Tragedi Kanjuruhan di malam 1 Oktober 2022 adalah cerita kelam tidak hanya bagi para korban, tapi juga bagi Aremania, Arema FC serta bagi masyarakat Indonesia. Ada 135 nyawa melayang. Orang tua ditinggal putra-putri mereka selamanya, dan sebaliknya anak-anak ditinggal orang tuanya.
Duka itu benar-benar menyayat hati hingga sangat sulit untuk dilupakan meski tragedi itu telah berlalu selama 40 hari. Karena tidak hanya mereka yang ditinggal korban yang telah tiada, tapi juga mereka yang masih harus menderita dampak dari tragedi kemanusiaan tersebut.
Peringatan 40 hari tragedi memilukan itu dilakukan dengan berbagai cara. Dari doa dan tahlil bersama, seragam memakai baju serba hitam, mengibarkan bendera setengah tiang, hingga aksi unik warga dengan berjalan mundur dari Kota Malang ke Stadion Kanjuruhan di Kabupaten Malang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Baik Aremania, Arema FC sendiri, Pemkot Malang, hingga kepolisian menggelar peringatan itu untuk menyampaikan duka mendalam yang masih dirasakan. Tapi di luar itu semua, cerita kelam Tragedi Kanjuruhan akan selalu diingat oleh para korban.
Ada beragam cerita korban Tragedi Kanjuruhan yang membuka kisah kelam peristiwa 1 Oktober itu. Berikut sebagian dari kisah para korban Tragedi Kanjuruhan yang dirangkum detikJatim. Semata-mata sebagai upaya menolak lupa bahwa pada hari itu di Stadion Kanjuruhan telah terjadi tragedi kemanusiaan.
Cahayu Nur Dewata (15) salah satu korban Tragedi Kanjuruhan warga Jalan Pulau Galang, Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Sukun, Kota Malang tiba-tiba tidak mengingat apapun ketika sadar dari kondisi koma yang dia alami selama 3 hari. Satu-satunya yang dia ingat adalah kilasan kengerian insiden di stadion.
"Saya koma tiga hari terus sadar dirawat dulu di RSUD sampai akhirnya pulang ke rumah. Tapi waktu itu belum ingat apa-apa. Sampai dua hari baru mulai ingat," ujarnya ketika ditemui detikJatim di rumahnya, Sabtu (15/10/2022).
Cahayu mengaku ingatannya kembali usai didatangai oleh temannya yang berangkat bersamanya saat menonton laga derby Arema FC kontra Persebaya sebelum tragedi terjadi. Temannya itu datang dan menyatakan satu hal, meminta Cahayu mendoakannya.
"Saat itu, saya mulai ingat ketika habis mandi sambil ngeringin rambut, dari jendela temen saya cewek itu muncul dan bilang minta didoain. Saya jawab 'iya' aja," katanya. "Aku nggak paham, terus tanya ke mamaku. 'Ma, mau N njaluk dungakno' (ma tadi N minta didoakan). Akhirnya mama ngasih tau temenku ini sudah meninggal," katanya.
Seiring kembalinya memori itu, Cahayu menceritakan bagaimana dirinya berada di tengah kekacauan itu. Dia berangkat bersama 2 teman pria dan 1 teman perempuan untuk menonton laga Arema FC vs Persebaya Surabaya. Merek duduk di tribun 12, bahkan sempat berswafoto bersama temannya di tribun tersebut.
"Saat itu gas air mata udah nyebar di mana-mana, setelah itu saya pingsan. Katanya, waktu itu temenku sudah nyebar semua dan aku ditolongin temannya kakakku, dibawa keluar," kata Cahayu.
Cahayu terkejut karena ketika dirinya sudah berada di RSUD Kanjuruhan. Karena tidak mengingat apa pun selain kengerian tragedi di stadion Kanjuruhan saat sejumlah orang menjenguknya di rumah sakit Cahayu mengaku sempat berteriak dengan histeris.
![]() |
Kondisi yang lebih memilukan dialami Raffi Atha Dziaulhamdi (14) salah satu korban selamat Tragedi Kanjuruhan. Ia selamat dari situasi kepanikan yang telah membuat sebagian penonton tewas karena kehabisan napas, tapi kedua mata pelajar SMPN 2 Kota Malang berubah merah karena gas air mata.
Meski kondisi kedua mata Raffi yang menonton laga Arema FC vs Persebaya itu dari tribun 10 bersama saudara dan temannya berangsur pulih setelah menjalani perawatan di rumah sakit, memori tentang peristiwa di tribun 10 itu tidak akan dia lupakan.
Begitu laga derby itu bubar, Raffi melihat sejumlah suporter turun ke lapangan. Saat itu dirinya bersama saudara dan temannya berjalan turun ke tribun-berdiri. Di tengah jalan itulah gas air mata jatuh mengepulkan asap yang memedihkan matanya. Ia bergegas kabur melalui pintu 12.
Ia berupaya keluar di antara suporter lain yang berdesak-desakan. Situasi itu membuatnya sulit bernapas hingga akhirnya pingsan. Setidaknya selama 2 jam ia tidak sadarkan diri. Saat siuman dirinya tiba-tiba sudah berada di tribun bagian bawah.
"Saat bangun itu mata saya langsung merah. Di dalem mata kayak sakit dan sesak nafas. Temen-temen membawa saya ke Rumah Sakit Teja Husada sekitar pukul 00.30 WIB. Tapi lama nggak dapat penanganan akhirnya pulang dan pukul 02.00 WIB sudah sampai rumah," tandasnya.
Korban lainnya Kevia Naswa (18) juga menceritakan bagaimana dirinya bisa selamat dari maut setelah berhasil keluar dari pintu 14. Bagaimana dirinya melihat gas air mata itu melesat dan jatuh di tribun 12 dan 13.
"Saya lihat ada tembakan gas air mata di tribun 12 dan 13. Kan jelas asapnya kena angin ke tribun 14 juga. Meski jarak gas air mata sama saya jauh tapi rasa perih dan sesak napas," ujar Kevia ditemui di rumahnya, di New Puri Kartika Sari, Arjowinangun, Kedungkandang, Kota Malang.
Setelah itu, dirinya bersama dengan satu temannya berupaya menyelamatkan diri lewat pintu 13. Tapi karena terlihat penuh sesak, Kevia memilih untuk keluar melalui pintu 14.
"Pas jalan ke pintu 14 itu crowded dan akhirnya berhasil keluar sama satu temen saya dari samping kamar mandi itu. Kan, di situ ada kamar mandi. Aku sempet jatuh ke samping," kata Kevia.
Kevia mengaku ada beberapa orang yang membantunya dan mengantarnya ke RSUD Kanjuruhan untuk mendapatkan perawatan. "Dapet bantuan oksigen cuman sebentar tapi," singkatnya.
Tak berselang lama dirinya diantar pulang ke rumahnya. Akibat gas air mata itu mata Kevia juga memerah. Tidak hanya itu, wajah bagian kanan Kevia juga muncul bercak-bercak hitam seperti flek. Ia mengatakan bahwa flek itu muncul setelah Tragedi Kanjuruhan dan baru sembuh setelah 3 hari.
"Bintik-bintik kayak pasir itu muncul selama 3 hari terus sekarang sudah hilang. Ini kaki saya juga luka gara-gara pas ditarik dari pintu 14 kena besi," kata Kevia.
Akibat trauma selama kejadian itu tiga jari tangan kanan Kevia masih sulit digerakkan. Keluarga korban pun berencana membawanya ke fisioterapi. Hal itu diungkapkan ibu Kevia, Triwah Kus kepada detikJatim.
"Kalau kata dokter trauma katanya (jarinya sulit digerakkan). Cuman ini nanti mau saya bawa ke fisioterapi karena takutnya berlarut-larut gak bisa sekolah. Untuk pusing, sesek nggak. Tinggal tangan sama kaki," ujarnya.
Banyak cerita dari ratusan korban lainnya. Peristiwa kelam itu tidak hanya akan terus diingat para korban, tapi juga diingat warga Malang, Aremania, para pecinta sepakbola Indonesia bahkan pasca-40 hari Tragedi Kanjuruhan.
Simak Video "Jika Bukan Kanjuruhan, Dimana Kandang Arema?"
[Gambas:Video 20detik]
(dpe/iwd)