Kota Pahlawan memiliki banyak peninggalan bersejarah, salah satunya Viaduk di Jalan Pahlawan yang telah menjadi cagar budaya. Viaduk ini dirancang oleh arsitek asal Belanda, GC Citroen, pada tahun 1924 dan diresmikan pada 28 Oktober 1926.
Kuncarsono Prasetyo, sejarawan Beganding Soerabaia menjelaskan awalnya, viaduk ini dibangun untuk menjawab kebutuhan koneksi antara dua perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial dan swasta.
"Pada masa kolonial Belanda, operator kereta api terbagi menjadi dua, perusahaan swasta yang mengelola jalur di Pasar Turi dan perusahaan pemerintah yang mengelola jalur di Surabaya Kota. Karena tidak ada koneksi antarjalur, akhirnya dibangun jalur melintang di Jalan Pahlawan pada 1920-an," ujar Kuncar kepada detikJatim, Kamis (16/1/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, jalur melintang tersebut menimbulkan masalah baru. Lalu lintas di Jalan Pahlawan menjadi padat dan sering mengalami kemacetan. Kondisi ini mendorong kedua perusahaan untuk sepakat membangun viaduk guna mengatasi masalah tersebut.
"Pembangunan viaduk itu sebenarnya sudah dimulai, tetapi terhenti karena krisis moneter yang terjadi pada tahun 1927-1930. Sebagian fondasi, terutama di kawasan Pasar Turi dan Kali Sumut, sudah selesai dibangun. Namun, proyek itu akhirnya mangkrak," jelas Kuncar.
Viaduk tersebut akhirnya hanya digunakan sebagai jalur perpindahan gerbong kereta, bukan jalur utama transportasi. Hingga saat ini, jalur kereta di kawasan tersebut masih satu jalur, sehingga konektivitas penumpang antara Pasar Turi dan Surabaya Kota tidak dapat maksimal.
Meski pembangunan tidak pernah selesai, viaduk Tugu Pahlawan telah menjadi ikon kota. Bangunan lintasan kereta itu kemudian diresmikan sebagai cagar budaya.
Sebab, selain arsitekturnya yang khas, usianya bangunan juga sudah mencapai satu abad. Jangan lupa, viaduk ini juga menjadi saksi pertempuran 10 November 1945 antara arek-arek Suroboyo menghadapi tentara sekutu.
![]() |
"Selain usianya yang tua, viaduk ini juga memiliki nilai sejarah karena pernah menjadi bagian penting dari sistem transportasi kolonial. Bahkan, ketika masa pertempuran di Surabaya, viaduk ini digunakan sebagai pertahanan strategis," tandasnya.
"Mereka berusaha menghalau sekutu yang datang dari arah utara agar tidak masuk ke tengah kota. Selama dua hari, akses dari utara ke selatan ditutup menggunakan material berat," kata Kuncar.
Menurut Kuncar, pertempuran di kawasan viaduk itu tidak berjalan mudah. Hujan mortir dan roket yang dilancarkan sekutu menghantam area viaduk. Para pejuang yang berlindung di bawah dan di atas viaduk menjadi korban serangan tersebut.
"Setidaknya ada 25 orang pejuang yang gugur di Viaduk Tugu Pahlawan saat pertempuran itu. Mereka berusaha bertahan meskipun situasi sangat sulit. Kerangka mereka bahkan ditemukan saat renovasi viaduk pada tahun 1990," ungkapnya.
Kerangka para pejuang yang ditemukan kemudian dipindahkan dan dimakamkan di kompleks Tugu Pahlawan. Tempat itu kini menjadi monumen penghormatan bagi para pahlawan tak dikenal yang gugur dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Selain menjadi tempat pertahanan, viaduk ini juga memiliki nilai simbolis. Perlawanan yang terjadi di kawasan ini mencerminkan semangat juang rakyat Surabaya yang tidak pernah menyerah, meskipun menghadapi kekuatan militer yang jauh lebih besar.
"Sekutu sebenarnya tidak berniat merusak fasilitas publik seperti viaduk ini. Namun, dalam pertempuran yang terjadi, mereka tetap melancarkan serangan ke area tersebut karena digunakan sebagai basis pertahanan pejuang," pungkas Kuncar.
(abq/iwd)