Tepat hari ini, gempa dahsyat berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada 19 tahun lalu. Gempa yang terjadi pada 2006 silam itu menewaskan lebih dari 6.000 korban.
Dilansir laman resmi BPBD DIY, gempa dahsyat ini mengguncang DIY dan sebagian wilayah Jawa Tengah terjadi pada pukul 05.53 WIB. Getaran kuat gempa berlangsung selama 57 detik. Tercatat ada 6.652 korban tewas dalam bencana tersebut.
Gempa itu juga disebut sebagai salah satu gempa paling mematikan yang menelan banyak korban di era 2000-an.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala BPBD DIY, Noviar Rahmad, menyebut peristiwa ini menjadi duka tersendiri bagi masyarakat. Gempa 2006 juga menjadi pengingat pentingnya kesiapan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
"Kita flashback 2006 itu terjadi karena kenapa orang banyak meninggal, karena gempa sendiri kan nggak mematikan," ujar Noviar kepada detikJogja, Selasa (27/5/2025).
"Yang mematikan itu banyak masyarakat yang terkena runtuhan bangunan, karena bangunan masyarakat waktu itu tidak tahan kepada gempa. Kita lihat bangunan masyarakat saat itu tidak tahan terhadap gempa dengan kekuatan 5,9 aja banyak yang ambruk," tambahnya.
Noviar melanjutkan, dengan adanya Gempa Jogja 2006, pemerintah langsung membentuk Undang-Undang tentang Kebencanaan. UU itu mengatur tentang mitigasi sebelum terjadi bencana.
"Pemerintah pusat dengan adanya Gempa Bantul 2006 membentuk UU tentang Kebencanaan karena waktu itu belum ada UU penanggulangan bencana. Isinya mengubah mindset bahwa bencana dilakukan melalui respons penanganan kejadian bencana, dimulai dari mitigasi. Sebelum bencana sudah dilakukan penanganan," lanjutnya.
Apalagi, Noviar menyebut DIY memiliki lima sesar aktif, yaitu Sesar Opak, Progo, Oya, Dengkeng, dan Mataram. Dengan adanya lima sesar aktif tersebut maka masih ada potensi kembali terjadi gempa dengan skala besar.
"Harapannya ke depan, karena di Jogja punya lima sesar aktif sewaktu-waktu bisa terjadi, masyarakat harus siap mulai dari struktur bangunan harus tahan terhadap gempa," ungkapnya.
"Terus dari kesiapsiagaan masyarakat. Perlu dilakukan simulasi latihan. Harusnya satu kali dalam setahun dilakukan supaya terbiasa," pungkas Noviar.
(apl/ams)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan