Lantas, bagaimana Islam memandang tentang mitos larangan menikah di bulan Muharram? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
Menikah di Bulan Muharram dalam Pandangan Islam
Larangan menikah pada bulan Muharram pada dasarnya tidak tercantum dalam Al-Qur'an maupun hadis. Mitos tidak boleh menikah di bulan ini biasanya ditemui dalam kehidupan masyarakat Jawa. Adapun pada kalender Jawa, Muharram disebut bulan Suro.
Mengutip Nahdlatul Ulama (NU), menikah dianjurkan ketika seseorang telah sampai pada waktunya. Dalam kata lain, menikah disunahkan bagi mereka yang membutuhkan. Islam mengatur bahwa prinsip menikah terletak pada kemampuan.
Seorang yang sudah mampu maka disunahkan menikah. Keterangan tersebut berdasarkan pendapat Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin bin Muhammad al-Husaini asy-Syafi'i, Kifayah al-Akhyar, Surabaya: Dar al-Jawahir, t. th, juz 2, halaman 3.
يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فاليتزوج فإنه اغض للبصر و أحصن للفرج، و من لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
Artinya: Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu terhadap biaya, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan lebih menjaga kelamin. Maka apabila tidak mampu, berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng.
Mitos mengenai pernikahan pada bulan Muharram mengundang malapetaka hanyalah ilmu titen. Yakni pengalaman yang berulang-ulang dan tidak pasti kebenarannya, lalu menjadi pedoman masyarakat Jawa.
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin menerangkan, seseorang hendaknya tidak mempercayai apakah menikah di hari ini dan malam ini baik atau buruk. Kepercayaan ini dilarang keras dalam agama. Perbuatan itu tidak ada kandungan pelajaran apapun. Ibnu al-Firkah sebagai pakar ushul fiqih menjelaskan:
و ذكر ابن الفركاح عن الشافعي أنه إن كان المنجم يقول و يعتقد انه لا يأثر إلا الله، و لكن أجرى الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا ، و المأثر هو الله عز و جل، فهذا عندي لا بأس به، و حيث جاء الذم يحمل على من يعتقد تأثير النجوم و غيرها من المخلوقات
Artinya: Jika terdapat seorang ahli nujum berkata serta meyakini semuanya itu adalah pengaruh dari Allah, Allah-lah yang membuat kebiasaan terhadap anggapan sesungguhnya hal itu akan terjadi demikian ketika demikian. Maka hal itu tidak masalah.
Lalu, dari mana kritikan itu datang, muncul atas seseorang yang percaya terhadap pengaruh bintang dan pengaruh makhluk. Mereka percaya jika ilmu bintang itu dapat mempengaruhi nasib baik dan buruk pernikahan. (Sayyid Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut: Dar al-Fikr, 1994 halaman: 337).
Muharram Bulan Mulia
Dalam Al-Qur'an Surah At Taubat ayat 36 dijelaskan tentang kesucian bulan Muharram. Hal demikian sebagaimana firman Allah SWT berikut ini.
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa."
Kemudian, Rasulullah SAW menerangkan tentang empat bulan yang mulia tersebut. Sebagaimana hadis berikut ini.
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ. ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Artinya: Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram (bulan mulia). Tiga berturut-turut, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan al-Muharram, lalu Rajab (yang selalu diagungkan) Bani Mudhar, yaitu antara Jumadil Akhir dan Sya'ban. (HR Bukhari dan Muslim)
Artikel ini ditulis oleh Najza Namira Putri, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/fat)