Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, memberi komentar menohok kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang putusannya mewajibkan pendidikan dasar SD-SMP gratis baik sekolah negeri maupun swasta.
Haedar menilai para hakim MK harus belajar cermat dan teliti atau saksama sebelum mengabulkan gugatan. Menurutnya MK juga harus memperhatikan realitas.
"Kami juga mengimbau kepada 13 anggota MK, belajar saksama menjadi negarawan dan dalam memutuskan itu harus betul-betul komprehensif. Jangan karena ada 1-2 gugatan lalu mudah memenuhi gugatan itu," jelas Haedar saat ditemui usai menghadiri acara di Gamping, Sleman, Selasa (3/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi saya berharap ketika merumuskan dan menetapkan kebijakan saksamalah, perhatikan konstitusi, perhatikan kemaslahatan bangsa, dan perhatikan realitas pendidikan Indonesia, di mana swasta memiliki peran yang sangat strategis," sambungnya.
Haedar mengatakan para perumus dan pelaksana kebijakan harus memahami betul spirit para pendiri bangsa bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa itu kewajiban negara. Menurutnya, negara harus bertanggung jawab sepenuhnya dan seutuhnya untuk lembaga pendidikan termasuk swasta.
"Karena itu jangan membeda-bedakan, melakukan diskriminasi terhadap pendidikan swasta. Kalau kemudian melakukan kebijakan misalkan seperti hasil MK kemarin ya harus saksama, yang dasarnya jangan sampai mematikan swasta yang justru sama mematikan pendidikan nasional," ujarnya.
"Jadi saya berharap ketika merumuskan dan menetapkan kebijakan saksamalah, perhatikan konstitusi, perhatikan kemaslahatan bangsa, dan perhatikan realitas pendidikan Indonesia, di mana swasta memiliki peran yang sangat strategis," imbuhnya.
Untuk itu, Haedar mengaku tidak sepakat dengan putusan MK itu. Ia bilang, putusan MK itu tidak berpijak pada realitas dunia pendidikan. Ia menyarankan dalam implementasi putusan itu, sekolah swasta tetap diberi keleluasaan.
"Ya betul (tidak sepakat), atau kita sarankan implementasinya di mana satu swasta tetap dikoneksi dengan tanggung jawab pendidikan negeri, tapi beri keleluasaan," ungkap Haedar.
"Apalagi ada fenomena (pendidikan) negeri aja diberi badan hukum yang memberi kemungkinan mereka mengembangkan usaha atau bisnis, padahal itu negara, lalu kalau keran itu ditutup untuk swasta bukan hanya kami Muhammadiyah tapi bangsa yang rugi," pungkasnya.
Sebelumnya, dikutip detikEdu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya terkait frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya."
Dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada Selasa (27/5/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, majelis hakim menegaskan bahwa pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berkewajiban menjamin terselenggaranya program wajib belajar tanpa pungutan biaya. Ketentuan ini berlaku bagi seluruh satuan pendidikan dasar, baik yang dikelola oleh negara maupun oleh masyarakat atau swasta.
Putusan ini merupakan hasil dari permohonan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga warga negara, yakni Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.
Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyebutkan "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya".
Menurut MK, permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Suhartoyo dalam siaran langsung MK RI melalui YouTube resmi pada Selasa (27/5/2025).
(afn/apu)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan