Kisah Masjid Agung Manunggal Bantul: Berganti Nama-Arsitek Jadi Mualaf

Kisah Masjid Agung Manunggal Bantul: Berganti Nama-Arsitek Jadi Mualaf

Pradito Rida Pertana - detikJogja
Senin, 25 Mar 2024 07:00 WIB
Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024).
Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja
Bantul -

Masjid Agung Manunggal Kabupaten Bantul memiliki konsep bangunan perpaduan Jawa dan Islam. Namun siapa sangka jika arsitek masjid tersebut bukan umat muslim dan baru memeluk agama Islam setelah menyelesaikan pembangunan masjid.

Selain itu, masjid ini ternyata juga berganti nama. Berikut informasi soal Masjid Agung Manunggal Bantul.

Pembangunan Masjid Agung Manunggal Bantul

Anggota Takmir Masjid Agung Manunggal Bantul, Bisri Mustofa menjelaskan, bahwa yang memprakarsai pembangunan masjid tersebut adalah tokoh masyarakat pendiri Persatuan Djamaah Haji Indonesia (PDHI), yaitu Alm KH Mathoriq Alhuda. Selain itu ada pula tokoh agama dari Nahdlatul Ulama (NU) yakni KH Nawawi Abdul Aziz.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lalu didukung anggota DPRD hingga Dandim saat itu. Saya ingat betul karena saya ikut dalam proyek pembangunan masjid ini," kata Bisri saat ditemui detikJogja di Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024).

Sedangkan untuk dana pembangunan masjid berasal dari potongan gaji pokok pegawai negeri, khususnya yang beragama Islam di Bantul.

ADVERTISEMENT

"Berapa potongannya? 1 persen yang PNS beragama Islam. Tapi kalau yang di Kanwil Kemenag potongannya 2,5 persen dan itu dipotong dari gaji pokok," ujarnya.

Selanjutnya, mulailah peletakan batu pertama pada 17 Agustus 1984. Saat itu, Bupati Bantul yakni RM Soeheram Partosoepoetro memanggil mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum bernama Sunardi Pronohandoyo.

"Jadi dipanggil bupati saat itu yakni Pak Soeheram karena kerjanya Pak Sunardi saat jadi Kepala PU di Bantul itu bagus, maka diminta bupati untuk menangani masjid ini," ucapnya.

Sunardi, kata Bisri, adalah keturunan dari Kasunanan Surakarta. Namun, selama hidupnya bertempat tinggal di Jogja, yakni di Samirono Baru, Kabupaten Sleman.

"Setelah menggambar (sketsa masjid), gambar diajukan ke tokoh-tokoh muslim Bantul dan diterima. Lalu Pak Sunardi sekalian disuruh nggarap, jadi di sini itu Pak Sunardi seorang arsitek sekaligus pelaksana," ujarnya.

"Padahal saat itu posisi Pak Sunardi sudah pensiun. Tapi karena kerjanya bagus maka dipanggil pak bupati untuk menangani pembangunan masjid," lanjut Bisri.

Pria berambut putih ini lalu melanjutkan, bahwa konsep bangunan masjid menggabungkan budaya Jawa dan Islam. Pasalnya, Bisri menyebut jika Sunardi merupakan orang yang sangat memahami kejawen.

"Pak Sunardi orang kejawen. Makanya ini (bangunan Masjid Agung Manunggal Bantul) perpaduan Jawa dan Islam," ucapnya.

Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024).Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja

Sebab konsepnya tersebut, muazin yang pensiun lima bulan lalu ini mengungkapkan pernah terjadi perdebatan di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mengingat Sunardi menggunakan bentuk gunungan wayang untuk tempat imam.

"Dulu menjadi perdebatan di antara di Majelis Ulama, itu kok masjid dikasih gunungan di bagian imamnya. Karena yang membuat itu orang Keraton (Surakarta), orang kejawen asli jadinya ya semau dia. Apalagi sudah dipercaya untuk menangani pembangunan masjid," katanya.

Terus menjadi pembicaraan di MUI, akhirnya Sunardi berniat mengundurkan diri jika ide bentuk gunungan pada tempat imam tidak digunakan. MUI akhirnya menyetujui ide dari Sunardi saat itu.

"Nah, di Majelis Ulama jadi pembicaraan, itu di Indonesia belum ada itu, itu kan pewayangan kok ada di masjid. Lalu Pak Sunardi bilang kalau ide saya tidak dipakai saya mundur tidak apa-apa. Terus dari Majelis Ulama ya sudahlah yang penting niatnya beribadah," ujarnya.

Tidak berhenti di situ, pria dengan suara lirih ini kembali menceritakan bahwa setelah gunungan tempat imam, Sunardi kembali mendapat tentangan. Itu karena pemasangan beberapa keris di atap bangunan serambi masjid.

"Pak Sunardi itu aneh-aneh, terus di atas atap kubah serambi masjid ini dikasih perahu dan di atas perahu itu ada 9 keris. Aneh-aneh juga itu, ada yang komplain juga itu kok namanya masjid di atas ada 9 keris," ujarnya.

Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024).Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja

Mendapati itu, akhirnya Sunardi buka suara. Menurutnya, 9 keris tersebut melambangkan Walisongo sebagai tokoh yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

"Ternyata itu menggambarkan Walisongo, itu penjelasan Pak Sunardi. Itu menggambarkan kita semua, khususnya di Pulau Jawa mengikuti Walisongo, tapi kalau syariat ya tetap mengikuti Rasulullah," ucapnya.

Setelah empat tahun, kata Bisri, akhirnya pembangunan masjid pun selesai. Adapun detail luasan dari masjid tersebut masih dalam ingatan Bisri.

"Saya ikut ngukur saat itu, kalau bangunan masjidnya 40x40 jadi 1.600 meter persegi. Lalu serambi Masjid 40x30 jadi 1.200 meter persegi. Total semua bangunan yang di bawah atap ada 2.800 meter. Selanjutnya tinggi bangunan masjid, dari nol lantai sampai ke ujung, kubah itu 24 meter," katanya.

Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024).Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja

Arsitek Menjadi Mualaf

Bisri juga menceritakan, bahwa setelah selesai pembangunan masjid pada tahun 1988, tiba-tiba Sunardi memutuskan untuk menjadi mualaf. Bisri mengaku tidak tahu apa yang membuat Sunardi akhirnya memeluk agama Islam.

"Pak Sunardi memang awalnya nonmuslim. Tapi alhamdulillah setelah empat tahun pembangunan masjid ini beliau masuk Islam bahkan setelah itu langsung menjalankan ibadah haji bersama istrinya," ucapnya.

"Kalau soal Pak Sunardi saat ini, Pak Sunardi itu sudah meninggal dunia," imbuh Bisri.

Bisri menambahkan, saat ini bangunan masjid yang dulu menuai pertentangan dan cibiran malah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Bahkan, umat muslim yang datang ke Masjid Agung Manunggal Bantul banyak yang berasal dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

"Sekarang malah jadi banyak yang berkunjung ke sini karena tempat imamnya berbentuk gunungan. Tidak hanya itu, yang dari luar daerah malah banyak yang datang mau lihat tempat imam Masjid Agung Manunggal Bantul yang berupa gunungan," ujarnya.

Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024).Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja

Masjid Berganti Nama

Bisri juga mengungkapkan, bahwa setelah diresmikan pada 1 Oktober 1988, masjid bernama Masjid Agung Bantul. Namun, tidak berselang lama terjadi perbedaan pendapat antara dua organisasi besar yang memprakarsai pembangunan masjid tersebut yakni Muhammadiyah dan NU.

"Setelah itu karena ada perbedaan pendapat diantara Muhammadiyah dan NU. Padahal keduanya sama-sama yang memprakarsai atau punya ide pembangunan masjid ini," katanya.

"Tapi masalah ibadah kan ada perbedaan, sebenarnya masalah kecil, seperti ada yang pakai qunut dan tidak pakai qunut," imbuh Bisri.

Dari hal tersebut, kedua belah pihak melakukan pertemuan dan akhirnya sepakat untuk bersama-sama mengisi dan memakmurkan Masjid Agung Bantul. Sebagai bentuk persatuan itu, makan nama masjid pun berubah.

"Terus Masjid Agung Bantul namanya diubah menjadi Masjid Agung Manunggal Bantul. Maksudnya di antara organisasi masyarakat (ormas) yang ada supaya manunggal (menjadi satu), dan itu sampai sekarang tidak ada komplain," ucapnya.

Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024).Masjid Agung Manunggal, Bantul, Minggu (24/3/2024). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJogja

Bisri melanjutkan, Masjid Agung Manunggal Bantul menggelar dua macam tarawih. Selain itu, saat salat Jumat juga melaksanakan apa yang menjadi tradisi di Muhammadiyah dan NU.

"Yang namanya tarawih saja ada yang 11 rakaat dan 23 rakaat di sini, berjalan mulus sampai sekarang. Khatib Jumat juga, ada yang azan dua kali dan ada yang azan satu kali, pokoknya semua sudah bertekad memakmurkan Masjid Agung Manunggal Bantul," pungkasnya.




(rih/rih)

Hide Ads