Bus Kota Aspada-Kopata Pernah Merajai Jalanan di Jogja, Masih Ingat?

Bus Kota Aspada-Kopata Pernah Merajai Jalanan di Jogja, Masih Ingat?

Adji G Rinepta - detikJogja
Senin, 27 Okt 2025 12:50 WIB
Penampakan bus kota di Jogja di era 1990-an.
Penampakan bus kota di Jogja di era 1990-an. Foto: Dok Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah (DPAD) DIY.
Jogja -

Masyarakat di Kota Jogja dan sekitarnya saat ini banyak mengandalkan kendaraan umum Trans Jogja untuk bepergian. Bus ukuran medium ini terlihat bersih, modern dan relatif beroperasi secara tertib.

Bagi warga yang pernah tinggal di Jogja era 1990-an tentu masih ingat dengan fasilitas transportasi massal berupa bus kota yang melayani penumpang di Jogja. Saat itu warga dilayani oleh bus kota dengan beberapa operator yang berbeda.

Salah satu bus kota yang beroperasi pada saat itu adalah Aspada. Bus ini khas dengan warnanya yang biru. Ada pula Bus Kopata dengan warnanya yang oranye.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu ada pula Bus Kobutri yang khas dengan warna putih-biru. Selain itu masih ada beberapa operator lain yang meramaikan lalu lintas di Jogja pada masa itu.

Kepala Bidang Angkutan Jalan dan Keselamatan Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Jogja, Hary Purwanto menyebut bus kota itu tidak hanya melayani penumpang di Kota Jogja, namun juga menyisir hingga pinggiran Sleman dan Bantul.

ADVERTISEMENT

"Kita sepakati istilahnya bus perkotaan, hanya Jogja aja yang seperti itu. Karena sebenarnya itu kan AKDP (antar kota dalam provinsi)," kata Hari saat ditemui detikJogja di kantornya, Kamis (23/10/2025).

Hari menceritakan sejak awal perkembangan angkutan umum di Kota Jogja. Awal hadirnya kendaraan umum bermula dari angkutan kampus yang saat itu banyak menggunakan armada jenis Colt keluaran Mitsubishi. Hal itu membuat angkutan itu dikenal dengan sebutan Colt Kampus.

"Kalau dibuat sederhananya ada tiga segmen waktu. Pertama di segmen 70-80-an, itu dulu angkutan umum bus perkotaan itu bentuknya Colt Kampus. Karena yang banyak permintaan penumpang itu mahasiswa yang mau ke kampus," paparnya.

Menurut Hari, Colt Kampus itu banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa yang berangkat dan pulang dari kampus. Hanya saja, saat itu belum ada penyeragaman warna armada.

Era Colt Kampus itu berakhir di era 1980-an. Fase Colt Kampus berakhir di fase kedua, yaitu saat bus kota dengan ukuran medium mulai muncul.

"Muncul pertama bus Kopata itu. Setelah itu muncul, pokoknya ada 5 operator itu, Kobutri, Puskopkar, Aspada, Damri," papar Hary.

"Kalau Kopata warnanya oranye kemerahan, Puskopkar itu biru gradasi putih, Aspada biru laut agak gelap, lalu Kobutri itu kuning, Damri itu putih," sambungnya.

Kelima operator bus itu melayani 17 jalur atau trayek di kota Jogja. Di atas kaca depan Bus, terdapat papan bertuliskan angka yang menunjukan di jalur mana bus itu beroperasi, lengkap dengan daftar jalan yang dilewati bus tersebut.

Hari mengenang, pada saat itu semua bus kota di Jogja berangkat dari Terminal Umbulharjo, yang saat ini sudah ditutup dan berganti menjadi XT Square. Dari 17 jalur yang tersedia, ada beberapa jalur yang menjadi favorit.

"Tepatnya di jalur 2, 4, sama 7. Jalur 4 itu yang melewatii Malioboro, selain lewat kampus. Jadi dari (terminal) Umbulharjo masuk Malioboro. Yang jalur 7 itu, dari terminal Umbulharjo ke timur terus (ke utara) sampai ke Janti, terus ke UGM. Nah itu kan di Janti terus nampani (mengakomodir) yang dari Solo. Itu rame," urainya.

"Kalau jalur 2 sama (dengan jalur 4) masuk ke Malioboro. Kalau jalur 4 dari Umbulharjo terus ke arah barat, terus melewati Taman Siswa. Kalau jalur 2 mentok ke barat sampai pojok beteng," imbuh Hary.

Selain jalur gemuk, ujar Hary, ada pula jalur yang hanya dilewati satu operator bus yakni Damri. Meski hanya dilayani Damri, namun jalur 15, menjadi jalur terpanjang.

"Itu dia dari terminal Umbulharjo ke barat sampai Gamping, muter melewati jalan Magelang, Borobudur Plaza, terus sampai Jembatan Sardjito, terus muteri UGM. Itu jalur terjauh," paparnya.

Lebih lanjut Hary menceritakan, bus Kopata yang saat itu dianggap perintis bus perkotaan, memiliki armada terbanyak di antara lainnya. Jalur yang dilayani pun juga terbanyak, yakni dari jalur 1 hingga jalur 9.

Kopata memiliki armada sekitar 300-an unit. Disusul Puskopkar dan Aspada dengan jumlah bus sekitar 120-an unit. Lalu ada Kobutri sekitar 80-an unit dan yang aling sedikit Damri, sekitar 30 unit karena hanya melayani di jalur 15.

"Tarif itu bervariatif, tahun 90-an itu untuk pelajar Rp 100, umum Rp 200. Colt kampus (tahun 1980-an) Rp 50. Mahasiswa menunjukan kartu mahasiswanya ke kondektur," terang Hary.

"Jaya-jayanya itu (tahun) 1986 sampai 1995 lah, sekitar 10 tahun bus perkotaan benar-benar jaya. Itu betul-betul penumpang nyari bus. Bukan bus nyari penumpang," sambungnya.

Usai 1995, masa kejayaan bus kota mulai meredup. Hari menuding kemudahan warga membeli sepeda motor melalui jasa leasing menjadi salah satu penyebab.

"Setelah 95 itu kan mulai banyak (jasa) kredit motor. Akhirnya penumpang turun drastis, bus-bus juga tidak mampu peremajaan juga, ngetemnya juga lama," ujar Hary.

Merosotnya pamor bus perkotaan ini lambat laun semakin bertambah parah setiap tahunnya. Kondisi ini, kata Hary, memaksa pemerintah harus turun tangan menyelamatkan bus perkotaan.

Selain itu, di sisi lain, masyarakat umum yang belum memiliki kendaraan pribadi untuk mobilitasi, tetap harus dilayani oleh pemerintah. Akhirnya, pada tahun 2004 Dishub Jogja dan Dishub DIY membuat langkah baru yang menandai fase ketiga transportasi umum di Jogja.

"Sekitar tahun 2004 kami buat kajian transportasi angkutan umum. Kesimpulannya itu bahwa pemerintah harus ikut intervensi angkutan umum dengan memberikan subsidi," ungkap Hary.

"Akhirnya 5 operator ini dijadikan satu membentuk konsorsium, terus kita modali ada 20 bus bantuan dari pusat, konsorsium pengadaan 34 bus baru juga, muncullah Trans Jogja," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2
(ahr/aku)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads