Sejumlah akademisi melakukan uji eksaminasi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.90 tahun 2023. Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, seharusnya KPU, Bawaslu, dan MK bisa meluruskan pemaknaan putusan tersebut.
Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UGM, Prof. Nindyo Pramono mengatakan, bahwa uji eksaminasi putusan tersebut berupa focus group discussion (FGD) yang pesertanya para intelektual muda. Semua itu karena timbul kegelisahan dengan putusan tersebut.
"Jadi gini, ada teman-teman para intelektual muda, pemerhati di bidang hukum tata negara dan hukum administrasi negara agak gelisah atau risau dengan putusan MK 90 itu," katanya kepada wartawan di Kota Jogja, Sabtu (20/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perlu diketahui, putusan MK No.90 Tahun 2023 menyatakan bahwa batas usia capres dan cawapres adalah sekurang-kurangnya berusia 40 tahun atau yang berusia di bawah itu sepanjang telah berpengalaman menjadi pejabat negara dan/atau kepala daerah yang didapatkan melalui proses Pemilu atau Pilkada.
"Kami dari kalangan akademisi menghargai doktrin yang menyebut putusan hakim itu apapun harus dianggap benar. Bisa jadi putusan hakim sebagai manusia salah itu normal, tapi dengan doktrin tersebut semua putusan hakim yang sudah inkrah harus dianggap benar," ujarnya.
Namun, pada tataran akademisi putusan hakim adalah putusan manusia. Sehingga yang boleh untuk pengayaan adalah dari sisi akademisi berupa uji eksaminasi.
"Uji examinasi itu ya ingin membedah putusan itu rasiologisnya seperti apa, dasar-dasar pertimbangannya seperti apa, prosesnya seperti apa," tuturnya.
"Nah, kalangan akademisi dan junior praktisi alumnus fakultas hukum melakukan kajian, kemudian menemui saya minta untuk bagaimana kalau melakukan FGD untuk melakukan uji examinasi. Ini murni pada tataran akademis," lanjut Nindyo.
Selain itu, uji examinasi tersebut juga untuk pembelajaran terhadap masyarakat. Pasalnya, sampai saat ini masyarakat sudah diberikan informasi tentang keprihatinan perkembangan demokrasi, keprihatinan tentang penegakan hukum.
"Nah, kami dari kalangan akademisi ingin menyuarakan itu. Jangan sampai hukum itu justru dilanggar sedemikian rupa. Lalu ada jargon yang mengatakan yang namanya ahli hukum itu berbuat melanggar hukum tapi tidak dihukum, ini kan menyedihkan kalau terjadi," ucapnya.
"Jadi kami betul-betul murni dari kalangan akademisi ingin melakukan diskusi uji examinasi atas putusan itu. Paling tidak kalau memang betul ada yang bisa kita diskusikan dan terindikasi pelanggaran minimal itu sebagai pembelajaran untuk kita semua," imbuh Nindyo.
Salah satu peserta sekaligus Dosen Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Dr. Dian Agung Wicaksono menilai ada tiga lembaga negara yang seharusnya bisa meluruskan pemaknaan putusan MK No.90 tahun 2023. Menurutnya, yang pertama adalah KPU.
"KPU memiliki peluang untuk menganulir pendaftaran Capres-Cawapres yang tidak sesuai dengan pemaknaan putusan pluralitas tersebut pada tahapan verifikasi bakal pasangan calon," katanya.
Penjelasan selanjutnya bisa dibaca di halaman berikut
Selain itu, patut disangsikan juga apakah KPU "berani" untuk menggunakan penafsiran putusan pluralitas tersebut untuk menilai apakah Capres-Cawapres yang diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik memenuhi kualifikasi dalam Putusan MK yang merupakan putusan pluralitas tersebut.
"Faktanya KPU hanya mengikuti pendapat mainstream bahwa Putusan MK a quo memang memperbolehkan kepala daerah dengan usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah dapat diusulkan sebagai Capres-Cawapres, dibuktikan dengan perubahan PKPU Nomor 19/2023 menjadi PKPU Nomor 23/2023," ucapnya.
Lembaga kedua, menurut Dian adalah MK itu sendiri. Pasalnya dalam menguji ketentuan UU No.7 tahun 2017 dengan menegaskan Purcell Principle dalam membaca putusan-putusan MK terdahulu yang menguji aturan Pemilu setelah tahapan Pemilu 2024 dimulai, yaitu putusan-putusan MK tersebut hanya dapat diberlakukan pada Pemilu 2029, terkecuali bagi putusan-putusan MK yang berorientasi pada penyelamatan suara pemilih.
Purcell Principle dikenalkan dalam praktik peradilan di Amerika Serikat melalui putusan Purcell v. Gonzalez, 549 U.S. 1, 5 (2006), di mana seharusnya pengadilan tidak diperkenankan untuk memutuskan perkara yang berakibat pada perubahan aturan Pemilu ketika tahapan Pemilu telah dimulai.
"Merujuk Harry B. Dodsworth, 2022, hal ini dikarenakan bila perubahan aturan Pemilu terjadi ketika tahapan Pemilu sudah dimulai, akan membuat penyelenggara Pemilu bersusah payah untuk menyesuaikan aturan main Pemilu berdasarkan putusan pengadilan tersebut," ucapnya.
Ketiga adalah Bawaslu, peluang Bawaslu ini disandarkan pada ketentuan dalam Pasal 239 UU No. Tahun 2017 yang mengatur bahwa Bawaslu melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan dan keabsahan administrasi Pasangan Calon yang dilakukan oleh KPU.
Di mana dalam hal Bawaslu menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU yang berakibat merugikan Pasangan Calon, Bawaslu menyampaikan temuan tersebut kepada KPU dan KPU wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu.
"Namun, peluang ini sudah terlewat bila Pasal 239 hanya dimaknai untuk Verifikasi Kelengkapan Administrasi Pasangan Calon. Kecuali, Bawaslu menafsirkan ekstensif ketentuan Pasal 239 tidak terikat batas waktu karena yang diatur adalah 'Verifikasi Kelengkapan Administrasi Pasangan Calon' dan bukan 'Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Pasangan Calon",' ucapnya.
Simak Video "Mahfud Md: MK Tugasnya Bukan Membuat Tapi Membatalkan"
[Gambas:Video 20detik]
(apu/apu)
Komentar Terbanyak
Jawaban Menohok Dedi Mulyadi Usai Didemo Asosiasi Jip Merapi
Jokowi Berkelakar soal Ijazah di Reuni Fakultas Kehutanan UGM
Blak-blakan Jokowi Ngaku Paksakan Ikut Reuni buat Redam Isu Ijazah Palsu