Mengenal Mpu Supo dan Warisannya di Kampung Gajah Mada Mojokerto

Urban Legend

Mengenal Mpu Supo dan Warisannya di Kampung Gajah Mada Mojokerto

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Kamis, 20 Mar 2025 15:05 WIB
Mpu Supo
Pohon jati yang duu airnya digunakan Mpu Supo membuat senjata (Foto: Enggran Eko Budianto)
Mojokerto - Selain berjuluk Kampung Gajah Mada, Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto juga menyimpan sejarah Mpu Supo. Yaitu ahli pembuat pusaka yang mengatasi wabah penyakit mematikan pada zaman Majapahit.

Julukan Kampung Gajah Mada disematkan kepada Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak. Sedangkan jejak sejarah Mpu Supo berada di Dusun Watesumpak. Petilasannya di tengah makam Dusun Watesumpak masih dirawat dengan baik.

Budayawan Mojokerto, Eko Prasetyo (48) menuturkan Mpu Supo ahli membuat pusaka yang hidup jauh setelah era Mahapatih Gajah Mada. Mpu Supo hidup pada masa pemerintahan Raja Brawijaya tahun 1400-an masehi. Sedangkan Gajah Mada pada masa Tribuwana Tunggadewi 1328-1350 masehi sampai Hayam Wuruk 1350-1389 masehi.

"Beliau ahli membuat pusaka. Salah satu karya beliau Keris Kiai Sengkelat," kata Eko kepada detikJatim, Kamis (20/3/2025).

Mpu SupoPandai besi di Dusun Jatisumber (Foto: Enggran Eko Budianto)

Konon kala itu terjadi wabah penyakit di Majapahit yang disebabkan Keris Condongsari, buatan mpu lain. Penduduk Majapahit yang paginya sehat, tiba-tiba sorenya mati. Menurut Eko, kematian akibat wabah tanpa memandang usia.

"Raja Brawijaya menugaskan Mpu Supo untuk mengatasinya. Supo memimpin 100 mpu di Majapahit membuat Kiai Sengkelat. Terjadi lah pertarungan 2 pusaka yang dimenangkan Kiai Sengkelat sehingga wabah berakhir," ujarnya.

Pria kelahiran Jatisumber yang akrab disapa Mas Bumi ini mengisahkan Mpu Supo pula yang membuat pusaka Payung Tunggulnogo. Pusaka ini yang membuat kehidupan di Majapahit menjadi damai dan tenteram. Namun, pusaka itu dicuri dan dibawa ke Blambangan yang sekarang menjadi Banyuwangi.

Sehingga Mpu Supo ditugaskan ke Blambangan oleh Raja Majapahit kala itu untuk mengambil Payung Tunggulnogo. Ia menyamar menjadi Ki Pitrang Mandrangi. Karena kecerdikannya, ia mampu membawa kembali pusaka ke Majapahit. Bahkan, ia dinikahkan dengan adik Adipati Blambangan, Dewi Upas.

"Pernikahan Supo dan Dewi Upas melahirkan Joko Tole. Akhirnya Mpu Supo kembali ke Majapahit membawa Payung Tunggulnogo," terangnya.

Petilasan di tengah makam Dusun Watesumpak, kata Eko, tempat Mpu Supo menempa pusaka. Pendapatnya ini merujuk pada catatan Belanda tahun 1901. Sedangkan untuk menjamas pusaka, Mpu Supo menggunakan air pohon jati raksasa yang kini berada di Punden Mbah Sumbersari, Dusun Jatisumber. Pohon dengan garis tengah sekitar 2 meter ini, bagian tengahnya berlubang dan menyimpan air.

"Karena pohon jati ini tengahnya berlubang dan ada airnya. Ini air 2 pertemuan antara langit dan bumi, energi alam bawah dan atas bersatu, disertai lelaku (tirakat) Mpu Supo menjamas itu masuk lah energi gaib ke pusaka," jelasnya.

Atas jasa besarnya, Mpu Supo mendapatkan hadiah tanah kamardikan di Sedayu, Gresik dari Raja Majapahit. Menurut Eko, Mpu Supo juga diberi gelar Pangeran Sedayu. Diakui atau tidak, keahlian Mpu Supo diwarisi warga Dusun Jatisumber. Kampung Gajah Mada ini menjadi sentra pande besi pada 1970-an sampai 1990-an.

"Orang tua saya juga pande besi, masa kecil saya cari uang jajan dengan kerja di pande besi. Saat ini tinggal 1 pande besi. Berkembangnya zaman, masyarakat beralih menjadi pengukir patung batu," cetusnya.

Budayawan Mojokerto, Agus Suprianto berpendapat Mpu Supo hidup pada masa Majapahit akhir atau abad 15 masehi. Kala itu, Majapahit dipimpin Bhre Pandansalas dan Patih Udara. Ia juga meyakini petilasannya di Dusun Watesumpak dulunya tempat Mpu Supo menempa pusaka.

Kemudian Mpu Supo menjamas pusaka menggunakan air dari pohon jati raksasa yang kini berada di kompleks Punden Mbah Sumbersari. Menurut Agus, pohon jati itu tingginya mencapai sekitar 70 meter. Pohon raksasa ini tumbang sekitar 2011 karena diterpa angin kencang. Sehingga tersisa bagian pangkalnya.

"Merujuk catatan Belanda akhir abad 18, dulu kala nama desanya Jatisumber, bukan Watesumpak. Nama Jatisumber dari pohon jati yang ada sumber airnya. Juga disebutkan ada petilasan Mpu Supo dan punden Mbah Sumbersari," tegasnya.

Hingga era modern, Punden Mbah Sumbersari masih dikunjungi warga dengan berbagai keperluan. Mereka meyakini air di pohon jati raksasa ini bertuah. Di sisi lain, kata Agus, keterampilan pande besi Mpu Supo diwarisi warga Dusun Jatisumber.

"Keterampilan beliau turun temurun juga menjadi bukti. Kakek saya, Abdul Manaf juga pande besi tradisional, masih pakai ubub. Namun, pande besi tradisional kini tinggal 1 orang saja," ujarnya.

Pande besi yang tersisa di Dusun Jatisumber adalah Sulkan (66). Menurut Agus, jumlah pande besi di kampungnya sempat mencapai 50 orang. Masa keemasan pande besi tahun 1970-1990an. Mereka memproduksi aneka alat pertanian, seperti sabit, cangkul, parang untuk dikirim ke Kalimantan dan Sumatera ketika gencar program transmigrasi.

"Pande besi berkurang sedikit demi sedikit karena anak-anak muda memilih menjadi pemahat patung. Karena memang penghasilannya lebih banyak," ungkapnya.

Sulkan menjadi pande besi sejak 1971. Ia berlajar dari ayahnya dan dari para pande besi di Dusun Jatisumber. Terkait Mpu Supo, ada satu mitos yang dipercaya warga Desa Watesumpak. Konon tidak boleh ada pande besi di Dusun Watesumpak. Sebab di dusun ini terdapat tempat Mpu Supo menempa pusaka.

"Konon katanya karena Mpu Supo ada di Dusun Watesumpak sehingga tidak boleh menyaingi beliau. Dari zaman dulu pande besi di Dusun Jatisumber semua. Sudah sering kejadian (melawan mitos), tidak lama habis sekaligus orangnya," jelasnya.

Kadus Jatisumber Wawan Ariyanto mengaku tidak pernah mendengar mitos tersebut. Namun, ia membenarkan tidak ada pande besi yang beroperasi di Dusun Watesumpak.

"Mitos seperti itu saya tidak pernah dengar, tapi kenyataannya dari dulu tidak ada (pande besi di Dusun Watesumpak), hanya di Jatisumber," tandasnya.


(irb/iwd)


Hide Ads