1 dari 14 rumah di Kampung Tegal Lempuyangan, Bausasran, Danurejan, Kota Jogja masih bertahan. Satu warga yang masih nekat bertahan itu bakal menempuh jalur hukum terkait status kepemilikan tanah atau aset di rumah tersebut.
Juru Bicara warga Lempuyangan, Antonius Fokki Ardiyanto, menegaskan bahwa tanah di lokasi yang bakal direlokasi PT KAI memang belum ada sertifikat dari Keraton.
"Seperti yang disampaikan Wakil Panitikismo, Pak Langgeng, waktu sosialisasi kedua di Kelurahan Bausasran itu bahwa benar tanah ini memang benar belum ada sertifikatnya dari Keraton. Hanya ketika keraton memberikan palilah kepada KAI, kami juga menanyakan kalau belum ada sertifikat keraton kenapa Keraton memberikan palilah kepada KAI," jelas Fokki saat ditemui di Tegal Lempuyangan, Bausasran, Danurejan, Kota Jogja, Kamis (3/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fokki meminta kejelasan hukum terkait dengan kepemilikan tanah di lokasi tersebut. Sebab menurutnya, tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh penghuni rumah jika mengacu dari Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dimiliki.
"Kalau dasarnya peta Rijksblad tahun 1918 itu kan nggak pas. Sampai sekarang pun UU terkait peta Rijksblad itu juga tidak pernah dibuka. Maka kita ingin ngerti dulu itu isinya UU peta Rijksblad. Jangan seolah-olah itu dijadikan alat untuk mengklaim itu menjadi tanah-tanahnya Keraton," kata Fokki.
"Negara melalui BPN itu sudah mengeluarkan surat keterangan tanah isinya jelas bahwa bangunan ini dikuasai secara fisik oleh penghuni rumah ini, namanya Mbak Mita (Chandrati Paramita). Kita sudah menunjukkan punya SKT," lanjutnya.
Maka itu, Fokki meminta KAI juga menunjukkan bukti kepemilikan aset. Jika ada perbedaan tafsir terkait bukti kepemilikan aset yang dimiliki pemilik rumah dan KAI, Fokki mempersilakan KAI untuk menempuh jalur hukum.
"Tapi ketika kita meminta balik. Ketika kita sudah menunjukkan, KAI juga harusnya menunjukkan. Ini asetnya dasarnya apa. Ketika terjadi perbedaan tafsir antara SKT dan bukti yang ditunjukkan KAI ya silakan KAI gugat kami. Ini kan negara hukum, jangan main kekuasaan yang lebih cenderung ke premanisme," ujar Fokki.
Begitu pula dengan pihak warga. Jika KAI tetap melakukan tindakan paksa pengosongan tanpa menunjukkan bukti kepemilikan, warga yang tetap bertahan juga akan mengambil langkah hukum.
"Mau melakukan eksekusi misalnya, ini kan negara hukum. Mbak Mita dan keluarga juga kalau misal KAI melakukan tindakan paksa pun responsnya kami akan melakukan tindakan hukum," jelasnya.
Pada dasarnya, Fokki meminta KAI menunjukkan dasar hukum yang jelas saat melakukan penggusuran. Dia juga memastikan warga akan patuh jika ditunjukkan dasar hukum yang jelas terkait kepemilikan aset.
"Kalau KAI mau eksekusi ditunjukkan perintah pengadilan dan sebagainya, kita akan patuh selama itu ada dasar hukum yang jelas. Maka kami sangat menyayangkan apa yang dilakukan KAI. Dasar hukum itu keputusan pengadilan yang ditunggu itu, bukan tafsir. Kalau KAI menafsirkan ini milik mereka, kami juga menafsirkan ini milik kami. Lha dasarnya apa? SKT yang itu dikeluarkan lembaga resmi BPN. Jelas di situ," jelas Fokki.
"Maka ada dua tafsir yang nggak ketemu ya selesaikan di pengadilan. Kebetulan kami yang menduduki di sini secara fisik. Kalau KAI menganggap ini asetnya silakan gugat di pengadilan," pungkasnya.
(apl/afn)
Komentar Terbanyak
Pengakuan Lurah Srimulyo Tersangka Korupsi Tanah Kas Desa
Amerika Minta Indonesia Tak Balas Tarif Trump, Ini Ancamannya
Catut Nama Bupati Gunungkidul untuk Tipu-tipu, Intel Gadungan Jadi Tersangka