Temuan Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656 hektare di laut Sidoarjo yang diketahui diterbitkan sejak 1996 dan berlaku hingga 2026 untuk 2 perusahaan menjadi pertanyaan banyak pihak. Munculnya HGB di laut, termasuk di Tangerang disebut menyalahi hukum internasional.
Dosen Hukum Universitas Airlangga (Unair) Nilam Andalia Kurniasari menjelaskan soal hukum HGB di perairan. Menurutnya, perairan atau laut tidak dapat dikuasai seseorang maupun suatu kelompok karena ruang laut dimiliki negara. Hal ini menurutnya bahkan diatur dalam hukum internasional.
"Tidak pernah ada yang namanya hak atas tanah pada ruang laut. Kenapa? Itulah yang harus ditertibkan, diperbaiki, bahwa jangan sampai perspektif agraria dibawa ke ruang laut! Karena berbeda," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menjelaskan bahwa aturan yang melingkupi peraturan tentang laut harus sesuai dengan hukum internasional. Kecuali sebuah negara berdaulat penuh. Tapi kedaulatan penuh atas ruang laut itu pun tetap harus menghormati hak negara lain.
Baca juga: Temuan Baru soal HGB di Laut Sidoarjo |
"Ruang laut itu banyak di antaranya tunduk pada aturan hukum internasional. Kalau kedaulatan penuh dari suatu negara, berarti negara itu boleh melakukan 'apapun'. Tapi kedaulatan penuh atas ruang laut itu berbeda dengan kedaulatan negara atas ruang tanah. Kenapa? Kedaulatan atas ruang laut itu ada hak-hak dari negara lain yang juga dijamin dalam hukum internasional," kata Nilam saat dihubungi, Kamis (23/1/2025).
Dia mengatakan bahwa seluruh perairan laut atau maritim memiliki hak-hak navigasi dari semua negara. Maka negara tidak boleh menutup ruang lautnya untuk kapal-kapal bernavigasi. Ada hak navigasi dari negara lain di sana, ada hak lintas damai, hak transit, hak lintas transit.
Di Indonesia sendiri terdapat hak lintas alur laut kepulauan. Dia melanjutkan, seandainya lahan di ruang laut itu benar-benar ada, maka hal itu akan menjadi polemik besar.
"Ini kan yang dikavling Sidoarjo, gimana kalau yang dikavling itu adalah suatu perairan yang ada di sisi luar Indonesia? Misalnya ada di sisi selatan pulau Jawa yang langsung menghadap Samudera Hindia atau di Sumatera, Selat Malaka, kemudian dikavling-kavling. Itu akan menimbulkan pertanyaan besar terkait batas wilayah dan sebagainya," jelasnya.
"Tidak ada hak atas tanah yang bisa diberlakukan pada ruang laut. Tidak boleh ada. 'Tapi ruang lautnya dekat loh sama pulau, oh ini di pesisir loh,' nggak ada. Yang namanya ruang laut ya ruang laut. Kalau pun sekarang ada, ya itu nggak sah," ujarnya.
Dia menegaskan bahwa tidak ada aturan HGB di perairan laut karena bertentangan dengan hukum internasional. Hal itu berbeda dengan perizinan pengelolaan pemanfaatan ruang laut.
"Kemudian kalau pemerintah mengatakan itu ada, nah ini salahnya. Bahwa perspektif agraria itu tidak boleh dibawa-bawa ke ruang laut. Jadi aturan yang berkaitan dengan laut itu berbeda dengan aturan agraria. Beda. Ndak bisa. Bukan diperjelas, tapi nggak ada. Tidak boleh ada hak atas tanah pada ruang laut," ujarnya.
Dia ingin pemerintah memperbaiki tata kelola ruang laut agar kejadian pemagaran laut juga penerbitan HGB di perairan Indonesia tidak menimbulkan polemik. Agraria adalah tanah. Tapi ini yang disertifikatkan perairan, bukan tanah.
"Makanya ini tentang pemagaran laut. Satu, apa fungsi pagar itu? Apakah pagar itu dipergunakan untuk membatasi akses dari seseorang/sekelompok. Membatasi akses apa? Kalau ini untuk membatasi akses jelas salah, nggak boleh," ujarnya.
"Tidak boleh ada pembatasan suatu ruang laut di Republik Indonesia atau di manapun di seluruh dunia. Karena apa? Ya karena ruang laut itu ada hak negara lain juga dan ini negara manapun sudah mengakui dan ini adalah hukum internasional. Nggak cuma kita ngomongin akses nelayan kita, enggak, tapi membatasi akses siapapun untuk menggunakan ruang laut," katanya.
(dpe/iwd)