan ini juga dianggap akan menyusahkan konsumen. Apalagi jika jarak pangkalan gas jauh dari tempat tinggal konsumen.

Fahmy menilai, larangan pengecer menjual gas melon sama saja melabrak komitmen Prabowo yang menyatakan berpihak kepada rakyat kecil. Baik pengusaha akar rumput maupun konsumen rakyat miskin.




(apu/apu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads