Masjid Gede Mataram Kotagede tak lepas dari sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Berikut informasi soal sejarah Masjid Gede Mataram Kotagede.
Masjid yang berada di Banguntapan, Bantul, DIY, ini dibangun pada tahun 1587. Tepatnya oleh Kanjeng Panembahan Senopati Sutawijaya atau Raja Kerajaan Mataram Islam pertama saat mendirikan kerajaan di kawasan Alas Mentaok atau Kotagede Jogja.
Abdi Dalem Kamasjidan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Mas Panewu Rekso Leksono (70), menceritakan bahwa Panembahan Senopati adalah murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Keberadaan Masjid Gede Mataram Kotagede kala itu juga dianggap sebagai wujud syiar Islam. Sasarannya adalah kawasan pedalaman Pulau Jawa sisi selatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi ketika Demak mulai runtuh karena pada saat itu Islam hanya berkembang di pantai utara dari Jawa Barat, Banten, Cirebon, sampai Jawa Timur, Gresik dan lain sebagainya. Kemudian Kanjeng Sunan Kalijaga mengembara kedalaman Pulau Jawa, di sinilah pedalaman Pulau Jawa yang dimaksud," jelasnya saat ditemui di Masjid Gede Mataram Kotagede, Kamis (21/3/2024).
![]() |
Pemilik nama asli Warisman ini menuturkan, perjuangan Sunan Kalijaga dan Panembahan Senopati tidaklah mudah. Ini karena kawasan Alas Mentaok awalnya dihuni para penganut kepercayaan animisme, dinamisme, dan aliran kepercayaan. Namun ini tak menyurutkan syiar agama yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Pada awal dakwah, Sunan Kalijaga memanggil muridnya yang bernama yang bernama Ki Juru Mertani. Sosok ini adalah paman dari Kanjeng Panembahan Senopati Sutawijaya. Hingga akhirnya sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Islam berlangsung pada tahun 1586.
"Dalam berdirinya Kerajaan Mataram, Sunan Kalijaga turut berperan dalam menanamkan pemikirannya. Berupa konsep Catur Gatra Tunggal yang bermakna empat wujud jadi satu. Diwujudkan dengan dibangunnya Kerajaan, Alun-alun, Pasar, dan Masjid," katanya.
![]() |
Kerajaan, lanjutnya, berada di Kampung Dalem. Untuk Alun-alun berada di sebelah timur Masjid Gede Mataram. Sementara untuk Pasar berada di sisi utara yang kini menjadi Pasar Kotagede.
"Nah itu punya filosofi dan makna sebagai salat berjemaah, salat berjamaah itu imamnya masjid, makmumnya kerajaan, alun-alun, pasar," ujarnya.
Filosofi ini memiliki pesan yang kuat. Berdirinya Kerajaan Mataram Islam berlandaskan aturan Masjid atau Imam Islam. Sementara Alun-alun sebagai pusat pengembangan seni dan budaya. Selain itu menjadi tempat latihan perang. Alun-alun juga sebagai pusat pertemuan antara Raja dan rakyatnya.
Pasar, lanjut Warisman, menjadi tempat jual beli pusat pengembangan ekonomi yang berlandaskan syariat Islam. Keempat titik inilah yang digaungkan Sunan Kalijaga melalui Catur Gatra Tunggal.
"Jadi inilah yang dimaksud dengan berdirinya Masjid Gede Mataram ini berkait dengan berdirinya Kerajaan Mataram yang tadi didirikan oleh Kanjeng Panembahan Senopati. Dari yang dimaksud masjid ini sebagai pusat pengembangan agama Islam di pedalaman Pulau Jawa atau di Kerajaan Mataram," katanya.
Keunikan dari Masjid Gede Mataram adalah perpaduan arsitektur bangunan Hindu. Tercermin dari pagar dan gerbang yang mengelilingi kompleks Masjid. Seluruh bentuk dan arsitektur mengadaptasi tempat ibadah Hindu atau Pura.
Warisman menuturkan perpaduan ini berawal ketika rombongan Ki Ageng Pamanahan ayah dari Panembahan Senopati berjalan melalui Prambanan dari Surakarta. Setibanya di kawasan Prambanan, rombongan disambut oleh warga penganut Hindu dan Siwa Budda. Dalam perbincangan, warga tertarik untuk ikut rombongan menuju Alas Mentaok.
Setibanya di Alas Mentaok, rombongan lalu membuka lahan yang awalnya adalah hutan rimba. Di sinilah mulai terwujud kolaborasi antara Muslim dengan Hindu, Siwa Buddha. Termasuk dalam pembangunan Masjid Gede Kotagede Mataram.
"Pada waktu mendirikan Masjid Gede ini, orang-orang muslim mendirikan masjidnya kemudian orang-orang Hindu dan Siwa Buddha itu membikin pintu gerbangnya. Karena Kanjeng Panembahan Senopati sehingga membebaskan wujud arsitektur bangunan. Makanya dibangun seperti itu," ujarnya.
Walau begitu akulturasi ini tidak menimbulkan konflik. Sebaliknya menjadi bukti bahwa kehidupan saling menghargai sudah terwujud pada era Mataram Islam. Arsitektur ini pun masih bertahan hingga saat ini.
Sunan Kalijaga, lanjutnya, juga menanamkan pesan tersirat dalam keberagaman tersebut. Bahwa siar agama tidaklah harus memaksakan. Namun hadir dengan kedamaian dan merangkul semua golongan.
"Jadi profil-profil yang ada di masjid ini dari gapura pohon-pohon, kolam, pintu gerbang, tiang, mustaka yang ada di dalam masjid itu semua mempunyai filosofi dan makna yang makna itu apabila diurai menjadi pelajaran agama Islam tapi dengan simbol-simbol. Kanjeng Sunan Kalijaga itu suka mengajar agama Islam tidak saklek dengan Quran dan Sunnah tapi dengan simbol-simbol yang orang-orang itu mudah menerimanya," bebernya.
(rih/ahr)
Komentar Terbanyak
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu
Tiba di Reuni Fakultas Kehutanan, Jokowi Disambut Sekretaris UGM