Sidang perkara pengeroyokan pesilat Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW) terhadap dua anggota Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia (IKSPI) Kera Sakti bergulir. Pada sidang kali ini, dua terdakwa menjalani nota keberatan atau eksepsi.
Sidang pembacaan eksepsi baru dimulai di ruangan Candra, PN Mojokerto sekitar pukul 11.40 WIB. Jalannya sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Fransiskus Wilfrirdus Mamo, serta hakim anggota Yayu Mulyana dan Luqmanulhakim.
Dalam sidang eksepsi ini, terdakwa dari PSHW yang dihadirkan hanya 2 orang. Keduanya yakni Willy Dhanny Setiawan (25), warga Desa Tangunan, Puri, Mojokerto, M Rio Alviansyah (20), warga Desa Penompo, Jetis, Mojokerto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan 4 tedakwa lainnya akan menjalani sidang lanjutan besok. Keempatnya merupakan anak berkonflik dengan hukum (ABH), yakni AAP (17), warga Kecamatan Jatirejo, AJA (15), warga Kecamatan Puri, FMPA (17) dan MD (16), keduanya warga Kecamatan Jetis.
Dalam sidang dakwaan para terdakwa didakwa dengan Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP atau Pasal 351 ayat (1) junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam sidang eksepsi yang dijalani dua terdakwa, mereka mengajukan 7 poin eksepsi terhadap dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) yang dibacakan oleh penasihat hukum mereka, Pidel Kastro Hutapea.
Pertama, terdakwa menilai dakwaan JPU kurang cermat dan mengada-ada. Sebab para terdakwa tidak mengeroyok maupun menganiaya korban. Kedua, terdapat beberapa kejanggalan pada tahap penyidikan sampai perkara dilimpahkan ke PN Mojokerto.
Selanjutnya, tidak ada bukti yang cukup untuk menetapkan kliennya sebagai tersangka pada tahap penyidikan. Yaitu berupa keterangan saksi yang menguatkan para terdakwa bisa ditetapkan sebagai tersangka.
"Penyidik tidak memenuhi minimal 2 alat bukti yang cukup menurut hukum. Oleh karenanya kami berupaya mengajukan praperadilan untuk membatalkan tidak sahnya penetapan tersangka para terdakwa," kata Pidel saat membacakan eksepsi, Rabu (10/1/2024).
Keempat, lanjut Pidel, pihaknya menilai penyidik Satreskrim Polres Mojokerto Kota terburu-buru melimpahkan perkara ini ke Kejaksaan Negeri Kota Mojokerto hingga pelimpahan perkara ke PN Mojokerto. Kelima, para terdakwa selalu bersama 17 temannya di malam kejadian. Namun, 17 orang itu tidak dijadikan saksi dalam penyidikan.
Keenam, berdasarkan pasal 25 Peraturan Kapolri nomor 6 tahun 2019, penetapan tersangka berdasarkan minimal 2 alat bukti yang didukung barang bukti. Penetapan tersangka dilaksanakan melalui mekanisme gelar perkara, kecuali tertangkap tangan.
Dan terakhir, keterangan 1 saksi saja tanpa keterangan saksi-saksi lain yang bisa menjadi petunjuk, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa yang menyangkal tuduhan.
"Hal itu berdasarkan kaidah hukum dalam putusan MA nomor 28 K/Kr./1977 dalam perkara Yurisndi bin M Djohar dan Alimudin bin Nawawi dengan susunan Majelis Bustanul Arifin, Purwosunu dan Kabul Arifin," terang Pidel.
Kajari Kota Mojokerto Bobby Ruswin menegaskan, pihaknya menyusun surat dakwaan perkara ini berdasarkan berita acara dari penyidik dan penelitian terhadap berkas perkara secara matang. Sehingga ia menampik disebut terburu-buru dan kurang cermat dalam menyusun surat dakwaan.
"Kalau penasihat hukum berpendapat demikian, memang seperti itulah materi nota keberatan. Pada prinsipnya kami berpegang teguh pada surat dakwaan. Perkara ini sudah kami pelajari secara matang. Kami berpedoman pada hukum acara yang ada, kelengkapan material dan formal," tandasnya.
Sidang berakhir sekitar pukul 12.05 WIB. Penasihat hukum para terdakwa lantas menyampaikan hasil sidang kepada massa PSHW yang menunggu di Jalan RA Basuni, depan PN Mojokerto. Begitu pula Ketua Cabang PSHW Mojokerto Raya, Siswanto. Selanjutnya, massa membubarkan diri dikawal 50 anggota polisi dan TNI.
(abq/iwd)