Hak Guna Bangunan (HGB) seluas kurang lebih 656 hektare ditemukan di atas laut di wilayah Sidoarjo melalui aplikasi Bhumi milik Kementerian ATR/BPN. Temuan ini memicu keheranan publik, apalagi setelah viralnya kasus serupa di Tangerang.
Investigasi pun dilakukan untuk mengungkap bagaimana sertifikat tersebut bisa terbit dan apa dampaknya terhadap lingkungan.
Berikut fakta-fakta heboh temuan HGB di laut Sidoarjo:
1. Berawal dari Temuan Dosen Unair
Hal ini bermula dari rasa penasaran warganet usai viralnya temuan HGB di atas laut di Tangerang dan temuan pagar laut sepanjang 30 km. Sejumlah warganet yang penasaran mulai melakukan pengecekan daerah masing-masing melalui aplikasi Bhumi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu warganet yang turut penasaran hingga melakukan pengecekan di aplikasi Bhumi adalah Thanthowy Syamsuddin yang juga merupakan dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Unair. Dia menemukan HGB seluas kurang lebih 656 hektare yang mulanya dia kira berada di Surabaya.
![]() |
Lewat akun X pribadinya @thanthowy, dia bagikan temuan yang dia khawatirkan mirip dengan yang terjadi di Tangerang. Dia tuliskan bahwa HGB 656 Ha itu berada di Laut Surabaya-Sidoarjo, yakni di Timur Ecowisata Mangrove Gunung Anyar. Tepatnya di koordinat 1.7.342163Β°S, 112.844088Β°E.
"Ada area HGB Β± 656 ha di timur Eco Wisata Mangrove Gunung Anyar: 1. 7.342163Β°S, 112.844088Β°E," tulis akun @thanthowy seperti yang dilihat detikJatim, Selasa (21/1).
2. Sempat Pertanyakan ke Menteri Kelautan
Saking khawatirnya dengan fakta yang dia temukan dari aplikasi Bhumi, dalam keterangan tertulis yang dia sampaikan kepada sejumlah jurnalis, dia sampai bertanya langsung kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melalui pesan WhatsApp.
"Saya menyampaikan kekhawatiran ini kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, Pak Sakti Wahyu Trenggono mengenai pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) di kawasan laut Surabaya-Sidoarjo serta dugaan rencana reklamasi yang menyertainya terkait dengan agenda PSN," ujarnya.
Menjawab pertanyaan Thanthowy yang khawatir pemberian HGB di atas laut itu berdampak lebih serius pada bahaya rob, kerusakan lingkungan, dan masyarakat pesisir, Wahyu Trenggono menyatakan bahwa dirinya tidak tahu soal penerbitan HGB tersebut.
"Beliau menyatakan tidak tahu. Namun, beliau menegaskan pemberian sertifikat tanah di laut itu tidak boleh, terkecuali untuk masyarakat laut seperti Suku Bajo, dan itu pun harus melalui proses KKPRL (Kajian Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) yang diterbitkan oleh KKP," kata Thanthowy.
3. Lokasi Penemuan HGB
Untuk memverifikasi temuan HGB ini, detikJatim mendatangi Desa Segoro Tambak, Kecamatan Sedati, Sidoarjo pada Selasa sore dan menemui sejumlah nelayan. Pada saat yang sama rombongan petugas BPN Sidoarjo didampingi kades setempat juga memverifikasi lokasi HGB tersebut.
Salah satu nelayan berinisial ML (43) menceritakan bahwa dulu sebagian lahan di laut itu sebenarnya diberikan oleh pemerintah pada era Orde Baru untuk para nelayan di sana yang belum memiliki tambak. ML adalah satu dari 7 nelayan yang dapat bagian 3 hektare lahan untuk dijadikan tambak.
4. Pengakuan Nelayan Setempat
Dia sendiri sampai lupa kapan pastinya dia dan 7 warga lainnya di RT 2, RW 1, Desa Segoro Tambak mendapatkan tanah itu dari pemerintah. Namun, tidak lama setelah itu, kades atau lurah yang menjabat saat itu membujuk ketujuh warga termasuk ML agar menjual tambaknya.
Oleh kades itu, warga dibujuk agar menjualnya ke salah satu perusahaan. ML hanya mengingat saat itu dia dapat ganti uang Rp 3 juta, demikian halnya 6 warga lain yang seharusnya memiliki 3 hektare lautan untuk dijadikan tambak.
"Dibujuki (dibohongi) sama lurah itu, ada PT (perusahaan) masuk, warga diiming-imingi uang. Memang masih berupa laut. Katanya (kades) 'jualen ae, daripada kamu nggak dapat'. Kok bisa nggak dapat, wong itu masih berupa laut kok," katanya.
"Tiap orang dapat Rp 3 jutaan. Jadi 3 hektare itu dijual ke PT dibagi orang 7," kata ML. Soal PT yang membeli laut itu, ML mengingatnya selintas saja. "PT Hendrik."
![]() |
5. Kakanwil BPN Jatim Investigasi
Kepala Kanwil BPN Jatim Lampri memastikan sejak Selasa pihaknya melakukan investigasi terkait temuan HGB di atas laut Sidoarjo seluas kurang lebih 656 hektare itu. Dia tegaskan proses investigasi kasus HGB di laut ini membutuhkan waktu.
"Hari ini sudah turun lapangan, dan kami juga mencari dokumen. Pertama kami lakukan penelitian, turun lapangan, melakukan pemotretan, merekam seluruh fisik di sana seperti apa, kroscek data, dan memberikan informasi lebih detail," kata Lampri di Kantor BPN Jatim, Selasa (21/1).
6. Ada 2 Perusahaan yang Kuasai HGB
Lampri pun mengungkapkan bahwa HGB seluas 656 hektare yang terbagi menjadi 3 sertifikat itu dikeluarkan pada 1996 dan berakhir pada 2026. Ada 2 perusahaan yang menguasai HGB itu yakni PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang.
"PT Surya Inti Permata 285,16 hektare dan 219,31 hektare. Sedangkan PT Semeru Cemerlang 152,36 hektare. Jadi ada 2 badan hukum di sana," kata Lampri.
![]() |
7. Benang Merah dari Kasus Ini
Ada benang merah dari pernyataan nelayan di Segoro Tambak dengan fakta HGB itu dimiliki kedua perusahaan itu. Catatan detikJatim, kedua perusahaan yang bergerak di bidang properti itu, yakni PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang pernah dipimpin Almarhum Henry J Gunawan.
Henry J Gunawan adalah mendiang pengusaha properti yang pernah menjadi direktur perusahaan konsorsium PT Gala Bumi Perkasa, perusahaan pengelola Pasar Turi Surabaya. Henry meninggal di Rutan Klas 1 Medaeng, Sidoarjo pada 22 Agustus 2020.
Sebagaimana disampaikan nelayan berinisial ML, para nelayan dibujuk kades agar menjual tanah pemberian pemerintah yang hendak dimanfaatkan jadi tambak itu kepada perusahaan atau orang bernama Hendrik atau Henry.
Namun, benang merah ini harus dibuktikan dengan proses investigasi yang sedang dilakukan BPN. Bukan cuma BPN Jatim, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jatim hingga Polda Jatim juga segera melakukan investigasi temuan HGB di atas laut itu.
(irb/hil)