Wanti-wanti Pakar Jika Revisi UU Pilkada Jadi Manuver Putusan MK: Bisa Chaos

Wanti-wanti Pakar Jika Revisi UU Pilkada Jadi Manuver Putusan MK: Bisa Chaos

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Rabu, 21 Agu 2024 14:13 WIB
Ilustrasi Pemilu
Ilustrasi Revisi UU Pilkada usai putusan MK (Foto: Fuad Hasim/detikcom)
Sleman -

Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Allan Fatchan Gani Wardhana, mengingatkan pemerintah dan DPR tidak bermanuver merevisi UU Pilkada 2016 usai terbitnya putusan Mahmakah Konstitusi (MK). Putusan MK itu melonggarkan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah.

"Dikhawatirkan ada upaya memuluskan (kepentingan politik tertentu) dan ada upaya untuk membangkang dari putusan MK. Nah ini yang saya kira tidak boleh ada manuver itu, harus dicegah ya," kata Allan saat dihubungi wartawan, Rabu (21/8/2024).

Allan khawatir jika dalam revisi UU Pilkada terjadi manuver mengubah banyak pasal maka akan terjadi kegaduhan. Terutama dalam proses pencalonan kepala daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau pun itu ternyata terjadi manuver itu dan berbeda dengan putusan MK, saya khawatir tadi, dalam pencalonan nanti dalam prosesnya bisa ada melahirkan sengketa proses maupun dalam hasil bisa diperkarakan pasca-pilkada," ucapnya.

Allan meminta DPR tinggal mengikuti putusan MK tanpa mengubah maknanya. Menurutnya, revisi UU Pilkada hanya perlu mengakomodir putusan MK kemarin.

ADVERTISEMENT

"Karena kalau misalkan ini tidak diakomodir di dalam undang-undang Pilkada atau berbeda maknanya dengan putusan MK saya khawatir itu nanti akan menjadi chaos dan menimbulkan gugatan-gugatan dalam proses dan dalam hasilnya nanti untuk menilai keabsahan suatu calon," imbuh dia.

Dalam skenario terburuknya, lanjut Allan, publik bisa mengajukan judicial review. Terutama bagi pihak yang dirugikan dalam putusan revisi UU Pilkada.

"Pertama kalau publik dalam arti yang dirugikan langsung tentu bisa dilakukan judicial review kembali, meskipun tahapan Pilkada tetap jalan tapi yang bisa dilakukan ketika undang-undang itu nanti disahkan itu pertama bisa mengajukan judicial review terutama pihak-pihak yang dirugikan secara langsung," ujarnya.

Selain itu, partai politik seharusnya bisa mengajukan protes terhadap putusan tersebut.

"Tapi yang paling penting itu upaya-upaya yang harus dilakukan oleh partai poltik, terutama partai politik yang memang dirugikan secara langsung kan bisa mempersoalkan," ucapnya.

Putusan MK

Dikutip dari detikNews, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional. MK mengatakan esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya.

MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada.

MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat (1). MK pun mengubah pasal tersebut.

Selain itu, MK juga menolak gugatan perkara 70/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh A Fahrur Rozi dan Antony Lee. Gugatan itu mengenai syarat usia calon kepala daerah.




(ams/apu)

Hide Ads