Tugu Golong Gilig menjadi bagian dari Sumbu Filosofi Jogja yang letaknya berada di utara Keraton Jogja dan warnanya putih sehingga sering disebut sebagai white pal atau sekarang disebut Tugu Pal Putih.
Tugu Golong Gilig dapat dijumpai dengan mudah karena letaknya berada di tengah persimpangan Jalan Margo Utomo (dulunya Jalan Pangeran Mangkubumi), Jalan A.M. Sangaji, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan P. Diponegoro. Letaknya sangat strategis yakni berada di tengah Kota Jogja, sehingga mudah bagi masyarakat untuk mengenali Tugu Golong Gilig.
Tugu ini menjadi salah satu bangunan penting yang berada di Sumbu Filosofis Jogja, kehadirannya bukan tanpa sebab, melainkan terdapat filosofi dan makna tersendiri, apa itu? Simak ulasannya di bawah ini ya detikers!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah Tugu Golong Gilig
Dikutip detikJogja dari laman resmi Kraton Jogja, Selasa (19/09/2023), Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih ini dibangun setahun setelah Jogja berdiri, tepatnya tahun 1756. Bentuk awal dari tugu ini berbeda dari bentuk yang sekarang, awalnya tugu ini berbentuk silinder (golong) dan puncak berupa bulatan (gilig) sehingga dikenal dengan sebutan Tugu Golong Gilig.
Bentuk awal tugu ini dibangun dengan membawa filosofi Jawa yakni Manunggaling Kawula Gusti yang bermakna menyatunya manusia dengan kehendak Sang Pencipta. Pada saat itu bulatan atau gilig digunakan sebagai titik pandang ketika Sri Sultan melakukan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berada di Si Hinggil Lor, pelataran keraton yang tanahnya ditinggikan.
Runtuh Setelah Gempa Tahun 1867
Saat masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI berkuasa antara tahun 1855-1877, daerah Jogja dilanda gempa tektonik hebat pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa tersebut mengakibatkan bangunan runtuh termasuk Tugu Golong Gilig, pilar tugu tersebut patah kurang lebih sepertiga bagian.
Setelah beberapa tahun terbengkalai sejak runtuh karena gempa, pada masa Pemerintahan Sri Sultan HB VII (1877-1921) tugu ini kembali dibangun dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya, hal ini ditengarai sebagai siasat dari Pemerintah Belanda untuk menghilangkan simbol kebersamaan raja dan rakyat yang ditunjukkan oleh desain tugu sebelumnya.
Peresmian tugu yang baru dilakukan pada tanggal 3 Oktober 1889 dengan bentuk tugu yang semula berbentuk golong dan gilig menjadi berbentuk persegi dan berujung lancip. Tinggi dari tugu yang baru juga berbeda, jika sebelumnya tinggi tugu mencapai 25 meter menjadi 15 meter saja.
Prasasti di Tugu Golong Gilig
Jika detikers mencermati, ketika melewati tugu Jogja maka akan menemui prasasti di setiap sisinya yang menempel pada bagian tugu tersebut. Prasasti tersebut merekam setiap proses pembangunan kembali tugu itu.
Di sebelah barat terdapat prasasti yang berbunyi 'YASAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING VII' Prasasti ini merujuk pada pembangunan tugu pada masa Pemerintahan Sri Sultan HB VII.
Di sebelah timur terdapat prasasti yang bertuliskan 'INGKANG MANGAYUBAGYA KARSA DALEM KANJENG TUWAN RESIDHEN Y. MULLEMESTER.' Prasasti ini menyebutkan jika Residen Jogja waktu itu, Y. Mullemester menyambut baik pembangunan tugu tersebut dan Pemerintah Belanda tidak terlibat dalam pendanaan.
Di sisi selatan terdapat prasasti yang berbunyi, 'WIWARA HARJA MANGGALA PRAJA, KAPING VII SAPAR ALIP 1819'. Wiwara Harja Manggala Praja merupakan sengkalan yang menandai selesainya pembangunan Tugu Golong Gilig yang baru. Wiwara berarti gerbang, mewakili angka sembilan. Harja bermakna kemakmuran, mewakili angka satu.
Manggala bermakna pemimpin, mewakili angka delapan. Sementara Praja bermakna negara, mewakili angka satu. Dapat diartikan bahwa perjalanan menuju gerbang kemakmuran dimulai dari pemimpin negara.
Sengkalan ini menunjuk pada angka 1819, sesuai dengan tahun yang ditulis di bawahnya. Di atas tulisan tersebut terdapat lambang padi dan kapas dengan tulisan HB VII, juga lambang mahkota Belanda di puncaknya. Lambang ini adalah lambang resmi yang dipakai oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII.
Di sisi utara terdapat prasasti yang berbunyi, 'PAKARYANIPUN SINEMBADAN PATIH DALEM KANJENG RADEN ADIPATI DANUREJA INGKANG KAPING V. KAUNDHAGEN DENING TUWAN YPF VAN BRUSSEL. OPSIHTER WATERSTAAT.' Prasasti ini menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan tugu dipimpin oleh Patih Danurejo V (1879-1899), dan arsitektur tugu dirancang oleh YPF Van Brussel, seorang petugas Dinas Pengairan Belanda yang bertugas di Yogyakarta.
Tugu Golong Gilig Sekarang
Sejak pembangunan kembali setelah rusak akibat gempa, tidak ada lagi perubahan bangunan tugu. Hanya perawatan dan penataan di kawasan sekeliling saja. Namun, di tahun 2015 dibangun sebuah miniatur Tugu Golong Gilig yang ditempatkan di tenggara tugu Jogja sekarang.
Miniatur ini dibangun sesuai desain awal dan dilengkapi dengan keterangan mengenai sejarah perjalanan tugu sebagai salah satu simbol penting bagi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dibangunnya miniatur ini menjadi jalan keluar bagi masyarakat Jogja yang ingin memahami sejarah dan falsafah dari bentuk tugu hasil rancangan Sri Sultan HB I dan kelestarian tugu hasil desain orang Belanda yang telah menjadi cagar budaya dan ikon bagi Kota Jogja.
Artikel ini ditulis oleh Mahendra Lavidavayastama peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom
(dil/ahr)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Kasus Kematian Diplomat Kemlu, Keluarga Yakin Korban Tak Bunuh Diri
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030