Sultan Hamengku Buwono II menjadi satu-satunya raja Jogja yang tidak dimakamkan di Kompleks Makam Raja-raja Imogiri. Hal ini sering menimbulkan pertanyaan, seolah-olah ada perubahan adat atau bahkan ketidakakuran di dalam keraton. Padahal, alasan utamanya justru berkaitan dengan situasi politik dan militer yang sangat genting pada masa wafatnya.
Ketika Sultan HB II wafat pada tahun 1828, Perang Diponegoro atau Perang Jawa sedang mencapai puncaknya. Jalur menuju Imogiri tidak aman karena berada di wilayah yang diawasi, diperebutkan, bahkan terlibat pertempuran antara pasukan kolonial dan laskar yang mendukung Diponegoro.
Prosesi pemakaman kerajaan dalam kondisi seperti itu berisiko besar memicu serangan dan bentrokan bersenjata. Oleh karena itulah, pemakamannya dilakukan di Kotagede, bukan sebagai penghilangan derajat, tetapi sebagai tindakan penyelamatan dan penyesuaian keadaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk memahami konteks ini, kita perlu melihat perjalanan politik Sultan HB II, raja yang keras dalam mempertahankan kedaulatan keraton dan berhadapan langsung dengan kekuatan kolonial. Yuk, simak penjelasan lengkapnya, detikers!
Poin utamanya:
- Sultan HB II tidak dimakamkan di Imogiri karena kondisi perang pada tahun 1828 membuat prosesi pemakaman ke sana tidak aman.
- Pemakaman di Kotagede bukan bentuk penurunan status, tetapi keputusan situasional dalam masa konflik besar.
- Kepemimpinan Sultan HB II terkait erat dengan perebutan kekuasaan dan perlawanan terhadap campur tangan kolonial Belanda maupun Inggris.
Kenapa Sultan HB II Tidak Dimakamkan di Makam Raja-raja Imogiri?
Sultan Hamengku Buwono II merupakan satu-satunya raja Jogja yang tidak dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri. Ia justru dimakamkan di Kotagede. Penyebabnya berkaitan langsung dengan situasi politik dan militer pada saat beliau wafat.
Menurut Ilmiawati Safitri dalam artikel Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana "Raja Perempuan", masa pemerintahan Sultan HB II berlangsung dalam suasana politik yang bergolak. Ia dikenal keras dan menolak campur tangan asing, baik Belanda maupun Inggris. Konflik-konflik ini memuncak dalam perebutan kekuasaan, pengasingan, hingga kembalinya HB II ke takhta untuk ketiga kalinya pada tahun 1826, pada masa Perang Diponegoro (1825-1830) sedang berlangsung.
Informasi ini juga ditegaskan oleh laman resmi Keraton Jogja, yang menyebut bahwa pada periode ketiga pemerintahannya, kondisi Jogja berada dalam kekacauan akibat Perang Jawa. Ketika Sultan HB II wafat pada 3 Januari 1828, perang sedang mencapai fase genting.
Karena situasi keamanan tidak memungkinkan, prosesi pemakaman ke Imogiri tidak dapat dilakukan. Perjalanan dari Jogja ke Imogiri memerlukan iring-iringan besar dan melewati wilayah dengan jalur yang dikuasai atau diawasi oleh pasukan Belanda maupun laskar Diponegoro, sehingga berisiko memicu konflik atau serangan.
Selain faktor keamanan, menurut Joko Darmawan dalam buku Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, Sultan HB II juga dipandang sebagai raja yang 'keras kepala' oleh Belanda karena sikap anti-kolonialnya. Meskipun pada akhirnya Belanda mengembalikan HB II ke takhta, hubungan antara HB II dan pihak kolonial tetap tegang. Hal ini turut mempengaruhi keputusan politik di sekitar tata cara pemakamannya.
Dengan demikian, penyebab pemakamannya dilakukan di Kotagede bukan karena Sultan HB II tidak diakui sebagai raja, juga bukan karena adat pemakaman kerajaan berubah. Ia tetap dianggap sah sebagai Sultan Jogja. Namun, keadaan perang dan ancaman keamanan membuat pemindahan jenazah ke Imogiri tidak dapat dilakukan, sehingga pemakamannya dilaksanakan di Kotagede.
Rumitnya Sejarah Kepemimpinan Sultan HB II
Sultan Hamengku Buwono II tidak hanya menarik perhatian karena dimakamkan di Kotagede, 'terpisah' dari raja Jogja lainnya. Sejarah kepemimpinannya sendiri sangat rumit, penuh pergolakan politik, konflik internal keraton, hingga perebutan kekuasaan antara Jogja, Solo, dan pemerintah kolonial Belanda maupun Inggris. Yuk, pelajari alur sejarahnya berikut ini, detikers!
1. Periode Pertama (1792-1810)
Sultan Hamengku Buwono II naik takhta pada 2 April 1792 menggantikan ayahnya, seperti tercatat dalam artikel Djoko Marihandono, Sultan Hamengku Buwono II: Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Sejak awal, ia menunjukkan sikap yang berbeda dari ayahnya (HB I). Jika HB I masih dapat bekerja sama dengan Belanda, HB II justru bersikap keras dan anti-intervensi terhadap kekuasaan kolonial.
Menurut Soedjipto Abimanyu dalam Kitab Terlengkap Sejarah Mataram, Sultan HB II melakukan perombakan pejabat keraton, termasuk mengganti Patih Danureja I dengan cucunya Danureja II. Namun keputusan ini membawa dampak politis, karena Danureja II ternyata lebih berpihak kepada Belanda daripada kepada Sultan.
Ketegangan semakin meningkat ketika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (yang mewakili kekuasaan Prancis di Belanda) mengeluarkan aturan protokoler baru, yang mengharuskan perwakilan Belanda (minister) diperlakukan setara dengan raja dalam tata upacara keraton.
Sebagaimana dijelaskan dalam buku Joko Darmawan, Mengenal Budaya Nasional: Trah Raja-raja Mataram di Tanah Jawa, Sultan HB II menolak tegas hal tersebut. Penolakan ini memicu penyerbuan Jogja pada Desember 1810, dan HB II dipaksa turun takhta, digantikan putranya Sultan Hamengku Buwono III.
2. Periode Kedua (1811-1812)
Setahun setelah diturunkan, situasi berubah akibat Perang Napoleon. Kolonial Belanda digantikan oleh Inggris, dan Thomas Stamford Raffles menjadi penguasa baru Jawa. Dalam kekacauan transisi kekuasaan ini, Sultan HB II kembali merebut takhta, seperti dijelaskan Soedjipto Abimanyu dan Djoko Marihandono.
Namun, hubungan HB II dengan Inggris juga tidak harmonis. Menurut Ilmiawati Safitri dalam artikel Keraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini, Sultan HB II menolak permintaan Raffles untuk menyerahkan beberapa wilayah penting seperti Kedu dan Mojokerto. Selain itu, ia menjalin komunikasi rahasia dengan Surakarta untuk menyusun kekuatan militer melawan Inggris.
Raffles mengetahui rencana ini melalui mata-mata Pangeran Natakusuma, yang kemudian diangkat menjadi Pakualam I sebagai hadiah dukungan kepada Inggris. Pada Juni 1812 terjadi penyerbuan besar ke Keraton Jogja, yang dikenal sebagai Geger Sepoy.
Keraton dijarah, arsip dan pusaka banyak dirampas. Puncaknya, Sultan HB II ditangkap lalu dibuang ke Pulau Penang, seperti dicatat Carey (1985) dan Ricklefs (2005).
3. Periode Ketiga (1826-1828)
Setelah hampir satu dekade diasingkan, Sultan HB II akhirnya dipulangkan pada tahun 1826. Kali ini bukan karena kekuatan militer atau politik, tetapi karena kondisi Perang Diponegoro (1825-1830). Menurut laman resmi Keraton Jogja, Belanda melihat bahwa pengaruh Sultan HB II masih kuat di kalangan bangsawan dan dapat digunakan untuk meredam dukungan terhadap Diponegoro.
Sultan HB II resmi dikembalikan ke takhta pada 20 September 1826. Menurut catatan Soedjipto Abimanyu, pada periode ini, ia dikenal dengan sebutan Sultan Sepuh karena ia berusia lebih dari 75 tahun.
Namun, kesehatannya semakin menurun. Pada 3 Januari 1828, Sultan HB II wafat, dan karena Perang Diponegoro masih berlangsung, tidak memungkinkan menggelar prosesi pemakaman ke Imogiri. Oleh sebab itu, ia dimakamkan di Kotagede.
Mengenal Lebih Dalam tentang Makam Raja-raja Kotagede
Menurut Soedjipto Abimanyu dalam Kitab Terlengkap Sejarah Mataram, Makam Kotagede merupakan kompleks pemakaman leluhur awal Kerajaan Mataram Islam. Kompleks ini adalah tempat dimakamkannya Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam, bersama keluarga dan para pendiri dinasti. Gerbang-gerbangnya berarsitektur Hindu-Jawa, dengan pintu kayu tebal berukiran halus, serta abdi dalem yang berjaga selama 24 jam.
Sementara itu, catatan detikJogja menyebutkan kompleks makam ini berlokasi di Dusun Sayangan, Jagalan, Banguntapan, dekat Masjid Gedhe Mataram. Sutono Dauzan, abdi dalem yang bertugas di sana, mencatat bahwa terdapat 627 makam tokoh di kompleks ini, meskipun angka sebenarnya bisa lebih banyak karena beberapa makam tidak tercatat secara administratif. Tokoh-tokoh tersebut meliputi Ki Ageng Pamanahan, Nyai Ageng Nis, Panembahan Senopati, hingga Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir).
Yang menarik, menurut keterangan yang sama, Sultan Hamengku Buwono II termasuk dalam kelompok 'makam baru' di Kotagede bersama Pakualam I-IV. Kehadirannya di sini menandai pergeseran pemakaman raja dari Imogiri ke Kotagede yang bersifat situasional, bukan tradisi baru.
Selain nilai sejarahnya, Makam Kotagede juga dikenal dengan aturan ziarah yang khas. Seperti dijelaskan oleh Soedjipto Abimanyu kepada detikJogja, peziarah harus mengenakan busana adat Jawa. Laki-laki memakai jarik, baju peranakan, dan blangkon, sedangkan perempuan mengenakan jarik dan kemben tanpa penutup kepala. Pakaian ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan, tetapi juga bagian dari etika spiritual di ruang leluhur Mataram.
Demikianlah, detikers, mengenal kisah Sultan HB II membantu kita melihat bagaimana sejarah kerajaan Jawa tidak hanya diwarnai tradisi, tetapi juga dinamika kekuasaan dan perjuangan mempertahankan martabat politik di tengah tekanan kolonial. Semoga bermanfaat!
(par/alg)












































Komentar Terbanyak
Termasuk Roy Suryo, Ini Daftar 8 Tersangka Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Peran Roy Suryo cs Tersangka Kasus Ijazah Jokowi: Editing-Manipulasi Digital
Museum Soeharto Gelar Doa Bersama Jelang Pengumuman Gelar Pahlawan