Sri Sultan HB IX Ternyata Inisiator Pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Jogja

Sri Sultan HB IX Ternyata Inisiator Pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Jogja

Adji G Rinepta - detikJogja
Jumat, 26 Apr 2024 07:05 WIB
Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan HB IX (Arsip Nasional RI)
Foto: Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Arsip Nasional RI)
Jogja -

Saat masa awal kemerdekaan Indonesia, diketahui Yogyakarta pernah berstatus sebagai Ibu Kota Negara. Pemindahan Ibu Kota itu tak lepas dari peran besar sang inisiator, Raja Keraton Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Baha' Uddin menjelaskan usai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tak serta merta membuat ancaman kolonialisme di Indonesia memudar.

Benar saja, usai proklamasi, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang kala itu juga bagian dari Sekutu sebagai pemenang Perang Dunia II, datang ke Jakarta untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Dari situ kemudian mereka (Belanda) meneror berbagai tempat di Jakarta, bahkan mencoba membunuh beberapa menteri. Bahkan sebenarnya target utama mereka Presiden Soekarno," jelas Baha' kepada detikJogja, Kamis (25/4/2024).

"Karena itu, (Presiden Soekarno) tidurnya tidak pernah di rumahnya sendiri. Setiap malam berpindah-pindah ke rumah teman-temannya untuk menghindari tentara Belanda," ujarnya menambahkan.

ADVERTISEMENT

Kondisi tidak kondusif dan tidak aman di Jakarta ini, menurut Baha', kemudian menyebabkan tidak efektifnya pemerintahan RI pada waktu itu. Kondisi ini pun kemudian menjadi perhatian Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sultan HB IX dan penguasa Pakualaman KGPAA Paku Alam VIII lalu mengirim utusan ke Jakarta, yang membawa pesan penawaran untuk sementara memindahkan Ibu Kota Negara ke Jogja. Tujuannya agar roda pemerintah bisa tetap berjalan.

"Itu awal Januari (1946), tanggal 2 kalau nggak salah, kemudian tanggal 3 usulan dari Sultan itu dirapatkan di kabinet. Kemudian diputuskan malam itu juga Pemerintahan RI kecuali (Sutan) Sjahrir (Perdana Menteri), pindah ke Jogja," jelas Baha'.

Malam itu juga, usai keputusan rapat kabinet tersebut, Presiden Soekarno beserta jajaran menteri dan keluarga bertolak ke Jogja. Mereka menggunakan kereta api khusus dengan tidak membawa harta benda agar tidak diketahui Belanda.

"Karena tidak mungkin loading (barang) ke kereta api karena pasti ketahuan. Oleh Soekarno diinstruksikan tidak boleh membawa harta," ungkapnya.

"Sampai di (Stasiun) Tugu 4 Januari 1946, dan disambut Sultan, Paku Alam VIII, dan Jenderal Sudirman. Makanya tanggal 4 itu dijadikan, dimulainya Ibu Kota RI di Jogja," imbuh Baha'.

Sultan IX-Paku Alam VIII Terbitkan Maklumat Jogja Bagian dari RI

Baha' menjelaskan peran Sultan HB IX sebenarnya sudah dimulai sejak dua minggu setelah proklamasi RI. Tepatnya tanggal 5 September 1945, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah RI.

Maklumat ini yang kemudian menjadi pertimbangan dalam rapat kabinet pada 3 Januari 1946, yang akhirnya memutuskan memindahkan Ibu Kota Negara ke Jogja.

"(Maklumat) Ini yang penting sebenarnya, karena ada jaminan ini. Sebenarnya saat itu ada beberapa tempat yang dijadikan alternatif Ibu Kota, tapi tidak ada jaminan dari penguasanya sendiri," jelasnya.

Mengutip laman resmi Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, dpad.jogjaprov.go.id, Jogja menjadi Ibu Kota Negara selama hampir empat tahun lamanya, atau mulai 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949.

Menurut Baha', selama itu pula seluruh kebutuhan dan sarana prasarana yang diperlukan pemerintahan RI dipenuhi oleh Keraton Jogja, Sultan HB IX, dan Kadipaten Pakualaman, Paku Alam VIII.

"Gedung-gedung yang diperlukan untuk kantor-kantor Kementerian itu dipinjami oleh Sultan," tutupnya.




(apu/ams)

Hide Ads