Sawunggaling merupakan salah satu Adipati Surabaya yang begitu gigih melawan Belanda. Makam Sawunggaling ada di Jalan Lidah Wetan Gang III, Kelurahan Lidah Wetan, Lakarsantri.
Makam Sawunggaling berada tepat di belakang Masjid Al Kubro. Ada gapura dari kayu jati yang bertuliskan 'MAKAM SAWUNGGALING' sebagai cirinya. Di belakang gapura ada sebuah joglo dengan gambar ayam jago.
Sebelum memasuki ruang makam, para peziarah akan disambut juru kunci makam di sebuah pendopo. Saat di pendopo, para peziarah bisa melihat silsilah Raden Sawunggaling yang mempunyai nama asli Joko Berek.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di ruang berukuran sekitar 8 x 12 meter, ada 5 makam berjajar. Mulai Makam Raden Sawunggaling, Raden Ayu Dewi Sangkra (Ibu Sawunggaling), Mbah Buyut Suro (guru sekaligus orang tua angkat Dewi Sangkrah), Raden Ayu Pandan Sari (teman babat alas di Surabaya Barat), dan Raden Karyosentono (teman Sawunggaling).
"Dari kelima makam itu, ada urutan mulai dari mana saja sebelum berziarah. Biasanya kalau orang berziarah ke sini bawa kembang gading merah. Tapi itu nggak harus. Banyak juga yang datang tanpa membawa apa-apa," jelas pengurus makam Sawunggaling, Tulus Warsito.
Tulus menceritakan Joko Berek merupakan putra dari Adipati Surabaya Jayengrono (Jangrono) III dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Cerita dimulai saat Adipati Surabaya ketiga itu sedang berburu di hutan di Surabaya Barat. Saat itu Jayengrono III bertemu dengan Dewi Sangkrah untuk kali pertama.
"Saat berburu itu, Adipati Jayengrono III bertemu Dewi Sangkrah di Desa Lidah Donowati. Yang sekarang menjadi Lidah Wetan dan Kulon," kata Tulus.
Jayengrono III terpesona dengan kecantikan Dewi Sangkrah. Mereka lalu menikah. Namun sebagai Adipati Surabaya, Jayengrono III harus kembali ke kedaton.
"Sebelum pergi, Adipati Jayengrono meminta Dewi Sangkrah untuk tetap tinggal di Donowati. Ia juga bertitip pesan agar anaknya diberi nama Joko Berek. Jayangrono III juga memberikan selendang cindei puspita, sebagai tanda untuk mencarinya di Kedaton Surabaya," jelas tulus.
Singkat cerita, Joko Berek yang sudah dewasa kemudian mencari sang ayah di Kedaton Surabaya. Ditemani Bagong, ayam jantan miliknya, ia sampai di pintu gerbang Kedaton Surabaya.
"Sampai di sana, Joko Berek bertemu dengan dua kakak tirinya, Sawungrana dan Sawungsari. Keduanya tidak percaya jika Joko Berek adalah anak Jayengrono III. Mereka bertiga kemudian melakukan adu ayam dan Joko Berek lah yang jadi pemenangnya," jelas Tulus.
Setelah itu, Joko Berek bertemu dengan sang ayah, Jayengrono III. Mengetahui anaknya sudah tumbuh besar, sang adipati sangat senang. Sebenarnya, Jayengrono ingin memberikan mahkotanya dan mengangkat Sawunggaling sebagai Jayengrono IV.
"Perlu diketahui, Jayengrono itu sebutan bagi adipati atau kalau sekarang wali kota. Ya kayak Sultan Hamengkubuwono gitu. Saat itu Joko Berek mau diangkat oleh adipati sebagai Jayengrono IV. Tapi karena ingin adil, Jayengrono pun membuat sayembara dengan memanah umbul-umbul Tunggul Yuda," imbuh Tulus.
Setelah sayembara diumumkan, banyak warga dari berbagai desa mengikuti sayembara tersebut, tetapi gagal. Bahkan saudara tiri Joko Berek yakni Sawungrana dan Sawungsari juga mengikuti sayembara namun mereka gagal.
"Jadi pas mau manah itu, Joko Berek berdoa Biyung Dewi Sangkrah, anakmu yung ijinono koyok banyu mili (Ibu Dewi Sangkrah, aku anakmu mau ikut sayembara, beri izin saya seperti air yang mengalir," tambah tulus membacakan sebagian doa Sawunggaling.
Meski telah memenangkan sayembara itu, perjalanan Joko Berek tidak mudah. Ia harus melawan kelicikan penjajah Belanda yang menghasut dua saudara tirinya untuk menggulingkan jabatan.
"Jadi memang saat itu Belanda ingin menyingkirkan Adipati Jayengrono III dan menguasai Surabaya. Sebab, saat itu Adipati Jayengrono tak mau bekerja sama dengan belanda. Begitu pula dengan Joko Berek, ia ingin meneruskan kepemimpinan ayahnya untuk menjadi adipati yang adil dan tegas," kata Tulus.
Karena tak ingin Sawunggaling meneruskan jabatan sebagai Adipati Jayengrono IV, Belanda dan dua saudara tiri Joko Berek bekerja sama. Mereka berusaha meracun Joko Berek dan Jayengrono III saat pesta perayaan dinobatkannya Raden Sawunggaling sebagai Adipati Surabaya.
"Beruntung aksi tersebut diketahui oleh Paman Sawunggaling yaitu Adipati Cakraningrat dari Madura. Ketika minuman yang ada racunnya itu disodorkan ke Sawunggaling, Adipati Cakraningrat pura-pura menabrak Sawungrana yang mengakibatkan terjatuhnya gelas berisi minuman yang telah diberi racun," jelas Tulus.
Dengan nada licik, Sawungrana menghasut Joko Berek. Sawungrana menyebut apa yang dilakukan Adipati Cakraningrat telah menghina Joko Berek, dengan menjatuhkan minuman tersebut. Mendapat hasutan itu, Joko Berek marah dan mengajak Adipati Cakraningrat keluar dari kadipaten.
"Setelah dijelaskan jika minuman itu telah diberi racun oleh dua saudara tirinya dan Kompeni Belanda, Joko Berek menyesal dan meminta maaf kepada pamannya. Sejak itu, Sawunggaling sangat benci dengan Belanda dan selalu memusuhi Belanda," kata Tulus.
Setelah Sawunggaling beberapa kali melawan dan menentang perintah Belanda, Kompeni mengirim 5.000 pasukan. Yang terdiri dari prajurit Eropa dan pribumi.
Serangan dilakukan melalui perang darat dan laut. Sementara di Kadipaten Surabaya, Adipati Sawunggaling berusaha menyatukan kekuatan Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan).
"Pertempuran dahsyat tidak terelakkan. Pasukan Sawunggaling berhasil memukul mundur Kompeni Belanda di Lamongan. Saat itu Kompeni yang terbiasa melakukan perang terbuka, tidak bisa menghadapi serangan gerilya para pengikut Sawunggaling," terang Tulus.
Atas kekalahan tersebut, lanjut Tulus, Kapitan Pieter Speelman marah. Pieter langsung memimpin peperangan dengan menggunakan tiga kapal perang untuk menggempur Surabaya dari arah laut. Ia memerintahkan pasukan untuk meratakan Surabaya tanpa ada tawanan perang.
"Yang artinya semua harus dibunuh termasuk Sawunggaling. Dari perlawanan terus menerus itu lah, kemudian Joko Berek diberi gelar Raden Sawunggaling IV. Jadi Sawunggaling itu sebuah gelar. Sebelum Joko Berek, ada Sawunggaling pertama, kedua hingga ketiga," ujar Tulus.
"Saat itu karena Surabaya sempat dikuasai Belanda, Kompeni melarang bagi siapa saja menulis tentang Sawunggaling. Karena Belanda tak ingin kekalahan telak waktu itu diketahui oleh pimpinannya kala itu," tutup Tulus.
Simak Video "Video: Proses Evakuasi WN Belanda di Rinjani, Tim SAR Gunakan Helikopter"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/iwd)