Teka-teki Tewasnya Sultan HB IV: Belia Naik Takhta, 19 Tahun Meninggal Dunia

Teka-teki Tewasnya Sultan HB IV: Belia Naik Takhta, 19 Tahun Meninggal Dunia

Anindya Milagsita - detikJogja
Senin, 17 Nov 2025 15:53 WIB
Isi Perjanjian Giyanti, Cikal Bakal Perpecahan Keraton Jogja dan Solo
Keraton Jogja. (Foto: LBM1948/Wikimedia Commons/CC BY-SA 4.0)
Jogja -

Setiap raja yang memimpin Keraton Kasultanan Ngayogyakarta atau Keraton Jogja dari masa ke masa menyimpan kisah tersendiri. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IV yang dikenal naik takhta sebagai Raja Keraton Jogja di usia belia hingga wafat saat masih berumur sangat muda. Namun, bagaimana kisahnya?

Setelah Sultan HB III mangkat atau meninggal, sang putra harus segera naik takhta untuk menggantikannya. Kendati begitu, kepergian Sultan HB III berlangsung di saat keturunannya masih berada pada usia yang tergolong sangat muda. Hal inilah yang membuat putranya yang kemudian memiliki gelar sebagai Sultan HB IV perlu mendapatkan pendampingan.

Tak hanya itu saja, Sultan HB IV juga menorehkan sejarah sebagai Raja Keraton Jogja yang memiliki masa memerintah atau menjabat paling singkat. Sebab, Sultan HB IV wafat saat masih berusia 19 tahun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, apa yang terjadi dengan Sultan HB IV dan bagaimana kisah di balik naiknya takhta putra Sultan HB III dalam usia yang masih belia? Simak uraian lengkapnya berikut ini, ya.

Poin Utamanya:

ADVERTISEMENT
  • Sri Sultan HB IV lahir pada 3 April 1804 sebagai Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, putra ke-8 Sultan HB III.
  • Sosok Sri Sultan HB IV naik takhta sebagai Raja Keraton Jogja pada usia 10 tahun yang mana selama memerintah dipenuhi dengan tantangan, mulai dari harus didampingi wali raja hingga tindakan Patih Danurejo IV yang semena-mena.
  • Naik takhta di usia belia, Sultan HB IV wafat tiba-tiba pada usia 19 tahun pada 6 Desember 1823 yang mana penyebab kematiannya masih belum diketahui secara pasti hingga saat ini.

Siapa Sri Sultan Hamengku Buwono IV?

Sebelum mengetahui kisah naiknya takhta Sultan HB IV sampai dengan tutup usia, terlebih dahulu mari mengenal sosoknya secara lebih dekat. Mengutip dari buku 'Kitab Terlengkap Sejarah Mataram' karya Soedjipto Abimanyu, Sri Sultan HB IV sebelumnya memiliki nama asli Gusti Raden Mas Ibnu Jarot.

Sosok Sultan HB IV lahir pada tanggal 3 April 1804 silam sebagai keturunan dari Sultan HB III. Gusti Raden Mas Ibnu Jarot atau nantinya bergelar Sultan HB IV sebenarnya bukanlah putra sulung Sultan HB III. Putra sulung dari Sultan HB III adalah Raden Mas Antawirya atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Diponegoro.

Adapun Gusti Raden Mas Ibnu Jarot merupakan anak ke-8 dari Sultan HB III. Sosoknya lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono. Dikisahkan Pangeran Diponegoro sangat akrab dengan adiknya, yaitu Gusti Raden Mas Ibnu Jarot.

Menurut buku 'Konflik dan Taktik Perang Jawa 1825-1830 Menelusuri Jejak Jihad dan Pengorbanan Pangeran Diponegoro' oleh Muhammad Muhibbuddin, Pangeran Diponegoro sering kali mengajarkan sang adik. Tidak hanya itu saja, saat Gusti Raden Mas Ibnu Jarot atau yang sempat dijuluki sebagai Pangeran Jarot harus melakukan khitan, Pangeran Diponegoro setia mendampinginya.

Memahami sang adik masih butuh bimbingan dari orang-orang yang lebih dewasa, Pangeran Diponegoro hadir tidak hanya sebagai kakak yang baik, tapi juga guru. Pangeran Diponegoro banyak mengajari Pangeran Jarot tentang kisah-kisah budi pekerti yang tertuang di dalam sejumlah kitab dari tanah Arab atau Syria.

Bukan hanya itu saja, Pangeran Diponegoro turut membacakan berbagai naskah penting yang bertemakan kepemimpinan. Kendati begitu, hubungan yang tadinya berjalan dengan baik dan bisa dibilang akrab, mulai renggang. Salah satu penyebabnya karena adanya pengaruh yang terjadi di lingkup Keraton Yogyakarta.

Kisah Sri Sultan Hamengku Buwono IV Naik Taktha di Usia Belia

Masih disampaikan dalam sumber yang sama, saat sang ayah tutup usia, Pangeran Jarot masih berusia 10 tahun. Usia sang pengganti Raja Keraton Jogja pada saat itu yang terlampau belia membuatnya perlu mendapatkan bimbingan.

Terdapat seorang wali pemerintahan bernama Paku Alam I yang ditunjuk untuk mendampingi Pangeran Jarot yang telah bergelar sebagai Sri Sultan HB IV memerintah kerajaan pada saat itu. Sebagai wali raja, Paku Alam I hanya akan mendampingi Sultan HB IV sampai nanti akil balig.

Hal tersebut membuat selama 6 tahun masa pemerintahan Sri Sultan HB IV, Paku Alam I masih memberikan pendampingan. Kemudian sampailah di tahun 1820, di mana Sultan HB IV mulai memerintah sendiri.

Selama memerintah, Sultan HB IV mengalami kesulitan tersendiri. Pasalnya, seorang patih bernama Patih Danurejo IV bisa dibilang menyalahgunakan kekuasaannya. Mengacu dari buku 'Melacak Gerakan Perlawanan dan Laku Spiritualitas Pangeran Diponegoro' karya Peri Mardiyono, Patih Danurejo IV dikenal kerap bertindak sesuka hati.

Bahkan dirinya menempatkan saudara-saudaranya sendiri agar dapat mengisi posisi atau jabatan penting di lingkup Keraton Jogja. Hal ini bisa terjadi lantaran pada saat memerintah, Sultan HB IV masih tergolong anak-anak dan didampingi oleh wali. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Patih Danurejo IV agar dapat memaksimalkan kepentingan pribadinya di lingkungan kerajaan.

Tak sampai di situ saja, kewenangan Patih Danurejo IV yang semakin sulit dikendalikan membuatnya bergabung sebagai bagian dari 'kaki tangan' Belanda. Salah satu tindakan yang dinilai keterlaluan adalah saat Patih Danurejo IV mendukung pelaksanaan sewa tanah untuk swasta yang dikenal dengan istilah Landraad. Kebijakan ini ternyata membuat rakyat pribumi banyak mengalami kerugian, alih-alih mendapatkan kesejahteraan.

Nah, kewenangan Patih Danurejo IV inilah yang membuat Pangeran Diponegoro menaruh perhatian. Hal ini kemudian memicu perseteruan di antara keduanya. Puncak ketegangan antara Pangeran Diponegoro dan Patih Danurejo IV ini terjadi di tanggal 12 Juli 1820.

Keduanya berseteru atas dasar ketidaksetujuan Pangeran Diponegoro atas tindakan yang dilakukan oleh Patih Danurejo IV. Namun, di sisi lain, Patih Danurejo IV justru mengelak. Kejadian ini berlangsung di tahun yang sama, yang mana untuk pertama kalinya Sultan HB IV memerintah sendiri tanpa adanya wali raja.

Teka-teki Tewasnya Sri Sultan Hamengku Buwono IV

Selain harus melalui masa memerintah yang tak mudah selagi usianya yang masih tergolong muda, Sri Sultan HB IV juga harus mengalami takdir yang cukup memilukan. Ini dikarenakan hanya berselang 2 tahun setelah memerintah secara mandiri, sang Raja Keraton Jogja tersebut wafat di usia yang terlampau muda.

Masih dikutip dari sumber yang sama, Sri Sultan HB IV meninggal dunia di usia yang ke-19 tahun, tepatnya pada 6 Desember 1823. Pada saat itu, sosoknya baru saja kembali dari kunjungan ke pesanggrahan.

Setelah wafat, Sri Sultan HB IV juga dikenal dengan nama Sultan Seda Besiyar. Jasad Sultan HB IV dimakamkan di Astana Besiyaran Pajimatan, Imogiri. Sultan HB IV wafat meninggalkan 9 orang istri dan juga 18 orang anak. Sayangnya, sejumlah anaknya juga telah wafat saat masih berusia kecil juga.

Saat Sultan HB IV mangkat, penerus takhta Keraton Jogja juga ternyata berusia masih belia. Hal ini bisa dibilang mengingatkan kita akan Sultan HB IV yang ditinggal ayahnya pada usia 10 tahun. Pada saat Sultan HB IV meninggal dunia, putranya yang kelak menjadi penerus takhta Keraton Jogja baru berusia 3 tahun.

Lantas, apa penyebab Sri Sultan HB IV meninggal dunia? Sebenarnya mengenai hal ini belum diketahui secara pasti. Masih dijelaskan dalam buku yang sama, yaitu 'Konflik dan Taktik Perang Jawa 1825-1830 Menelusuri Jejak Jihad dan Pengorbanan Pangeran Diponegoro', diduga Sultan HB IV wafat karena diracun.

Hal tersebut didasarkan pada isu-isu yang beredar pada saat itu. Namun, kronologi tewasnya Sri Sultan HB IV digambarkan dalam situasi yang mana sosoknya baru saja kembali dari perjalanan. Secara tiba-tiba tutuh Sultan HB IV mengalami kejang-kejang dengan sebab yang tidak diketahui.

Tak lama setelah mengalami kejang, Sultan HB IV yang masih berusia 19 tahun menghembuskan napas terakhirnya. Inilah yang membuat penyebab kematian Sultan HB IV bisa dibilang masih menjadi misteri sampai saat ini.

Itulah tadi mengenai sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IV selaku Raja Keraton Yogyakarta terdahulu yang naik takhta di usia belia hingga wafat pada umur yang terbilang masih muda. Semoga informasi ini dapat menambah wawasan baru, ya.




(sto/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads