Kenangan Naik Bus Kota Era Aspada-Kopata di Jogja, Diintai Copet-Dipalak Preman

Kenangan Naik Bus Kota Era Aspada-Kopata di Jogja, Diintai Copet-Dipalak Preman

Adji G Rinepta - detikJogja
Senin, 27 Okt 2025 16:29 WIB
Penampakan bus kota di Jogja di era 1990-an.
Penampakan bus kota di Jogja di era 1990-an. Foto: Dok Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY.
Jogja -

Warga di Jogja saat ini dimanjakan dengan alat transportasi umum yang bersih dan modern berupa Trans Jogja. Dua dasawarsa silam, wajah bus kota yang beroperasi di Jogja memiliki wajah yang jauh berbeda.

Saat itu bus kota Jogja dilayani oleh sejumlah operator, seperti Aspada, Puskopkar, Kobutri hingga Kopata. Jangan bayangkan kondisinya bersih dan dilengkapi pendingin udara seperti sekarang.

Bus kota pada era itu identik dengan asap knalpot hitam, mesin kasar hingga pengemudi ugal-ugalan. Beberapa warga Jogja yang pernah mengalami masa itu membagikan kenangannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi Hafal Gaya Copet

Sudah menjadi rahasia umum jika di bus perkotaan di kota-kota besar jaman dulu lazim ditemui pencopet. Tak terkecuali di Jogja. Penumpang yang sering menggunakan bus perkotaan, bahkan sampai hafal betul gaya para pencopet ini.

ADVERTISEMENT

Seperti Ikra Widya, Arsiparis di Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY ini menjadikan bus kota sebagai transportasi utamanya saat mulai kuliah di UGM 1996 silam. Ia yang tinggal di Muntilan Jawa Tengah memilih melaju saat kuliah dulu.

Dari Muntilan, Ikra naik bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) sampai ke Borobudur Plaza di jalan Magelang. Kemudian lanjut naik bus kota di jalur 12 ke arah kampus UGM.

"Saat itu hanya membayar Rp 150, dengan identitas mahasiswa. Jalur 12 pada saat itu, kalau nggak salah Aspada," ujar Ikra kepada detikJogja, Sabtu (25/10).

Namun trayek itu berubah sekitar tahun 1999-2000. Kata Ikra, saat itu bus AKAP sudah tidak boleh masuk Kota Jogja dan harus menaikturunkan penumpang di terminal Jombor Sleman. Di Jombor, hanya bus kota jalur 5 yang bisa mengantar hingga UGM.

"Jalur 5 terkenal jalur yang banyak copetnya. Pencopet ini kadang bergerombol, terutama terjadi pada hari Senin pagi atau Sabtu sore di saat banyak-banyaknya penumpang," terang Ikra.

"Saking seringnya naik bus, saya sampai hafal gelagat mereka ketika hendak mendekati calon korban. Calon korban biasanya anak-anak perempuan yang pakai seragam sekolah, karena mereka sering membawa tasnya di belakang," sambungnya.

Selain Ikra, Pujo Sumedi juga mengaku hafal betul setelan si copet. Tak ayal, Aparatur sipil negara (ASN) di Pemda DIY ini sudah menjadi pelanggan bus perkotaan sejak tahun 1990. Bus kota mengantarnya ke kampus hingga jalan-jalan ke Malioboro.

"Paling sering naik Aspada jalur 7, Damri jalur 15. dan Kopata jalur 2. Naik bus kota untuk kuliah dan jalan-jalan ke Malioboro," ungkap Pujo kepada detikJogja, Jumat (24/10).

"Karena sering melihat copet di bus kota, jadi paham betul gaya dan style pakaian copet dan alat kerjanya. Dari pengalaman bertahun-tahun, jadi punya trik khusus untuk menghindar dari sasaran copet," imbuhnya.

Dipalak Preman

Selain terkenal banyak copet, masih ada tindak kejahatan lain yang juga busa dialami penumpang bus kota jaman dulu, dipalak. Salah satu korbannya, Ardi Wahdan, menceritakan nasib apesnya dulu dipalak di bus kota.

Ardi mulai menjadi penumpang setia bus kota pada 1996 silam saat ia masih duduk di bangku SMP. Pekerja media ini mengatakan ada beberapa bus kota yang menjadi langganannya untuk mobilisasi kala itu.

"Paling sering Kopata dan Kobutri. Kopata jalur 2 dan 4, Kobutri jalur 17. Paling sering kalau pulang ke rumah setiap Kamis sore dan Jumat siang. Selain itu juga kongko ke Malioboro, Kaliurang, Jombor. Semua selalu pakai bus penumpang karena nggak punya kendaraan pribadi," ujarnya saat dihubungi detikJogja, Jumat (24/10).

Menjadi penumpang bus Kota, membuat Ardi punya banyak kenangan. Salah satu yang susah dilupakan hingga kini yakni jadi korban palak preman yang menyaru jadi pengamen. Kejadian itu, ia alami saat naik bus Kopata yang menurutnya sering penuh sesak.

"Dulu dipalak pas jam angkutan terakhir jelang maghrib di Jalan Sultan Agung. Kopata merah, pas bareng pengamen yang bau naga (alkohol). Tiba-tiba aja duduk di sebelah terus minta duit. Sempat cuek tapi mata melotot," kenang Ardi.

"Begitu berhenti di lampu merah Jalan Sultan Agung atau bioskop Permata, saya langsung turun, eh ternyata dia juga turun terus mepet ke tiang listrik. Terpaksa merogoh duit di saku, lupa ada berapa, tapi terus pulang ke Patangpuluhan jalan kaki," lanjutnya.

Baku Hantam di Bus Kota

Cerita unik saat jadi penumpang bus kota juga dimiliki oleh Oka. Fotografer asal Jogja ini mulai menjadi penumpang bus kota saat SMA 1996 silam. Aspada dengan trayek Plengkung Gading-Wirobrajan menjadi andalannya saat itu.

Lazimnya anak SMA jaman dulu, selalu akrab dengan perkelahian antar pelajar, termasuk Oka. Ia menceritakan, salah satu baku hantam yang Oka kenang justru saat ia naik bus kota bersama dua orang kawannya.

"Berantem sama sekolah lain di dalam bus kota. 3 lawan 3, dulu 1 lawan berhasil ditendang sampai keluar bus, nggak ada bonyok, saat itu dilerainya sama penumpang," ungkap Oka saat dihubungi detikJogja, Jumat (24/10).

"(Penyebab perkelahian) biasa, mat-matan (saling pandang)," kenangnya sambil diiringi gelak tawa.

Titik Kumpul Segala Aroma

Selain cerita-kenangan di bus kota, detail-detail kecil di dalam bus kota juga menjadi hal yang mungkin jadi kenangan unik. Seperti aroma atau bau-bauan yang ada dalam bus kota. Bagaimana tidak, bus tanpa AC dan sering penuh sesak tentu bisa terbayang baunya.

Ardi mengenang saat ia naik bus Kobutri jalur 17 yang kala itu jadi primadona lantaran rutenya keliling kota. Menurutnya, Kobutri banyak peminatnya terutama pelajar-pelajar.

"Pokoknya banyak kenangan, termasuk bau apek dari berbagai bentuk keringat manusia dan besi yang karatan. Ya tahu sendiri kalau campur aduk antara keringat, besi karatan, dan solar yang jadi satu. Belum lagi yang pada ngerokok," paparnya.

Pun demikian dengan Oka, menurutnya bau solar bus kota sampai-sampai membuatnya mual-pusing mabuk perjalanan.

"Naik bus kota dulu selalu mabuk saat awal naik. Panas, bau solar sampai masuk ke dalam, terutama saat bus penuh dan ugal-ugalan, sering bikin mual," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(ahr/afn)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads