Ahli Epigrafi dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Titi Surti Nastiti juga mengkaji isi Prasasti Masahar di Situs Gemekan, Mojokerto. Ia berpendapat, prasasti ini tentang penetapan tanah bebas pajak (sima) di sebuah perkampungan baru untuk mengelola peribadatan di masa pemerintahan Mpu Sindok abad 10 silam.
Titi mengatakan, Prasasti Masahar dikeluarkan Raja Medang Sri Maharaja Rakai Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa pada Bulan Asuji tanggal 12 Paro Terang tahun 852 saka atau 7 Oktober 930 masehi.
Menurutnya kala itu Raja Mpu Sindok memberi titah kepada bawahannya Samgat Madandar bernama Pu Padma dan Anggehan bernama Pu Kundala untuk menetapkan tanah sima atau tanah bebas pajak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di dalam prasasti itu disebutkan, tanah sima terletak di perkampungan atau desa baru bernama Masahar. Pada masa Mpu Sindok desa ini berada di wilayah Watek Padang. Titi menduga di zaman itu watek merupakan kumpulan dari desa setingkat kabupaten yang lebih luas dibandingkan kecamatan.
Saat ini Situs Gemekan tempat ditemukannya Prasasti Masahar ada di wilayah administrasi Dusun Kedawung, Desa Gemekan, Sooko, Kabupaten Mojokerto. Situs purbakala berupa bangunan candi beraliran Hindu Siwa itu ditemukan di persawahan milik warga setempat.
"Yang menarik, di Prasasti Masahar disebutkan tanah yang ditetapkan sebagai sima adalah tanah tarukan. Artinya perkampungan baru. Jadi, ada kemungkinan tanah sima ini terletak di sebuah perkampungan baru bernama Masahar," kata Titi kepada detikJatim, Jumat (1/4/2022).
Dia menjelaskan, tanah di Desa Masahar yang ditetapkan sebagai sima bukan hasil pembelian Raja Mpu Sindok. Tanah seluas 3 tampah itu hasil pembelian Rakai Hanyangan Lampuran Pu Wawu dan istrinya Dyah Parhyangan. Sayangnya Titi belum tahu ukuran tampah jika dikonversi ke ukuran luas tanah di zaman modern.
Pasangan suami istri ini membeli tanah itu dengan mata uang emas sebesar 3 kati dan 5 suwarna. Pada masa Jawa Kuno, mata uang emas mempunyai satuan kati, suwarna, masa, dan kupang. 1 kati sama dengan 20 suwarna. 1 suwarna sama dengan 16 masa. 1 masa sama dengan 4 kupang.
"Jadi, yang membeli bukan rajanya langsung tapi Rakai Hanyangan dan istrinya Dyah Parhyangan," terangnya.
Bagian menarik lainnya dari Prasasti Masahar, kata Titi, disebutkan bahwa Rakryan Bini Haji atau istri selir Raja Mpu Sindok bernama Rakai Sri Manggala. Artinya, kala itu Raja Medang itu mempunyai dua selir. Karena Mpu Sindok juga mempunyai istri selir bernama Rakryan Mangibil yang disebutkan di Prasasti Wulig.
Prasasti Wulig ditemukan di Desa Bakalan, Gondang, Kabupaten Mojokerto. Prasasti ini dikeluarkan tanggal 8 Januari 935 masehi. Salah satu isinya tentang Rakryan Mangibil meresmikan 3 bendungan di Kahulunan, Wuatan Wulas, dan Wuatan Tamya.
Sedangkan istri Mpu Sindok yang menjadi permaisuri dimuat dalam Prasasti Geweg. Sang Permaisuri bernama Rakryan Sri Prameswari Sri Warddhani Pu Kebi. Prasasti yang ditemukan di Desa Tengaran, Peterongan, Jombang ini dikeluarkan 14 Agustus 933 masehi silam. Isinya tentang penetapan Desa Geweg menjadi sima.
"Walaupun di dalam Prasasti Masahar disebutkan selir raja menerima hadiah, nama raja juga disebutkan, belum tentu mereka hadir di situ saat upacara penetapan sima," jelasnya.
Sima memang biasa disebut tanah bebas pajak. Namun, masyarakat yang tinggal di tanah sima sejatinya tetap kena pajak. Termasuk juga tanah sima di Desa Masahar. Hanya saja kala itu pajak dipungut dari rakyat tidak untuk disetorkan ke Kerajaan Medang maupun Mpu Sindok tapi digunakan untuk mengelola bangunan suci di dekatnya.
"Tanah yang dibatasi itu merupakan sima punpunan. Yaitu tanah sima untuk kepentingan suatu bangunan suci. Jadi, letak tanah sima ini dekat dengan bangunan suci bernama Prasada Kabhaktyan Pangurumbigyan," ungkap Titi.
Ahli Epigrafi BRIN ini memperkirakan, pajak dari tanah sima itu dibagi tiga. Sepertiga untuk pemilik tanah Rakai Hanyangan, sepertiga untuk berbagai keperluan peribadatan bernama Prasada Kabhaktyan Pangurumbigyan, sepertiga sisanya untuk membayar penjaga dan perawat bangunan suci itu.
"Tanah sima tidak untuk membangun bangunan suci. Harusnya bangunan sucinya sudah ada karena sudah ada namanya. Kenapa disebut sima punpunan karena tanah sima ini tak jauh dari bangunan sucinya. Bisa di desa yang sama, bisa juga tetangga desa," cetusnya.
Ketetapan sima di Masahar oleh Mpu Sindok itu, kata Titi, berlaku sepanjang masa. Prasasti Masahar juga menyebutkan para pejabat yang hadir di upacara penetapan sima serta hadiah atau pasak-pasak yang mereka terima.
Kutukan bagi siapa saja yang melanggar ketetapan sima juga disematkan di sisi kiri prasasti. Sedangkan sisi kanan Prasasti Masahar menceritakan upacara penetapan sima diakhiri makan dan minum minuman keras. Yaitu miras jenis tuak, cinca, dan sindhu.
"Selesai upacara diakhiri dengan makan dan minum-minuman keras dan pertunjukan," tandasnya.
Prasasti Masahar ditemukan tim ekskavasi BPCB Jatim di sudut timur laut Candi Gemekan pada 9 Februari 2022. Prasasti berbahan batu andesit ini terkubur di kedalaman 130 cm.
Posisi prasasti sudah ambruk dengan bagian atasnya menghadap ke timur laut. Bagian bawah dan sisi kanan atasnya sudah pecah. Nampak depan prasasti Gemekan berbentuk segi lima yang melebar ke bagian atas.
Bagian puncak prasasti meruncing atau berbentuk prisma. Sedangkan bagian dasarnya diduga datar sebagai dudukan prasasti. Tinggi prasasti yang tersisa 91 cm, lebar 88 cm, tebal 21 cm. Isi prasasti menggunakan Aksara Jawa Kuno diukir pada keempat permukaannya sehingga disebut prasasti catur muka.
Satu tahun sebelum mengeluarkan Prasasti Masahar, Mpu Sindok memindahkan kekuasaannya dari Jateng ke Jatim tahun 929 masehi atau jauh sebelum Majapahit bercokol. Penguasa Kerajaan Medang itu memerintah sampai 947 masehi. Sedangkan Majapahit berdiri tahun 1293 masehi.
(dpe/iwd)