Pakar hukum tata negara Mahfud Md menilai demokrasi di Indonesia kian mengalami ancaman. Dia melihat kondisi Indonesia saat ini hampir mirip dengan proses kelahiran Nazisme dan Fasisme tapi prosesnya dilakukan secara halus.
Hal itu diungkapkan Mahfud saat menjadi pembicara kunci di acara 'Peluncuran Pusat Studi Agama dan Demokrasi' di Kampus Terpadu UII, Jalan Kaliurang, Ngemplak, Sleman.
"Demokrasi kita ini ya sedang menghadapi cobaan. Di persimpangan jalan. Ada yang mengatakan demokrasi kita itu sebenarnya mirip-mirip sekarang apa yang terjadi menjelang lahirnya Nazisme dan Fasisme. Satu sistem pemerintahan yang otoriter tapi dibungkus oleh proses-proses demokratis," kata Mahfud, Rabu (22/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud menjelaskan Nazisme lahir melalui proses pembenaran. Di dalamnya ada dewan rakyat yang memutuskan sesuatu lalu memberi legitimasi kekuasaan yang tidak terbatas dan lain sebagainya.
Eks Menko Polhukam itu pun menilai kondisi Indonesia saat ini hampir mirip. Tandanya proses yang tidak demokratis ditempuh melalui proses demokrasi.
"Nah kita mungkin sedang tidak seperti itu persis tapi sedang menghadapi ancaman hal-hal seperti itu karena sekarang ini, sekurangnya, saya sering mengatakan itu sekarang ini proses-proses ketidakdemokrasian dalam perjalanan negara kita ini ditempuh melalui proses demokrasi," jelasnya.
Di Indonesia, kata Mahfud, proses melanggar hukum dilakukan melalui pembuatan aturan hukum. Sehingga terjadi pergeseran dari the rule of law menjadi the rule by law.
"Kalau the rule of law itu, kalau negara ingin ini buatkan hukumnya agar penguasa itu terikat terhadap aturan hukum dan rakyatnya terikat juga. Itu the rule of law. Tapi kalau penguasa yang menentukan sesuatu lalu menentukan hukumnya agar segala sesuatu itu bisa tercapai itu yang disebut the rule by law, 'saya ingin ini, aturannya belum ada buatkan agar menjadi ada'," urainya.
Dia mencontohkan praktik the rule by law itu seperti ketika ada seorang anak presiden ingin menguasai industri mobil nasional. Namun, karena hanya hobi balap sehingga tidak punya perusahaan dan modal, akhirnya dibuatkan kebijakan.
"Lalu dibuatkan kebijakan secara koruptif. Buatkan aturan bahwa presiden diminta membuat aturan tentang industri mobil nasional. Dimasukkan di GBHN, masuk di GBHN sesudah GBHN lalu dibuat aturan pelaksanaannya. Industri mobil nasional ini bebas pajak impor kandungan luar dana kandungan lokal sehingga bebas tanpa bayar apapun," jelasnya.
Itulah yang menurut Mahfud yang disebut sebagai positivist instrumentalistic. Yaitu sebuah keinginan dipositifkan sebagai instrumen sehingga menjadi benar.
"Wo itu benar, wo itu melanggar aturan, ndak udah benar, udah dibenarkan kok oleh MK, sudah dibuat kok oleh DPR, sudah ada perpresnya kok, sudah ada PP-nya kok. Nah itu proses yang lebih halus dari lahirnya Nazisme dan Fasisme," bebernya.
Oleh karena itu, kampus mempunyai tanggung jawab untuk meluruskan arah demokrasi Indonesia. Termasuk UII dengan membuat Pusat Studi Agama dan Demokrasi.
"Dan menurut saya UII ini terpanggil, dipanggil oleh sejarah untuk meluruskannya, karena universitas ini didirikan sebagai anak kandung Republik. Didirikan oleh Moh Hatta diresmikan oleh Bung Karno," pungkasnya.
(aku/ams)
Komentar Terbanyak
Kebijakan Blokir Rekening Nganggur Ramai Dikritik, Begini Penjelasan PPATK
Kasus Kematian Diplomat Kemlu, Keluarga Yakin Korban Tak Bunuh Diri
Megawati Resmi Dikukuhkan Jadi Ketum PDIP 2025-2030