Panen Kritik Buntut Minta 1 Wanita Lahirkan 1 Anak Perempuan, Ini Kata BKKBN

Panen Kritik Buntut Minta 1 Wanita Lahirkan 1 Anak Perempuan, Ini Kata BKKBN

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Sabtu, 06 Jul 2024 14:04 WIB
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, di Sleman, Sabtu (6/7/2024).
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, di Sleman, Sabtu (6/7/2024). Foto: Jauh Hari Wawan S/detikJogja
Sleman -

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, angkat bicara soal polemik pernyataan yang meminta setiap pasangan memiliki satu anak perempuan untuk mengantisipasi penurunan angka kelahiran. Dia menyatakan ada kesalahpahaman terkait hal tersebut.

Hasto menyatakan bukan mewajibkan wanita melahirkan satu anak perempuan. Melainkan rata-rata wanita diharapkan bisa melahirkan satu anak perempuan.

"Saya ngomongnya nggak gitu, saya ngomongnya diharapkan rata-rata satu perempuan punya anak satu perempuan. Rata-rata itu artinya bukan setiap orang," kata Hasto ditemui di sela acara Rapat Koordinasi Komite Kebijakan Sektor Kesehatan (KKSK) Tahun 2024 di Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta, Sabtu (6/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mencontohkan bisa saja dalam satu keluarga memiliki anak perempuan lebih dari satu. Oleh karena itu, eks Bupati Kulon Progo itu menegaskan tidak mewajibkan perempuan melahirkan satu anak perempuan.

"Kayak kemarin satu perempuan harus punya anak, kan salah itu. Pakai rata-rata dong, rata-rata satu perempuan mestinya punya anak perempuan satu, rata-rata. Kalau depan rumah anak perempuan dua, belakang rumah enggak punya anak perempuan, no problem. Jangan dipelintir ya, rata-rata," ujarnya.

ADVERTISEMENT

BKKBN, lanjut Hasto, memiliki tugas untuk mengontrol pertumbuhan penduduk agar seimbang. Oleh karena itu, daerah dengan angka kelahiran atau total fertility rate (TFR) tinggi membantu menyadarkan agar menggunakan kontrasepsi. Sementara di daerah dengan TFR rendah dibantu di sektor kesehatan reproduksi.

"Jadi Jogja rata-rata keluarga itu melahirkan sudah di bawah dua. Jadi kalau Jogja ini sudah (TFR) 1,9. Makanya hati-hati untuk daerah-daerah tertentu seperti DKI, Bali, DIY ini bisa mengalami minus growth. Jadi populasi bisa menurun," jelas dia.

Tren Angka Kelahiran Turun

Di sisi lain, Hasto juga menyinggung soal terjadinya penurunan angka kelahiran atau total fertility rate (TFR). Dia lalu mencontohkan kasus di Jogja. Hasto menyebut rata-rata satu keluarga melahirkan satu orang anak.

"Jadi Jogja rata-rata keluarga itu melahirkan sudah di bawah dua. Jadi kalau Jogja ini (TFR) sudah 1,9," kata Hasto.

Dia kemudian meminta agar daerah lain berhati-hati agar tidak terjadi penurunan angka kelahiran. Sebab, nantinya akan berdampak pada turunnya populasi.

"Makanya hati-hati untuk daerah-daerah tertentu seperti Jakarta, Bali, DIY ini bisa mengalami minus growth. Jadi populasi bisa menurun," ujarnya.

Hasto berpendapat daerah seperti Jakarta dan Bali penting untuk memiliki dua anak dalam satu keluarga. "Kalau daerah-daerah tertentu seperti Jakarta, Bali, sebetulnya rata-rata perempuan punya anak dua itu penting, bukan wajib loh," ujarnya.

Dia mengatakan, jika kondisi ini terus dibiarkan akan berpengaruh terhadap bonus demografi Indonesia.

"Ya salah satu yang harus kita hadapi itu kan bonus demografi kan menutup lebih cepat. Jadi maksudnya, kita ini kan punya kesempatan kaya, negara dan masyarakat punya kesempatan pendapatan perkapita naik cepat, kapan punya kesempatan pendapatan perkapita naik pesat, pada saat yang muda-muda itu jauh lebih banyak dibandingkan lansia," ucapnya.

Dia juga memberikan warning agar di tahun 2035 berhati-hati karena jumlah lansia sudah jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anaknya. Sementara lansia tahun 2035 itu, kata Hasto, umumnya yang memiliki pendidikan rendah dan ekonomi rendah. Oleh karena itu, jika kelahiran rendah, maka upaya untuk menaikkan pendapatan per kapita akan semakin berat.

"Kalau seandianya sekarang ini, seandainya, sudah stuntingnya tinggi, misalkan kemudian kualitasnya nggak bagus terus (kelahiran) jumlahnya sedikit ya waduh berat sekali menyangga beban itu," katanya.

Tren Perkawinan Turun

Dilansir detikHealth, angka perkawinan di Indonesia merosot tajam dari semula rata-rata 2 juta pernikahan, menjadi 'hanya' 1,5 hingga 1,7 juta dalam setahun. Hal ini juga berdampak pada angka kelahiran atau total fertility rate (TFR) yang secara nasional kini berada di 2,1.

Meski angka tersebut terbilang ideal untuk pertumbuhan populasi penduduk, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo khawatir dalam beberapa tahun ke depan TFR terus menurun. Mengingat, adanya pergeseran tujuan pernikahan yang awalnya didominasi prokreasi atau memiliki keturunan, kini tidak sedikit yang hanya menjadi rekreasi.

"Ada juga yang rekreasi, supaya hubungan suami-istri sah, ada yang 'security' yaitu supaya bisa mendapatkan perlindungan," bebernya dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Selasa (2/7).

Hasto menegaskan perubahan persepsi di masyarakat tentang menikah tidak lagi wajib juga ikut berperan dalam penurunan TFR. Karenanya, dr Hasto berharap setiap wanita bisa melahirkan satu anak perempuan.

"Di Jawa Tengah sendiri, angka kelahiran total bernilai 2,04. Secara nasional saya mempunyai tanggung jawab agar penduduk tumbuh seimbang. Saya berharap adik-adik perempuan nanti punya anak rata-rata 1 perempuan. Kalau di desa ada 1.000 perempuan maka harus ada 1.000 bayi perempuan lahir," sambungnya.

Hasto menilai hal ini diperlukan agar tidak terjadi penyusutan populasi penduduk di Indonesia.

"Kalau 'minus growth', lama-lama habis orangnya," ujar dia.




(ams/ams)

Hide Ads