Alasan Dinkes DIY Belum Usulkan Perda Larangan Konsumsi Daging Anjing

Alasan Dinkes DIY Belum Usulkan Perda Larangan Konsumsi Daging Anjing

Adji G Rinepta - detikJogja
Rabu, 29 Okt 2025 23:05 WIB
Tangkapan layar anjing-anjing yang diduga diperjualbelikan dagingnya di kawasan Bantul. Foto diunggah Selasa (28/10/2025).
Tangkapan layar anjing-anjing yang diduga diperjualbelikan dagingnya di kawasan Bantul. Foto diunggah Selasa (28/10/2025). (Foto: dok. tangkapan layar IG animals.hopeshelterindonesia)
Jogja -

Perdagangan anjing untuk konsumsi masih ada di DIY salah satunya di Bantul. Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY pun membeberkan alasan belum mengusulan peraturan daerah (perda) larangan peredaran daging anjing.

Melihat risiko bagi orang yang mengonsumsi daging anjing, Plt Kepala Dinkes DIY Akhmad Akhadi mengatakan usulan dibuatnya perda dari sektor kesehatan mungkin dilakukan.

"Kalau bisa (atau tidak), bisa saja, tetapi sebelum kami mengusulkan itu, kami harus tahu persis tentang beban kesehatan yang diakibatkan mengonsumsi daging anjing," ujarnya saat dihubungi, Rabu (29/10/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, lanjut Akhmad, Kendala yang dihadapi pihaknya untuk mengusulkan rancangan perda itu berada pada data yang belum lengkap mengenai urgensi pembuatan perda.

ADVERTISEMENT

"Saya kasih ilustrasinya gini, Sekarang berapa banyak sih masyarakat kita yang mengonsumsi daging anjing? Terus berapa banyak anjing yang disembelih atau diolah?," ungkap Akmad.

"Terus kemudian yang harus kita lihat berapa banyak penyakit-penyakit zoonotic yang kemudian ditularkan melalui tadi pengolahan daging anjing, makan daging anjing. Kita datanya itu kurang lengkap," sambungnya.

Akhmad memberikan gambaran data urgensi yang bisa menjadi acuan, pihaknya mengusulkan pembuatan perda yakni soal data matematis. Seperti misalnya, jumlah anjing yang dikonsumsi dan jumlah orang yang memakan daging anjing.

Jika jumlah orang yang memakan daging anjing terindikasi rabies dan meninggal dunia tinggi jumlahnya, dengan perbandingan dengan jumlah populasi di DIY, maka dalam kondisi itu Dinkes bisa mendesak agar Perda bisa diterbitkan.

"Maka itu bisa kita katakan beban dikarenakan makan daging anjing tinggi. Sudah saatnya dari sektor kesehatan mengajukan perda itu. Nah, semua yang saya kasih ilustrasikan itu harus tertuang di dalam naskah akademik," ungkapnya.

Jika data vatalitas pengonsumsi daging anjing tinggi di satu daerah, maka menurut Akhmad, sektor kesehatan di daerah tersebut bisa mengajukan perda. Ia mencontohkan beberapa daerah yang telah memiliki perda tersebut.

"Di beberapa daerah itu juga sudah ada larangan untuk mengonsumsi daging anjing. Seperti Jakarta, Sukoharjo, dan Bali. Di sana sudah ada aturan tentang perdagangan dan konsumsi daging anjing," paparnya.

Meski begitu Akhmad menambahkan, sudah ada regulasi yang mengatur larangan peredaran daging anjing. Namun dari sektor selain dinas kesehatan yang bisa digunakan untuk menjerat hukum penjual daging anjing.

"Regulasinya itu ya melalui surat edaran Kementerian Pertanian Republik Indonesia nomor 9874/SE/PK.420/F/09/2018 bahwa dinyatakan di sana anjing itu bukan daging sebagai bahan pangan, jadi sudah dinyatakan itu," ujar Akhmad.

"Kemudian ada regulasi yang tidak spesifik terkait dengan anjing, tetapi pembunuhan anjing untuk dikonsumsi itu ternyata bisa dijerat dengan pasal 66 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang kesejahteraan hewan," pungkasnya.




(aap/aap)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads