Masyarakat yang tinggal di Jogja tentu sudah tidak asing dengan Plengkung Gading. Lokasinya sendiri berada di Jalan Patehan Kidul, tidak jauh dari Alun-alun Kidul (Alkid). Namun, apakah kamu mengetahui mitos Plengkung Gading, detikers?
Dikutip dari buku Pisowanan Alit tulisan Herman Sinung Janutama, dahulu di beteng Keraton Ngayogyakarta terdapat lima plengkung atau gerbang. Saat ini, hanya tersisa dua plengkung, yaitu Plengkung Gading (Nirbaya) dan Plengkung Wijilan. Lima plengkung ini terhubung dengan beteng yang mengelilingi keraton. Makna lima plengkung bagi masyarakat Muslim Jawa adalah simbol dari lima Rukun Islam, yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji, yang melindungi Keraton Yogyakarta.
Filosofi dari Plengkung Gading, atau yang juga dikenal sebagai Plengkung Nirbaya, mengandung makna yang mendalam. Sayap di kiri dan kanan plengkung melambangkan harapan akan keluhuran dan keunggulan. Sementara bunga melati di pucuknya mengingatkan bahwa niat buruk bisa membawa kutukan, sehingga hanya mereka yang memiliki niat suci yang dihargai di tanah Yogyakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, seperti apakah mitos yang berkembang di Jogja mengenai Plengkung Gading? Mari simak pembahasan lengkapnya berikut ini!
Kenapa Sultan Jogja Tidak Boleh Melewati Plengkung Gading?
Di dalam buku Pisowanan Alit, Herman Sinung Janutama menjelaskan, Plengkung Gading atau Nirbaya merupakan plengkung larangan bagi seorang raja atau sultan. Ketika sultan jumeneng nata atau menjadi raja, ia dilarang untuk melewati Plengkung Gading tersebut. Sultan hanya boleh melewatinya ketika wafat atau pada upacara pemakamannya.
Adanya mitos ini dibenarkan oleh KRT Jatiningrat, Penghageng Tepas Dwarapura Keraton Jogja. Larangan tersebut merupakan aturan tidak tertulis bagi raja yang lebih dikenal dengan Paugeran. Larangan ini sama derajatnya dengan pantangan Sultan untuk mengunjungi pajimatan atau makam.
"Larangan lewat Plengkung Nirbaya ini sama seperti larangan ke pajimatan," ujar KRT Jatiningrat, yang lebih akrab disapa Romo Tirun, pada Jumat (17/6/2022), dikutip dari detikJateng.
Larangan melewati Plengkung Gading sudah ada sejak masa pemerintahan Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I. Namun, pembangunan beteng keraton yang memutari istana raja baru dilakukan oleh putera mahkota, RM Sundoro, pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Plengkung Gading berhubungan erat dengan ritual pemakaman Sultan, khususnya ketika kereta jenazah Sultan melewati pintu tersebut menuju makam di Imogiri. Romo Tirun menambahkan bahwa aturan tentang jalur iring-iringan kereta jenazah sudah diatur dengan rinci.
"Ada paugerannya, dari mana keluarganya, lewat mana saja? Itu sudah ada," katanya.
Mitos Plengkung Gading yang Berkembang di Patehan
Selain adanya aturan bahwa Sultan dilarang untuk melewati Plengkung Gading, masyarakat Patehan juga memiliki kepercayaan tersendiri mengenai plengkung tersebut. Dikutip dari buku Ngeteh di Patehan: Kisah di Beranda Belakang Keraton Yogyakarta yang ditulis Galuh Ambar Sasi dkk, ada mitos yang mengatakan 'ora ilok mantenan lan nggotong mayit liwat Plengkung Gading'.
Ungkapan yang berarti 'tidak baik (rombongan) nikahan dan membawa jenazah melewati Plengkung Gading' tersebut merupakan salah satu bentuk kearifan warga Patehan. Masyarakat percaya bahwa pernikahan atau mengangkut jenazah lewat Plengkung Gading dapat membawa musibah. Hal ini berhubungan dengan kepentingan umum dan menjaga kelancaran lalu lintas di sekitar daerah tersebut. Plengkung Gading merupakan akses yang sangat vital, tetapi sempit dan padat. Jika ada iring-iringan pengantin atau jenazah yang melewatinya, bisa menyebabkan kemacetan.
Plengkung Gading merupakan pintu utama masuk dan keluar dari Jeron Beteng, tetapi kondisi jalannya tidak cukup lebar untuk menampung rombongan besar. Pada hari biasa, sudah banyak kendaraan yang melintas di sekitar Plengkung Gading. Warga merasa bahwa dengan menghindari melewati Plengkung Gading saat ada pernikahan atau pengangkutan jenazah, mereka mengutamakan kepentingan bersama.
Selain itu, ada mitos yang berkembang di masyarakat. Mereka percaya bahwa jika tetap memaksakan diri melewati Plengkung Gading, akan terjadi hal buruk. Beberapa contoh yang sering didengar seperti kaca spion pecah, kendaraan mogok, hingga kecelakaan fatal.
Larangan ini juga terkait dengan konsep Alun-Alun Kidul dan Sasana Hinggil yang ada di sekitar Keraton. Alun-Alun Kidul lebih sering dikaitkan dengan suasana dukacita, terutama dalam upacara pemakaman raja. Sasana Hinggil sendiri digunakan sebagai tempat penyemayaman jenazah sebelum dimakamkan.
(sto/apl)
Komentar Terbanyak
Heboh Penangkapan 5 Pemain Judol Rugikan Bandar, Polda DIY Angkat Bicara
Akhir Nasib Mobil Vitara Parkir 2,5 Tahun di Jalan Tunjung Baru Jogja
PPATK Temukan Duit Bansos Rp 1,3 Triliun 5 Tahun Nganggur di Bank