Lanang Dangiran, Bangsawan Banyuwangi-Lamongan yang Jadi Adipati Surabaya

Urban Legend

Lanang Dangiran, Bangsawan Banyuwangi-Lamongan yang Jadi Adipati Surabaya

Ardian Dwi Kurnia - detikJatim
Kamis, 16 Mei 2024 12:39 WIB
Pengeran Lanang Dangiran
Makam Pengeran Lanang Dangiran di Pesarean Agung Sentono Botoputih (Foto: Ardian Dwi Kurnia)
Surabaya - Pangeran Lanang Dangiran merupakan salah satu Adipati Surabaya yang dimakamkan di Pesarean Agung Sentono Botoputih, Pegirian, Simokerto, Surabaya. Pemakaman tersebut diketahui merupakan tempat disemayamkannya Adipati Surabaya beserta kerabat dan keturunannya di era lampau.

Selain dikenal sebagai Pangeran Lanang Dangiran, ia juga dikenal dengan nama Kiai Ageng Brondong dan Sunan Botoputih. Namun menurut pemerhati sejarah Surabaya Nur Setiawan, penyematan gelar Kiai dan sunan untuk Lanang Dangiran tidak terkait dengan ketokohan Islam.

"Kiai itu (berasal dari kata) iki wae, itu (artinya adalah) yang dipilih, yang ditunjuk, yang dipercaya, atau dipusakakan oleh masyarakat. Jadi Sunan Botoputih, dia bukan sunan atau wali, (melainkan julukan) pemimpin," terang Setiawan kepada detikJatim, Kamis (16/5/2024).

"Kalau (beragama) Islam, (Lanang Dangiran) Islam, tetapi bukan seorang tokoh ulama," tegasnya.

Pengeran Lanang DangiranPesarean Agung Sentono Botoputih (Foto: Ardian Dwi Kurnia)

Lanang Dangiran merupakan keturunan darah biru. Ia diperkirakan memimpin Kadipaten Surabaya di akhir tahun 1500-an atau 1600-an awal.

"Pangeran Lanang Dangiran merupakan bangsawan dari Jawa Timur. Dari berbagai catatan, diduga ia berdarah Keraton Tawang Alun Banyuwangi dan Lamongan," kata Setiawan.

Sebagai keturunan bangsawan, Lanang Dangiran harus siap ditunjuk untuk menjadi kepala daerah. Tak hanya di tempat asalnya, ia juga harus siap ditempatkan di mana saja sesuai kebutuhan.

"Kebetulan Pangeran Lanang ini dipercaya untuk memimpin Keraton Surabaya kala itu," tutur Setiawan.

Tentang kisah Pangeran Lanang Dangiran yang menghanyutkan diri ke laut hingga sekujur tubuhnya dipenuhi kerang kecil atau brondong, Setiawan menganggap cerita tersebut adalah folklore. Ia meyakini legenda tersebut merupakan kiasan perjalanan Sunan Botoputih menjadi seorang pemimpin.

"Budaya Jawa selalu kental dengan sanepan yang merupakan perlambang. Bisa jadi (kisah tersebut bermakna) saat menuju dewasa, untuk menjadi seorang pemimpin, ia mengalami pendidikan dan ujian yang berat, alias tak mudah untuk mewujudkan cita-citanya sebagai calon penguasa," ujar Setiawan.

Sedangkan nama Kiai Ageng Brondong, kata Setiawan, bukanlah diambil dari kerang kecil yang menempel di tubuhnya saat hanyut. Menurutnya, julukan tersebut diambil dari sebuah wilayah di Lamongan.

"Dugaan saya (julukan) brondong ini (berasal dari) nama daerah di Lamongan. Karena dia berdarah Banyuwangi campuran Lamongan. Bukan brondong-brondong yang kerang itu," tukas Setiawan.


(iwd/iwd)


Hide Ads