Musyawarah terdampak tol Jogja-YIA di Kantor Kalurahan Banyuraden, Gamping, Sleman sempat memanas. Ada sejumlah warga yang tidak setuju dengan nilai appraisal uang ganti rugi (UGR).
Akhirnya panitia pengadaan tanah jalan tol mengadakan musyawarah tahap kedua. Johanes Witarto, salah satu warga yang menolak, menyebut penghitungan appraisal awal tidak adil.
"Kami keberatan karena tidak memihak kami, karena range harga di-press minim. Kalau berpihak ke kami, paling tidak dinaikkan ke tengah, tidak usah sampai maksimal tidak masalah," kata Witarto di Kantor Kalurahan Banyuraden, Gamping, Sleman, Jumat (20/12/2024).
Witarto menuturkan warga tidak diajak rembugan saat penilaian appraisal. Kemudian nominal UGR tiba-tiba keluar dan tidak bisa berubah. Itulah yang memunculkan penolakan warga atas penetapan appraisal UGR di Banyuraden.
"Ini masalahnya kami tidak diajak rembugan oleh appraisalnya. Ketika sudah ketok sudah final. Mestinya sebelum itu kami diajak rembugan dengan appraisal supaya ada namanya musyawarah," katanya.
Witarto menuturkan dia memiliki tiga bidang tanah dengan total sekitar 1.000 meter persegi. Dia mengeluhkan nilai appraisal yang berbeda-beda untuk bidang tanahnya. Nilai tanah yang berada di sisi dalam berbeda dengan tanah yang memiliki akses jalan.
Dia mengatakan, karena tidak ada komunikasi yang baik saat penghitungan appraisal, warga tidak bisa melakukan sanggahan secara langsung selama proses penghitungan.
"Saya punya 3 sertifikat tapi dihitungnya beda-beda. Saya marah karena tim pengadaan yang tunjuk apppraisal, appraisal yang saya beri rapot merah. Kalau dulu jaman Jokowi ganti untung, sekarang tidak, ganti rugi tenan iki," ujarnya.
Meski belum sepakat dengan besaran appraisal, Witarto tetap menandatangani musyawarah agar proses pembayaran UGR cepat selesai.
"Akhirnya tanda tangan, daripada repot nanti kena pajak dan biaya pengadilan. Kalau menolak dan pengadilan itu nanti biaya pajak kita yang bayar. Kalau nurut, pajak jual beli dibayari mereka," katanya.
Laut Hermansyah juga akhirnya sepakat dengan nilai appraisal. Awalnya dia sempat menolak karena adanya kesalahan penilaian. Namun setelah ada perbaikan, nominal appraisal juga tetap tidak sesuai yang diharapkan.
Hermansyah menuturkan awalnya tim appraisal menganggap tanah sawahnya berada di sisi dalam. Faktanya, sawahnya berimpitan langsung dengan jalan Ringroad. Sehingga ada perbedaan yang mencolok dengan nilai appraisal sawah 1.000 meter persegi miliknya.
Baca juga: Daftar Lengkap UMK 2025 di DIY |
"Setelah diperbaiki ternyata ya tetap beda dengan sawah di utara milik saya. Padahal lokasinya sama-sama pinggir Ringroad. Memang lebih tinggi setelah diperbaiki, tapi nilainya beda dengan yang satu blok dengan sawah di utaranya," kata Hermansyah.
Warga Kradenan lainnya, Mirah Hapsari menuturkan warga penolak sempat mengirimkan surat keberatan. Hanya saja skema ini tak berdampak signifikan. Adanya musyawarah tahap kedua juga tak mengubah besaran nominal appraisal.
"Dari sisi harga belum sepakat sebenarnya. Dari 78 warga yang ikut bersurat 12 yang dari Kradenan saja. Ini tadi tetap tanda tangan, karena pertimbangan lama prosesnya kalau pengadilan. Belum menanggung biaya pajak 2,5 persen," ujarnya.
Respons panitia pengadaan tanah di halaman selanjutnya.
(dil/ahr)