Paguyuban Lurah-Pamong Kulon Progo Datangi Kantor DPRD, Ini Tuntutannya

Paguyuban Lurah-Pamong Kulon Progo Datangi Kantor DPRD, Ini Tuntutannya

Jalu Rahman Dewantara - detikJogja
Rabu, 22 Mei 2024 19:20 WIB
Paguyuban Lurah dan pamong se Kulon Progo saat mengikuti audiensi di Kantor DPRD Kulon Progo, Rabu (22/5/2024).
Paguyuban Lurah dan pamong se Kulon Progo saat mengikuti audiensi di Kantor DPRD Kulon Progo, Rabu (22/5/2024). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja
Kulon Progo -

Paguyuban lurah dan pamong se-Kulon Progo mendesak Pemkab Kulon Progo untuk merevisi aturan soal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Desakan ini muncul setelah ada pamong yang tersangkut kasus hukum imbas regulasi tersebut.

Tuntutan itu disampaikan para lurah dan pamong dalam audiensi di Gedung DPRD Kulon Progo, Rabu (22/5/2024). Adapun aturan yang dipersoalkan yakni Peraturan Bupati (Perbup) No 2 Tahun 2018 tentang Pembebanan Biaya untuk PTSL.

Menurut para lurah dan pamong, aturan yang tertuang dalam Perbup turunan SKB 3 Menteri ini tidak rinci dan terkesan multitafsir, khususnya dalam hal teknis pelaksanaan PTSL. Walhasil, pamong yang mengurus PTSL bisa sewaktu-waktu tersandung masalah, di sisi lain tidak ada perlindungan hukum yang jelas dari Pemkab Kulon Progo.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tuntutan kami sebenarnya hanya perbaikan kebijakan saja. Kami ingin kepastian hukum dari pemkab tentang kebijakan yang dikeluarkan," ucap Ketua Paguyuban Lurah 'Bodronoyo' Dani Pristiawan, saat ditemui di lokasi sore ini.

"Alasan kami itu karena tidak ada kejelasan di bagian pelaksanaan saja. Karena dinyatakan di situ bahwa untuk PTSL itu memang jadi program pemerintah tapi seharusnya tidak menjadi seolah-olah jebakan betmen. Supaya temen-temen aman dalam melaksanakan kegiatan," imbuhnya.

ADVERTISEMENT

Dani menjelaskan ketidakjelasan aturan tersebut telah membuat rekannya berinisial MT (32), Jagabaya, Kalurahan Sidorejo, Lendah, tersangkut kasus hukum. Sebelumnya MT yang didapuk sebagai pengurus Kelompok Masyarakat (Pokmas) PTSL Sidorejo ditangkap karena diduga melakukan pungutan biaya PTSL sebesar Rp 500 ribu.

Meski tarif itu sudah sesuai kesepakatan antara Pokmas dengan peserta PTSL, MT tetap dinilai melanggar aturan. Sebab, berdasarkan Peraturan Bupati No 2 Tahun 2018, pungutan yang dibolehkan maksimal hanya Rp 150 ribu.

Dugaan pungutan itu dilakukan MT sejak 2020 lalu atau ketika masih masa pandemi COVID-19. MT ditahan sejak Januari 2024 dan proses hukumnya masih berlangsung hingga sekarang.

"Tadi malam sudah sampai pleidoi, untuk vonisnya saya dengar sekitar awal Juni depan," ucap Dani.

Paguyuban Lurah dan pamong se Kulon Progo saat mengikuti audiensi di Kantor DPRD Kulon Progo, Rabu (22/5/2024).Paguyuban Lurah dan pamong se Kulon Progo saat mengikuti audiensi di Kantor DPRD Kulon Progo, Rabu (22/5/2024). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJogja

Sementara itu Ketua DPRD Kulon Progo, Akhid Nuryati mengatakan akan mengambil langkah strategis untuk menyelesaikan persoalan ini. Langkah pertama yaitu membantu penyelesaian hukum bagi pamong yang tersangkut kasus imbas regulasi PTSL.

"Kalau saya pribadi pasti kita akan menghubungi tentunya lawyer yang sudah ditunjuk untuk menyampaikan beberapa hal, bahwa memang terjadi kesalahan. Tapi kesalahan itu adalah post mayor," ujarnya.

Kesalahan yang dimaksud Akhid yakni langkah MT yang tidak menggelar pertemuan massal dengan peserta PTSL. Alasannya karena waktu itu masih masa pandemi, sehingga berbenturan dengan aturan Satgas COVID-19 yang melarang kegiatan berkumpul.

"Kenapa mereka nggak mengundang, dan kemudian hanya perwakilan itu karena ada pandemi, jadi ada perang antara perbup itu mengamanatkan semua harus datang peserta PTSL untuk merembuk tambahan biaya, tapi di sisi lain mereka tidak akan mungkin menghadirkan semuanya karena dilarang oleh satgas COVID," ujarnya.

"Ini yang mungkin belum ada yang membahasakan secara terang. Menurut saya aturan itu bisa dibaca tidak secara an sich. Kalau kita kemudian kembali pada demokrasi kita, artinya musyawarah bisa perwakilan," imbuhnya.

Langkah berikutnya yang akan ditempuh DPRD Kulon Progo yakni mengupayakan revisi Perbup agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Ihwal khusus ketika pembahasan biaya tambahan PTSL, agar tidak terjadi kesalahpahaman seperti halnya yang menimpa MT.

"Kemudian aturan perbup harus lebih teknis, seperti berapa orang baru bisa dianggap kuorum, kalau pesertanya PTSL satu desa 500, apakah harus datang semua, justru nggak ketemu itu solusinya. Dan yang penting sebetulnya sosialisasi. Saya memahami kebatinan mereka karena ini sebenarnya tugas pembantuan, di mana seluruh aparat harusnya ikut mengawal," ujarnya.

Selengkapnya di halaman berikut.

Pemkab Buka Peluang Revisi Perbup

Ditemui di lokasi yang sama, Inspektur Daerah (Irda) Kulon Progo, Arif Prastowo menyebut ada peluang Perbup No 2 Tahun 2018 direvisi.

"Tentu kami melihatnya dari perspektif inspektorat. Yang pertama kami menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Kedua, hal berkaitan aspirasi tadi antara lain soal regulasi, bagi kami ketika memang regulasi itu perlu penyempurnaan ya saya rasa itu bisa dilakukan," ujar Arif.

Menurutnya, isi dalam Perbup No 2 Tahun 2018 perlu diperjelas lagi khususnya soal pelaksanaan teknis PTSL, dan besaran biaya bagi Pokmas yang mengurusnya.

"Karena ada beberapa hal yang memang perlu diperjelas, terutama di peraturan bupati. Misalnya Rp 150 ribu, oke itu kan break down dari SKB, tetapi untuk kemudian ketika dimungkinkan ada biaya yang perlu ditanggung masyarakat, menjadi sekian rupiah, ada rambu-rambu untuk apa saja. Kewajaran harganya juga perlu diberikan kepada para pokmas," ucapnya.

"Sehingga ketika mereka rembugan dengan peserta itu sudah ada rambu-rambunya. Kalau enggak kan jadi beda-beda seperti ini nanti. Tergantung situasi dan kondisi masing-masing. Bisa Rp 600 (ribu) sampai Rp 1 juta, ini bukan soal nominal tapi rambu-rambu yang memberikan panduan bagi pokmas untuk penggunaannya perlu diatur supaya tidak ada penafsiran kok banyak sekali," sambungnya.

Arif mengatakan langkah revisi diperlukan karena produk hukum sudah seharusnya mengatur secara jelas dan tidak multitafsir. "Dengan begini semua orang pemahamannya akan sama," ucapnya.

Arif menyebut ada kemungkinan dilakukan uji materi terhadap Perbup yang dipersoalkan tersebut. Opsi lainnya, melakukan revisi dengan mempertimbangkan hasil audiensi dengan para lurah, dan pamong hari ini.

"Uji materi dimungkinkan, tapi jika cukup dengan hasil rekomendasi dari audiensi hari ini saya rasa itu jalan yang lebih cepat. Yang penting aturan itu jelas dan tidak multitafsir," pungkasnya.


Hide Ads