Sultan Hamengku Buwono V memimpin Jogja pada kurun waktu 1823 hingga 1855. Dalam masa kepemimpinannya, lahirlah banyak karya sastra dan kesenian yang masih terjaga hingga kini.
Namun di balik kejayaannya dalam melambungkan seni dan budaya, Sultan HB V justru tercatat sebagai sosok yang kurang mendapat simpati dari rakyatnya. Sejarah mencatat, ada jarak antara kecintaannya pada kesenian dengan dinamika politik serta penerimaan masyarakat pada masa itu. Kontradiksi inilah yang menjadikan dirinya salah satu tokoh paling menarik dalam perjalanan sejarah Jogja.
Bagaimana seorang raja bisa begitu produktif melahirkan karya budaya, tetapi di sisi lain tidak dicintai rakyatnya? Pertanyaan itu membawa kita pada sebuah tragedi kepemimpinan yang masih terus dibicarakan hingga hari ini. Mari kita gali sejarahnya, detikers!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin Utamanya:
- Sultan Hamengku Buwono V dikenal sebagai raja pencinta seni yang melahirkan banyak karya sastra dan tari di Jogja.
- Meski berjasa dalam budaya, ia justru dicap sebagai raja belia yang diangkat terlalu dini atas kepentingan Belanda.
- Kedekatannya dengan kolonial membuat rakyat lebih berpihak kepada Pangeran Diponegoro dalam perjuangan melawan penjajahan.
Sultan HB V Melambungkan Kesenian Jogja
Sultan Hamengku Buwono V dikenal bukan hanya sebagai penguasa, tetapi juga sebagai seorang penari. Dalam wawancara, sejarawan Ilmiawati Safitri menjelaskan, Sultan HB V adalah sosok yang sangat cinta akan kebudayaan Jawa.
"Beliau (Sultan HB V) itu juga seorang penari. Beliau juga menciptakan Gending Gati dan memang dikenal sebagai sosok yang sangat cinta pada budaya," jelas Ilmiawati kepada detikJogja, Rabu (17/9/2025).
Kecintaan Sultan HB V terhadap seni bukan sekadar hobi pribadi, melainkan bagian dari legitimasi seorang raja. Oleh karena itu, peninggalan budaya dari masa pemerintahannya banyak yang masih dikenal hingga kini.
"Sebagai raja, harus bisa menciptakan tarian, membuat gending, sekaligus bisa menari. Semua elemen kebudayaan itu harus dikuasai oleh seorang raja sebagai bukti legitimasi kekuasaannya," Ilmiawati menambahkan.
Perhatian Sultan HB V terhadap seni tari tercermin pula dalam lahirnya sejumlah karya. Di antaranya adalah tari Serimpi Renggawati yang dimainkan lima penari, serta gagasan unik menghadirkan kelompok Bedaya Kakung yang ditarikan laki-laki.
Dalam seni musik, Gending Gati menjadi terobosan karena memadukan instrumen diatonis seperti terompet, trombon, suling, dan tambur dengan karawitan Jawa. Inovasi ini masih digunakan hingga sekarang dalam Tari Bedaya atau Serimpi.
Perkembangan seni pertunjukan di masa Sultan HB V juga tampak dalam wayang wong. Supriyanto dalam artikelnya Ringgit Gupermen, Encik dan Cina Keraton Yogyakarta Masa Sultan Hamengku Buwana V, menulis bahwa setidaknya ada lima lakon yang dipentaskan, seperti Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi, dan Pregiwa-Pregiwati. Empat di antaranya merupakan lakon baru yang belum pernah ditampilkan sebelumnya.
Sultan HB V juga membagi kelompok penari wayang wong ke dalam tiga tingkatan, yakni Ringgit Gupermen, Ringgit Encik, dan Ringgit Cina. Pembagian itu tidak hanya didasarkan pada kemampuan menari, melainkan juga terkait simbol status sosial di dalam keraton.
Kecintaan Sultan HB V pada budaya tidak berhenti di seni pertunjukan. Bambang Sularto dalam bukunya Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi menyebut bahwa Sultan ini adalah penguasa yang paling banyak menghasilkan karya sastra. Karya terkenalnya adalah Serat Astabrangta, sebuah ajaran moral dan etik yang memuat nilai-nilai kehidupan.
Sementara itu, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta mencatat lahirnya karya penting lain, yaitu Serat Purwakanda. Keduanya menegaskan bahwa pada masa pemerintahan Sultan HB V, kesusastraan keraton berkembang dengan pesat.
Gandes Sekar Putri dalam artikel Kesusastraan: Ajaran Nilai-Nilai Moral Masa
Hamengku Buwono V menambahkan, kesusastraan pada masa Sultan HB V tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi budaya, melainkan juga sarana menanamkan nilai moral. Serat-serat itu mengajarkan budi pekerti, keadilan, serta gambaran raja yang bijak seperti Yudhistira. Dengan begitu, karya sastra menjadi bagian penting legitimasi sekaligus pendidikan etika masyarakat Jawa.
Dari berbagai peninggalan ini tampak bahwa masa Sultan Hamengku Buwono V merupakan periode penting bagi kesenian di Jogja. Ia tidak hanya melahirkan karya-karya besar, tetapi juga memberi corak baru yang memperkuat peran budaya sebagai bagian dari legitimasi kekuasaan raja.
Kenapa Sultan HB V Dibenci Warganya Sendiri?
Meski ada banyak karya sastra dan kesenian lahir pada masa kepemimpinannya, Sultan Hamengku Buwono V tidak benar-benar mendapatkan simpati dari sebagian masyarakat Jogja kala itu. Ternyata, hal ini didasari oleh 2 faktor utama berikut ini.
1. Dinilai Terlalu Belia
Sultan Hamengku Buwono V dinobatkan sebagai raja ketika usianya baru tiga tahun, setelah ayahnya Hamengku Buwono IV wafat di usia muda. Karena belum cukup umur, pemerintahan dijalankan oleh Dewan Perwalian. Salah satu wali yang mendampingi adalah Pangeran Diponegoro.
Kondisi pengangkatan HB V ini juga disoroti oleh sejarawan Ilmiawati Safitri. Ia menjelaskan bahwa naiknya HB V ke takhta pada usia yang sangat muda sebenarnya bagian dari strategi Belanda untuk menenangkan suasana setelah masa HB II. Menurutnya, Sultan HB II dikenal keras kepala dan menolak campur tangan Belanda, sehingga pihak kolonial membutuhkan raja yang lebih mudah dikendalikan.
"Ketika saya membaca beberapa hasil tulisan-tulisan dari yang meneliti tentang HB V, ya memang salah satunya alasan kenapa beliau malah kurang disukai oleh masyarakat karena beberapa mengatakan bahwa beliau ini dinaikkan tahta di usia muda," kata Ilmiawati.
Ia menambahkan bahwa alasan pemilihan HB V sejak kecil tidak lepas dari kepentingan politik Belanda untuk bisa masuk lebih dalam ke keraton.
"HB V ini kenapa diangkat di usia muda, itu karena supaya Belanda bisa masuk lebih dalam lagi ke dalam politik keraton. Jadi tidak hanya menguasai sumber daya alamnya, tapi juga ikut menentukan suksesi-suksesi siapa yang menduduki jabatan ini, jabatan itu, DPR, MPR-nya, atau raja-raja selanjutnya," jelasnya.
Kondisi ini membuat masyarakat heran karena masih ada putra-putra HB III lain yang lebih dewasa. Namun yang dipilih justru anak paling kecil. Hal ini memunculkan kecurigaan dan ketidakpuasan.
"HB V ini diangkat secara paksa, padahal kan ada anak-anak yang lain yang usianya lebih matang waktu itu. Beberapa anak-anaknya dari HB III kan masih banyak, tapi yang diangkat yang paling kecil. Itu kan membuat masyarakat keraton atau warga sekitar itu bertanya-tanya, 'ini kalau masih kecil gini diangkat jadi raja, lalu masa kita dipimpin oleh anak kecil, pastinya anak kecil kamu cuma dijadikan alat' gitu," tegasnya.
2. Memihak Belanda
Selain dianggap terlalu belia, Sultan HB V juga dicap berpihak pada Belanda. Dalam buku Pemberontak Tak (Selalu) Salah karya Petrik Matanasi diceritakan bahwa keraton pada masa HB V semakin sarat intrik dan kemewahan, sementara pengaruh kolonial semakin mendominasi.
Pangeran Diponegoro yang merupakan putra HB III dari selir Raden Ayu Mangkarawati sekaligus anggota Dewan Perwalian HB V, melihat hal ini sebagai bentuk kemunduran besar karena keraton jauh dari nilai-nilai Islam. Bahkan, ia menilai bahwa ayah HB V, yakni HB IV, tidak lagi meneladani Sultan Agung yang taat beribadah dan rajin bertapa.
Di luar tembok keraton, rakyat semakin menderita akibat kebijakan yang dikeluarkan. Petani dipaksa membayar pajak dan menjalani kerja wajib. Sultan juga memberi izin kepada bangsawan untuk menyewakan tanah kepada pengusaha perkebunan swasta.
Petrik Matanasi menulis bahwa praktik ini sama saja dengan menyewakan para petani yang hidup di dalam tanah tersebut. Rakyat merasa kehilangan kebebasan di tanah sendiri dan menilai keraton tidak lagi melindungi mereka.
Situasi ini membuat citra HB V semakin buruk di mata masyarakat. Ilmiawati Safitri pun menegaskan bahwa pemilihan HB V memang membuka jalan bagi Belanda untuk masuk ke politik keraton. Akibatnya, rakyat semakin kecewa.
"Sehingga pemikiran-pemikiran seperti itu (HB V ini diangkat secara paksa dan hanya dijadikan alat) tentu saja banyak muncul, sehingga waktu Pangeran Diponegoro itu mengatakan bahwa dia akan bersama rakyat, bersama masyarakat, jihad fisabilillah memerangi kolonial, otomatis masyarakat lebih memilih Pangeran Diponegoro. Sudah terbukti," ujarnya.
Perlawanan yang dipimpin Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) kemudian menjadi bukti nyata. Rakyat lebih bersimpati pada Diponegoro yang dianggap memperjuangkan martabat mereka, sementara HB V dikenang sebagai sultan yang tidak dicintai rakyatnya karena usia yang terlalu belia dan sikapnya yang dekat dengan Belanda.
Kisah Sultan HB V menjadi ironi sejarah Jogja. Di satu sisi ia melambungkan kesenian, tetapi di sisi lain dikenang sebagai sultan yang tidak dicintai rakyatnya sendiri. Semoga penjelasan di atas bermanfaat!
(par/par)
Komentar Terbanyak
Pakar UII Tak Percaya Ada Beking di Kasus Ijazah Jokowi: Ini Perkara Sepele
Mencicip Kue Kontol Kejepit di Keramaian Pasar Kangen Jogja
Sederet Fakta Heboh Surat Perjanjian SPPG Minta Rahasiakan Kasus Keracunan