Kisah Ratu Kedaton Perjuangkan Takhta untuk Anak hingga Diasingkan dari Jogja

Kisah Ratu Kedaton Perjuangkan Takhta untuk Anak hingga Diasingkan dari Jogja

Anindya Milagsita - detikJogja
Selasa, 23 Sep 2025 16:11 WIB
Ratu Kedaton
Ratu Kedaton. Foto: Isidore van Kinsbergen/ Wikimedia Commons/ Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported
Jogja -

Kisah tentang masa lalu menarik untuk ditelusuri karena mampu memberikan pembelajaran tersendiri bagi kita di masa kini. Termasuk kisah Ratu Kedaton yang berusaha memperjuangkan takhta putranya pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V. Seperti apa kisahnya?

Setiap ibu tentu ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Tidak terkecuali Ratu Kedaton yang juga berusaha mengambil kembali hak putra semata wayangnya. Bukan sesuatu hal yang biasa, sang ratu justru berusaha memperjuangkan takhta putranya untuk menjadi seorang raja.

Bukanlah perkara mudah bagi Ratu Kedaton untuk melakukannya. Selain karena posisinya di dalam kerajaan, tapi juga situasi yang berlangsung di dalamnya membuat ia justru mengalami nasib yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya apa yang terjadi pada Ratu Kedaton? Simak sekilas kisahnya melalui paparan berikut.

Intinya:

ADVERTISEMENT
  • Ratu Kedaton merupakan permaisuri Sultan HB V.
  • Sebagai permaisuri dari Sultan HB V, Ratu Kedaton memperjuangkan takhta untuk anaknya.
  • Guna meredam konflik di dalam kerajaan, Ratu Kedaton justru diasingkan bersama putranya di luar Jogja.

Siapa Itu Ratu Kedaton?

Ratu Kedaton adalah salah satu permaisuri dari Sultan HB V, yang merupakan raja dari Kesultanan Yogyakarta. Di dalam publikasi 'Kraton Yogyakarta Masa Lampau dan Masa Kini: Dinamika Suksesi Raja-Raja Jawa dan Politik Wacana "Raja Perempuan"' oleh Ilmiawati Safitri, G.K.R. Sekar Kedaton atau yang dikenal juga sebagai Ratu Kedaton adalah permaisuri dari Sultan HB V.

Dikisahkan saat menjadi permaisuri, Sultan HB V justru mangkat dari jabatannya di usia muda. Ini dikarenakan Raja Kesultanan Yogyakarta tersebut meninggal dunia di usia yang tergolong muda, yaitu 35 tahun.

Sementara itu, di dalam buku Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi: Hasil Karya dan Pengabdiannya' oleh B Sularto, GKR Sekar Kedaton ada dalam silsilah Sultan HB IV. Ini dikarenakan dirinya merupakan permaisuri dari Sultan HB V sebagai keturunan Sultan HB IV.

Bukan satu-satunya permaisuri bagi Sultan HB V, ada juga GKR Ratu Kencana yang menjadi permaisuri pertama dari sang raja. Kehidupan Ratu Kedaton sebagai permaisuri bisa dibilang cukup diwarnai dengan berbagai lika-liku. Pasalnya, di tengah masa kehamilannya, ia justru kehilangan sang suami.

Peristiwa tersebut juga menjadi titik balik bagi dirinya dalam mengurus sang buah hati. Pergantian kekuasaan di dalam Kesultanan Yogyakarta membuat dirinya berusaha memperjuangkan kembali tahta untuk buah hati tercinta.

Kisah Ratu Kedaton Perjuangkan Takhta untuk Anak

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada Ratu Kedaton dan putranya? Diketahui, Sultan HB V wafat pada 5 Juni 1855. Pada saat itu, tidak ada satu pun permaisurinya yang sudah melahirkan seorang anak. Inilah yang membuat terjadinya kekosongan takhta di lingkup kerajaan.

Meskipun begitu, ternyata salah satu permaisuri Sultan HB V tengah mengandung. Sosok tersebut tidak lain adalah GKR Sekar Kedaton atau yang disebut juga sebagai Ratu Kedaton. Mengingat belum adanya tanda-tanda kelahiran penerus dari Sultan HB V, maka diputuskannya adik kandungnya yang bernama Raden Mas Mustojo.

Tepat di tanggal 15 Juli 1855, Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan HB VI. Meskipun posisinya sebagai adik kandung dari raja, tapi pihak kerajaan maupun kalangan bangsawan justru mendukung langkah tersebut. Bahkan pihak kolonial tak begitu mempermasalahkan hal tersebut.

Padahal pada 17 Juni 1855, putra dari Sultan HB V yang sekaligus anak dari Ratu Kedaton telah lahir. Kelahiran sang putra bertepatan dengan 14 hari setelah meninggalnya Sultan HB V. Putra Ratu Kedaton dan Sultan HB V ini diberi nama RM Gusti Timur Muhammad.

Keberadaan RM Gusti Timur Muhammad ini sebenarnya sudah memicu pembahasan di kalangan anggota kerajaan. Mengingat sebenarnya dirinya adalah keturunan kandung dari Sultan HB V yang berhak menjadi penerusnya. Namun, karena kelahirannya setelah Sultan HB V wafat, maka menjadi soal lain.

Di dalam publikasi 'Sejarah Kampung Pondol dan Komunitas Eksil Muslim di Kota Manado' oleh Roger Allan Christian Kembuan, para pangeran yang sudah lebih dahulu ada, mulai membahas tentang posisi anak kandung Sultan HB V.

Mereka menilai adanya dua isu pokok yang melibatkan RM Gusti Timur Muhammad ini. Pada satu sisi, ada keyakinan bahwa seorang putra raja yang lahir setelah ayahnya meninggal, maka tidak berhak atas takhta menurut adat. Kemudian ada juga keraguan tentang sosok ayah biologis dari anak tersebut.

Meskipun begitu, reaksi lain justru datang dari pihak Ratu Kedaton dan juga kerabatnya. Mereka menilai RM Gusti Timur Muhammad tetap berhak mendapatkan takhta sebagai penerus Sultan HB V karena dialah anak kandung dari sang raja.

Tak tinggal diam, Ratu Kedaton berusaha mewujudkan ambisinya dalam sebuah tindakan yang nyata. Dirinya mendapatkan dukungan dari persekutuan yang menginginkan adanya perubahan pusat pemerintahan. Tadinya berada di Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang diharapkan bisa dipindahkan ke Prambanan.

Kemudian gerakan tersebut juga menginginkan anak kandung Sultan HB V sebagai raja. Bahkan, Ratu Kedaton melakukan berbagai macam cara agar putranya dijadikan sebagai pengganti raja.

Sayangnya, 'bak pungguk merindukan bulan', tidak sedikit orang menilai RM Gusti Timur Muhammad tidak mencerminkan seorang pengganti raja yang pantas. Ini dikarenakan perawakan dan kemampuannya dianggap cukup lemah untuk diandalkan sebagai raja.

Tak heran, pihak kolonial pun lebih memilih untuk menunjuk adik Sultan HB V untuk bertahta sebagai raja, alih-alih anak kandungnya. Bahkan hingga Sultan HB VI mangkat dan digantikan keturunannya hingga bergelar Sultan HB VII, Ratu Kedaton masih tetap berambisi menjadikan sang putra sebagai raja.

Meskipun tidak mudah, Ratu Kedaton tetap tidak menyerah. Dirinya kembali membentuk persekutuan dengan permaisuri pertama Sultan HB V, yaitu GKR Ratu Kencana.

Sayangnya, usahanya lagi-lagi gagal karena rencana yang dibuat mengalami kendala besar. Cara terakhir yang dilakukan oleh dirinya adalah dengan desakan. Ratu Kedaton mengumpulkan sekutunya dalam jumlah yang besar.

Dirinya memberikan petisi agar pihak kolonial menolak persetujuan pengangkatan putra mahkota sebagai raja. Lagi-lagi, cara ini tidak berhasil dilakukannya. Ratu Kedaton dan rombongannya memilih untuk pergi dari istana.

Akhir Hidup Ratu Kedaton

Pada tanggal 5 April 1883, Ratu Kedaton bersama dengan sang putra dan pengikutnya sudah mengambil keputusan bulat untuk meninggalkan istana. Mereka berjalan meninggalkan Kota Jogja untuk pergi ke Magelang, Jawa Tengah.

Sayangnya, tindakan tersebut justru membuat mereka dicurigai akan melakukan pemberontakan. Di tengah perjalanannya, rombongan Ratu Kedaton dicegat oleh pihak kolonial. Tak hanya itu saja, kedua belah pihak juga terlibat dalam pertempuran yang kacau.

Meskipun berusaha melarikan diri, akhirnya Ratu Kedaton bersama putra dan beberapa pengikutnya berhasil ditangkap. Tepatnya di tanggal 8 April 1833 yang mana mereka dikawal kembali menuju Yogyakarta.

Sementara itu, di dalam 'Tabea: Etnik Minahasa Mawale Expedition', Ratu Kedaton bersama dengan putranya justru diasingkan ke luar Jogja. Keduanya diasingkan di Manado hingga akhir hayatnya.

Demikian tadi rangkuman kisah Ratu Kedaton sebagai permaisuri dari Sultan HB V yang berusaha memperjuangkan takhta anaknya hingga mengalami akhir hidup yang merana. Semoga informasi ini mampu menambah wawasan baru untuk kamu ya, detikers.




(par/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads