Ratusan warga di Padukuhan Krasakan, Tempel, Sleman diduga keracunan usai menyantap hidangan hajatan pada Sabtu (8/2). Terkait hal itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) melakukan pemeriksaan epidemiologi (EP).
Kepala Dinkes DIY, Pembajun Setyaningastutie, menjelaskan PE dilakukan untuk mencari penyebab keracunan massal ini.
"Dilakukan pemeriksaan epidemiologinya, janjane sebabnya itu apa to. Kenapa kok sampai keracunan makanan, apakah sanitasinya yang jelek maaf, maaf, atau memang makanan itu dibuat tidak memenuhi standar yang ada," jelasnya saat dihubungi wartawan, Senin (10/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembajun menjelaskan banyak faktor yang menyebabkan keracunan salah satunya usia makanan. Menurutnya, sejak disajikan, makanan hanya punya waktu kurang lebih 6 jam untuk segera dikonsumsi. Lebih dari itu makanan sudah tak layak konsumsi.
"Bisa jadi itu masaknya terlalu pagi, bisa juga sanitasinya mungkin tidak terkontrol. Sertifikat layak sanitasinya itu ada atau ndak, kemudian penjamahnya itu bersih atau ndak waktu ngolah makanan," paparnya.
Namun dalam kasus ini, Pembajun lebih menyoroti soal sanitasi dari penyedia makan atau ketering. Ia menegaskan, katering harus mengantongi sertifikasi laik hygiene sanitasi (SLHS).
"Kalau sudah punya (SLHS) kan dia sudah tahu, oh kalau saya harus menyajikan 300-500 porsi. Padahal makanan itu umurnya 6 jam, kapan saya harus memasak, disajikan kapan," ungkapnya.
Dengan sudah memiliki SLHS, kata Pembajun, sarana prasarana ketering hingga sumber daya manusia sudah memenuhi standar. Satu contohnya, ia memaparkan, penyedia katering harus memiliki tempat pengolahan yang bersih dan memiliki pencahayaan yang bagus.
"Sarana itu juga termasuk transportasi ya, ngangkutnya pakai apa tempat yang tertutup, mobil yang baik," terang Pembajun.
"Lingkungan juga harus bersih, sampah harus dipisahkan. Bahan mentah dan makanan jadi itu harus keluar dari pintu yang berbeda, nggak boleh sama," sambungnya.
Selain itu, sumber daya manusianya atau penjamah, kata Pembajun, juga harus sesuai standar. Hal ini dirasa paling penting lantaran manusia juga sumber dari penyakit.
"Paling tidak dia pakai masker lah, pakai sarung tangan, siapa yang tahu? Orang tidak ada pemeriksaan dia TBC atau tidak," tegas Pembajun.
Sebelumnya, ratusan warga di Padukuhan Krasakan, Lumbungrejo, Tempel, Sleman mengeluh demam dan diare. Mereka diduga mengalami keracunan usai menyantap hidangan hajatan di rumah salah satu warga Krasakan pada Sabtu (8/2).
Dari hasil pemeriksaan mayoritas warga mengeluhkan diare. Selain itu ada juga yang demam. Gejala itu sudah dirasakan warga sejak Sabtu (8/2) malam. Petugas juga mengambil sampel makanan meliputi bakso, satai, siomay, es krim, dan krecek.
Terbaru, jumlah korban keracunan massal ini terus bertambah. Tercatat saat ini ada 151 orang dengan 27 di antaranya menjalani opname di sejumlah rumah sakit.
"Data terakhir pukul 09.34 WIB, jumlah korban sementara 151, opname 27," kata Kepala Puskesmas Tempel 1 dr Diana Kusumawati saat ditemui wartawan di Posko Kesehatan Krasakan, Tempel, Sleman, Senin (10/2).
Diana yang bertugas sebagai koordinator bidang kesehatan dalam kasus keracunan ini bilang, kondisi warga yang telah dilakukan observasi mulai membaik. Akan tetapi gelombang warga ke posko masih datang silih berganti.
"Kalau yang diobservasi sih sebagian sudah membaik. Tapi kan berganti artinya kemarin 14 tapi sebenarnya berganti, yang kemarin observasi membaik kita pulangkan kemudian yang ini sudah ganti lagi," ucap dia.
Dia melanjutkan, sebagian besar warga masih mengalami keluhan diare. Petugas pun telah memberikan obat-obatan kepada warga.
"Sebagian besar masih diare, yang belum teratasi untuk yang diarenya. Sebagian besar," ujarnya.
(apu/apl)
Komentar Terbanyak
Mahasiswa Amikom Jogja Meninggal dengan Tubuh Penuh Luka
Mahfud Sentil Pemerintah: Ngurus Negara Tak Seperti Ngurus Warung Kopi
UGM Sampaikan Seruan Moral: Hentikan Anarkisme dan Kekerasan