Nama Watu Blorok sudah tidak asing lagi bagi warga Mojokerto, khususnya yang bermukim di wilayah utara Sungai Brantas. Namun yang tak banyak orang tahu, batu yang dikeramatkan itu memendam legenda kutukan dari kesatria zaman Majapahit.
Watu Blorok terletak di pinggir jalan raya Mojokerto-Gresik. Tepatnya sekitar 100 meter dari permukiman penduduk Dusun Pasinan, Desa Kupang, Kecamatan Jetis, atau di tepi hutan Perhutani. Jaraknya hanya sekitar 9 km dari Alun-alun Kota Mojokerto.
Batu dengan diameter sekitar 1 meter ini nampak mencolok karena diberi peneduh berbahan galvalum. Kain putih lusuh menyelimuti Watu Blorok. Taburan kembang yang sudah mengering menghiasi puncaknya. Aroma wangi menyeruak dari dupa yang dibakar di bawahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Bahasa Jawa, watu berarti batu. Sedangkan Blorok merupakan kata sifat untuk menggambarkan ayam betina yang bulunya berbintik hitam putih. Disebut Watu Blorok karena permukaan batu tersebut tidak rata dan sarat benjolan kecil-kecil.
![]() |
"Disebut Watu Blorok karena batunya ada bintik-bintiknya. Hutan di sekitarnya juga dinamai Alas (hutan) Watu Blorok," kata Musawamah (42), warga Dusun Pasinan saat berbincang dengan detikcom saat itu, Jumat (18/12/2022).
Watu Blorok ini konon berhubungan dengan sebuah batu di seberangnya yang tidak terawat. Batu yang ukurannya lebih kecil itu posisinya sejajar dengan Watu Blorok. Kedua batu tersebut dipisahkan jalan raya.
Legenda yang selama ini dipercaya masyarakat setempat, Watu Blorok merupakan jelmaan Roro Wilis. Sedangkan batu di seberangnya adalah sosok Joko Welas. Mereka merupakan kakak beradik keturunan kesatria dari Majapahit.
"Mereka dikutuk menjadi batu karena nekat masuk ke hutan terlarang. Dulunya Alas Watu Blorok ini hutan terlarang," ujar Musawamah.
Pemerhati Sejarah Lokal Iwan Abdillah menjelaskan, hutan di sekitar Watu Blorok dulunya disebut Hutan Mojoroto. Legenda batu tersebut berlatar belakang zaman Majapahit. Dikisahkan pada masa itu ada seorang kesatria abdi kerajaan bernama Wiro Bastam.
Wiro ditugaskan raja untuk berburu karena permaisuri mengidam ingin memakan hati kijang kencana. Kijang tersebut konon hanya ada di Hutan Mojoroto. Namun, perburuan yang dilakukan Wiro gagal. Kijang kencana kabur dengan tombak Wiro masih menancap di tubuhnya.
"Anak Wiro Bastam yang laki-laki bernama Joko Welas dan perempuan bernama Roro Wilis mencoba membantu ayahnya mencari jejak kijang kencana yang terkena tombak," terangnya.
Dalam perjalanan ke Hutan Mojoroto, lanjut Iwan, Joko Welas berduel dengan para pertapa di sebuah sendang karena terjadi salah paham di antara mereka. Menurut dia, sendang tersebut diyakini berada di Desa Jolotundo, Kecamatan Jetis.
![]() |
Sedangkan adiknya, Roro Wilis tercebur ke sumur beracun di hutan Bendo, Jolotundo gara-gara dijebak seorang nenek tua. Kulit sekujur tubuh Roro Wilis menjadi berbintik-bintik hitam putih (blorok) karena tercebur ke sumur beracun itu. Saat adik kakak ini bertemu, Joko Welas tidak percaya perempuan itu adik kandungnya.
"Beberapa waktu kemudian Wiro Bastam menghampiri mereka. Melihat kedua anaknya saling berdebat, dia menanyakan apa yang sedang terjadi. Dua-duanya malah diam seribu bahasa. Wiro Bastam marah sambil mengutuk kedua anaknya tersebut menjadi batu," ungkapnya.
Salah seorang warga yang dituakan di Dusun Pasinan Sauji mempunyai versi sendiri terkait legenda Watu Blorok. Pria 86 tahun ini tinggal di kampung ini sejak Maret 1965. Dia bekerja di Perhutani KPH Mojokerto sejak 1967 sehingga menetap di kampung ini hingga sekarang.
"Cerita dari orang-orang tua di sini dan juga keyakinan saya, Watu Blorok bukan jelmaan manusia. Karena tidak masuk akal dengan kondisi di sekitarnya," cetus kakek 4 cucu ini mengawali ceritanya.
Bapak dua anak ini menuturkan, Watu Blorok konon menjadi bukti pelarian Raja Majapahit Jayanegara karena pemberontakan Ra Kuti tahun 1319 masehi. Ra Kuti adalah salah seorang Dharmaputra Majapahit yakni pegawai istimewa yang disayangi raja.
Dalam pelariannya, Jayanegara dikawal pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada. Rombongan raja bersembunyi di Hutan Mojoroto yang kini disebut Hutan Watu Blorok.
"Watu Blorok itu menjadi pos penjagaan. Karena lokasinya tinggi, sekitar 80 mdpl. Di atasnya ada bukit Pasinan tingginya 85 mdpl. Sehingga mudah untuk memantau ke arah selatan atau arah kerajaan yang ada di Trowulan," cetus Sauji.
Sauji juga mengemukakan bukti lainnya untuk mendukung ceritanya tersebut. "Arah tenggara dari Watu Blorok ada sumur yang tidak pernah mengering, tanda kalau pernah dihuni manusia. Ada bukit datar di dekat sumur sebagai tempat berkemah pasukan," tandasnya.
Mitos Kulo Nuwun di Watu Blorok Lewat Bunyikan Klakson dan Sesaji
Kepercayaan warga harus membunyikan klakson bila melewati jalan di Watu Blorok (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
Watu Blorok berada persis di tepi jalan penghubung Mojokerto dengan Gresik. Tepatnya sekitar 100 meter dari permukiman penduduk Dusun Pasinan, Desa Kupang. Tak sedikit pengendara membunyikan klakson saat melewati batu tersebut.
"Membunyikan klakson sudah menjadi kebiasaan warga sini saat lewat Watu Blorok. Itu sebagai tanda permisi ke para penghuni yang tidak kasat mata," kata Musawamah (42), warga Dusun Pasinan saat berbincang dengan detikcom saat itu, Jumat (18/12/2020).
Musawamah menjelaskan masyarakat Desa Kupang masih meyakini mitos keangkeran Watu Blorok dan hutan di sekitarnya. Kawasan hutan tersebut juga dinamai dengan Watu Blorok. Sejumlah kecelakaan di jalur yang membelah hutan itu diyakini karena gangguan makhluk gaib.
![]() |
"Ada yang mengaku setirnya direbut makhluk gaib hingga celaka, ada juga yang terjatuh karena mengindari bayangan putih yang melintas. Biasanya karena lewat tidak permisi," ujar ibu dua anak ini.
Di era modern saat ini, lanjut Musawamah, masih banyak orang yang menggelar ritual di Watu Blorok dengan beragam tujuan. Sisa-sisa ritual memang nampak di lokasi. Mulai dari kembang yang berceceran di atas batu, hingga dupa yang belum habis terbakar.
Warga setempat juga memegang tradisi serupa. Rombongan pengantin biasa melempar uang koin atau ayam saat melintasi Watu Blorok supaya selamat sampai tujuan. Selain itu, warga yang menggelar hajatan biasa mengirim sesaji ke Watu Blorok agar acaranya lancar dan keluarganya selamat.
"Bukannya musyrik, tapi menghormati nenek moyang. Keberadaan kita saat ini karena para pendahulu kita," terangnya.
Mitos keangkeran Watu Blorok konon terkait sosok Roro Wilis dan Joko Welas. Yakni keturunan kesatria Majapahit yang dikutuk menjadi batu. Kedua nama tersebut diyakini warga setempat menjadi penghuni dua batu di jalur Mojokerto-Gresik tersebut.
![]() |
Salah seorang warga yang dituakan di Dusun Pasinan Sauji (86) menjelaskan, Watu Blorok dikeramatkan sejak sekitar tahun 1956. Itu berawal dari para petani yang gagal panen karena tanaman mereka pada masa itu dirusak babi hutan.
"Dulu hutan Watu Blorok ditanami sengon, bawahnya ditanami palawija, seperti jagung dan cabai. Saat itu warga Kupang menanam tanpa selamatan. Tanamannya dirusak babi hutan. Setelah kenduri di Watu Blorok, hasil panennya bagus," jelasnya.
Tradisi kenduri di Watu Blorok, kata Sauji, ditinggalkan warga sejak sekitar tahun 1965. Hingga kini tidak ada masalah serius yang terjadi pada tanaman para petani lokal. Namun, beberapa kebiasaan masih dilakukan warga sampai saat ini.
"Pengendara kalau sembrono bakal kecelakaan. Makanya banyak yang meyakini kalau melintas membunyikan klakson, ada juga yang menaburkan kembang. Saat hajatan juga mengirim sesaji ke Watu Blorok," tegas kakek 4 cucu ini.
Kepala Desa Kupang Andridi menambahkan, kini tinggal beberapa tradisi saja yang dipertahankan warganya. Yaitu membunyikan klakson saat melintas dan rombongan pengantin membuang uang koin dan ayam di Watu Blorok agar selamat sampai tujuan.
"Kalau ritual, kebanyakan orang luar desa ini. Tujuannya macam-macam," tandasnya.
Legenda Watu Blorok Diangkat Jadi Cerita Sarat Pesan Moral di Ludruk
Budayawan Mojokerto Eko Edy Susanto (Foto: Enggran Eko Budianto)
|
Salah seorang budayawan yang terinspirasi legenda Watu Blorok adalah Eko Edy Susanto alias Edy Karya (65). Kakek 6 cucu ini pemimpin Ludruk Karya Budaya. Kelompok kesenian ludruk tersebut didirikan mendiang ayahnya, Kamari pada 29 Mei 51 tahun silam.
"Saya mementaskan legenda Watu Blorok karena ingin cerita-cerita rakyat menyebar ke seluruh masyarakat. Sehingga masyarakat kita paham dengan lingkungan di sekitarnya," kata Edy kepada detikcom di rumahnya, Dusun Sukodono, Desa Canggu, Kecamatan Jetis saat itu, Jumat (18/12/2020).
Pensiunan PNS ini menjelaskan legenda Watu Blorok pertama kali diangkat dalam pertunjukkan Ludruk Karya Budaya di Desa Talun, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto pada 2010. Cerita yang sama lantas dipentaskan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, Taman Krida Budaya Malang, serta di salah satu stasiun televisi nasional.
![]() |
"Pagelarannya selama 4 jam. Saya melihatkan 70 personel. Yaitu 45 orang pemeran cerita, tenaga tata suara, panggung, pencahayaan dan tata busana," terang Edy.
Edy mengaku merangkai cerita legenda Watu Blorok dari berbagai sumber. Antara lain dari hasil berdiskusi dengan para pemerhati sejarah dan tulisan sejumlah akademisi lokal. Jalan cerita versi Edy ternyata tidak jauh berbeda dengan Iwan Abdillah, pemerhati sejarah lokal yang juga mantan Camat Jetis.
"Ada kesamaan terkait cerita Watu Blorok. Intinya Raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya menugaskan kepala prajurit wilayah utara Sungai Brantas, Wiro Bastam. Saat itu permaisuri mengidam ingin makan hatinya kijang kencana, kijang yang warnanya kuning keemasan. Desas desusnya kijang itu ada di alas (hutan) Mojoroto," tuturnya.
Wiro Bastam lantas berburu kijang kencana di Hutan Mojoroto yang kini dikenal dengan sebutan Alas Watu Blorok. Dia dibekali raja dengan tombak Kiai Gobang, salah satu pusaka Kerajaan Majapahit.
Melihat hewan buruannya di depan mata, Wiro pun melemparkan tombak tersebut ke kijang kencana. Namun, kijang itu kabur bersama mata tombak yang menancap di tubuhnya.
"Karena menghilangkan pusaka kerajaan, dia tak berani balik ke keraton. Hanya prajuritnya yang disuruh kembali. Dia mencari mata tombak Kiai Gobang di Alas Mojoroto," jelas Edy.
Dalam upayanya mencari mata tombak Kiai Gobang, lanjut Edy, Wiro Bastam dirampok saat berusaha menyeberangi Kali (Sungai) Lamong, yaitu sungai yang membelah Mojokerto dengan Gresik. Dia hanyut di sungai tersebut setelah kalah bertarung dengan gerombolan perampok.
Wiro Bastam diselamatkan seorang gadis desa setelah hanyut beberapa kilometer di wilayah Balongpanggang, Gresik. Kesatria Majapahit itu lantas menikahi wanita tersebut dan menetap. Buah pernikahannya itu, dia mempunyai dua anak yakni putra pertama Joko Welas dan putri kedua Roro Wilis.
"Kedua anaknya dia gembleng menjadi sakti. Selepas remaja, mereka ingin mengabdi di Majapahit sebagai prajurit. Namun, Wiro Bastam tidak berani mengantarkan anaknya ke Majapahit karena belum menemukan tombak pusaka kerajaan yang dia hilangkan," ungkapnya.
![]() |
Joko Welas dan Roro Wilis memutuskan membantu ayahnya untuk menemukan tombak Kiai Gobang di Hutan Mojoroto. Sebelum berangkat, mereka diwanti-wanti ayahnya agar tidak bertengkar selama mencari pusaka kerajaan. Karena keduanya belum benar-benar dewasa.
Sampai di Hutan Mojoroto, persoalan terjadi. Kala itu Roro Wilis ingin menolong seorang nenek yang terjebak di dalam sumur. Namun, niat baiknya dihalangi Joko Welas. Karena sang kakak tahu sosok nenek itu jelmaan jin yang ingin mencelakakan adiknya.
"Roro Wilis bersikeras menolong nenek itu. Dia ditarik si nenek hingga ikut tercebur ke sumur. Kemudian nenek itu lenyap. Roro Wilis pun ditolong kakaknya dengan ditarik menggunakan tongkat kayu," tutur Edy.
Keluar dari sumur tersebut, kulit sekujur tubuh Roro Wilis menjadi berbintik hitam putih atau menjadi blorok dalam Bahasa Jawa. Sifat keras kepalanya membuat Joko Welas marah. Adik kakak itu pun bertarung dan saling beradu kesaktian.
Perkelahian mereka memicu petir bergemuruh. Itu menjadi pertanda bagi Wiro Bastam sehingga dia mencari kedua anaknya tersebut di Hutan Mojoroto. Benar saja, Wiro menemukan Joko Welas dan Roro Wilis sedang bertarung sengit.
"Saat Joko Welas dan Roro Wilis saling menendang, suara petir menggelegar, mereka terpental sejauh 10 meter. Wiro Bastam bertanya kepada mereka mengapa bertikai. Karena takut dengan bapaknya, mereka diam saja. Wiro Bastam lantas menyebut kedua anaknya itu seperti batu karena diam saja saat ditanya sampai tiga kali," jelas Edy.
Seketika Joko Welas dan Roro Wilis berubah menjadi batu. Konon Roro Wilis menjadi Watu Blorok. Yaitu batu berdiameter 1 meter di tepi jalan Mojokerto-Gresik. Tepatnya sekitar 100 meter dari permukiman penduduk Dusun Pasinan, Desa Kupang, Kecamatan Jetis.
Sedangkan kakak kandungnya konon menjadi batu berukuran lebih kecil di lokasi yang sama. Posisi kedua batu tersebut sejajar hanya dipisahkan jalan raya.
"Pesan moral cerita rakyat ini, jadi orang tua jangan sembrono mengumbar kata-kata. Karena bisa membawa risiko terhadap dirinya sendiri maupun keluarganya," tandas Edy.