Analisis Pakar UNY soal Biang Kerok PBB Naik Gila-gilaan di Pati hingga Jombang

Analisis Pakar UNY soal Biang Kerok PBB Naik Gila-gilaan di Pati hingga Jombang

Serly Putri Jumbadi - detikJogja
Jumat, 15 Agu 2025 12:30 WIB
Bupati Pati Sudewo menemui massa aksi di depan kantornya, Rabu (13/8/2025). Tampak ajudannya berupaya pasang badan cegah Sudewo terkena lemparan botol.
Bupati Pati Sudewo menemui massa aksi di depan kantornya, Rabu (13/8/2025). Tampak ajudannya berupaya pasang badan cegah Sudewo terkena lemparan botol. Foto: dok. detikJateng
Sleman -

Kebijakan pemerintah sejumlah daerah untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2) hingga ribuan persen tengah menjadi sorotan. Pakar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) buka suara terkait penyebab kenaikan PBB yang gila-gilaan tersebut.

Kenaikan PBB itu salah satunya dialami warga di Jombang, Jawa Timur, dan Pati, Jawa Tengah. Di Jombang, ada warga yang mendapat tagihan PBB tahun 2024 untuk tanah dan bangunan di Jalan dr Wahidin Sudiro Husodo, Desa Sengon, Kecamatan/Kabupaten Jombang, naik dari tahun 2023 Rp 292.631 menjadi Rp 2.314.768, atau kenaikannya mencapai 1.202 persen.

Sedangkan di Pati, Bupati Sudewo sempat mengumumkan PBB naik menjadi 250 persen. Kebijakan itu memantik protes hingga demo besar-besaran pada Rabu (13/8) dengan tuntutan Bupati Pati Sudewo lengser.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas kenapa PBB pada naik hingga gila-gilaan? Dosen Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) UNY, Dr. Ponty SP Hutama, menjelaskan besaran nilai PBB ditentukan oleh pemerintah daerah dengan persetujuan pemerintah pusat. Perhitungan besaran PBB juga meliputi beberapa faktor.

"Besaran PBB itu memang perlu persetujuan Menteri Keuangan sama Menteri Dalam Negeri. Jadi, pemerintah daerah tidak bisa memungut besaran jumlah tertentu PBB itu kalau tidak disetujui Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri," ujar Ponty saat dihubungi detikJogja, Jumat (15/8/2025).

ADVERTISEMENT

"Faktor kenaikan PBB itu seperti ada kenaikan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak), harga tanah, kalau harga tanah naik terus ya. Pemerintah daerah itu menghitung dan ada persetujuan dengan pemerintah pusat. Jadi tidak bisa seenaknya sendiri, ada legal formalnya atau landasan hukumnya," jelasnya.

Lebih lanjut, Ponty menyebut kenaikan PBB juga terjadi di beberapa daerah lainnya. Hanya saja, kenaikan yang bersifat cukup mendadak dan sosialisasi yang kurang memadai itulah yang menyebabkan gejolak di masyarakat.

"Belajar dari itu memang faktor kejutan ini yang membuat orang marah. Jadi, menaikkan pajak tidak menggunakan perencanaan yang pas. Kebijakannya itu mendadak, setidaknya begitu persepsi masyarakat," kata Pemerhati Pajak di UNY itu.

Ponty menyebut isu pajak sering menimbulkan gejolak di masyarakat, dan persepsi yang berkembang adalah kurang hadirnya pemerintah di tengah menurunnya daya beli, lesunya ekonomi, dan diduga pula isu PHK. PBB menyentuh langsung masyarakat akar rumput dan sangat terasa dampak ekonominya.

"Memang kalau masalah pajak di negara kita ini, satu, kesadarannya masih kurang. Tapi juga nggak salah juga, karena masyarakat karena kita masih merasa negara tidak banyak hadir memecahkan kesulitan masyarakat," tuturnya.

"Yang berikutnya, kita sama-sama tahu isu korupsi itu mempengaruhi kerelaan orang untuk bayar pajak. Jadi tidak ikhlas" jelas Ponty.

Sehingga, menurut Ponty, perlu ada strategi dari pemerintah terkait kenaikan besaran PBB. Tentunya, harus sesuai dengan birokrasi yang berlaku juga.

"Menurut saya ini masalah timing. Pajak naik itu keniscayaan karena memang rasio pajak kita sangat rendah. Ini timing-nya salah sehingga menimbulkan polemik," kata dosen yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Studi S1 Akuntansi UNY tersebut.

"Makanya langkah-langkah yang perlu diambil adalah seperti konversi minyak tanah ke gas, dan kenaikan harga BBM yang sudah tidak menimbulkan gejolak lagi. Mengingat bahwa sebenarnya anggaran kita defisit. Utang kita sudah membebani terlalu besar, ditambah lagi membiayai pengeluaran yang naik terus dan meningkatkan pemasukan dengan tantangan yang makin kompleks," jelas Ponty.

Maka itu, Ponty bilang, perlu dilakukan langkah bijak dari pemerintah. Apalagi, sebetulnya sudah ada gejala trust issues atau kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang dimanfaatkan pihak-pihak lain dengan motif tertentu.

"Mungkin ada masalah trust issues dari masyarakat. Masyarakat mungkin merasakan sosialisasi yang kurang, tiba-tiba, dan menyentuh langsung pada pengeluaran masyarakat di tengah ekonomi yang sedang menurun, sehingga masyarakat jadi menolak," pungkasnya.




(apu/ams)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads