14 Wisata Religi di Jogja: Masjid, Kelenteng hingga Pura

14 Wisata Religi di Jogja: Masjid, Kelenteng hingga Pura

Aditya Mardiastuti - detikJateng
Sabtu, 09 Jul 2022 04:00 WIB
Masjid ini dibangun pada abad ke enam belas oleh Panembahan Senopati
Masjid Kotagede Yogyakarta (Foto: detik)
Solo -

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu destinasi wisata yang selalu ramai dikunjungi saat musim liburan. Tak hanya menyuguhkan wisata alam dan budaya, ada juga wisata religi yang layak dikunjungi di Jogja.

Dengan wisata religi kamu bisa mencari ketenangan batin maupun menyusuri seluk beluk sejarah dari bangunan religi tersebut. Di Jogja ada beberapa wisata religi yang bisa kamu kunjungi, mulai dari masjid tertua hingga Gua Maria.

Penasaran wisata religi apa saja yang bisa kamu kunjungi selama di Jogja? Simak di sini ya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Daftar wisata religi di Jogja:

A. Masjid

Ada beberapa masjid bersejarah di Jogja. Salah satunya bahkan sudah dibangun di abad ke-15. Apa saja masjid di Jogja?

ADVERTISEMENT

1. Masjid Agung Kotagede

Mengutip situs Kemdikbud, Masjid Mataram Kotagede diperkirakan dibangun Panembahan Senopati pada masa pemerintahan antara tahun 1571-1601 Masehi. Sumber lain mengatakan masjid dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Hal ini dapat dilihat berdasarkan data prasasti yang berhuruf Arab dan berbahasa Jawa. Prasasti yang terdapat di masjid tersebut menerangkan bahwa masjid didirikan pada hari Ahad Kliwon tanggal 6 Rabiulakhir 1188 H atau 6 Rabiulakhir tahun Alip 1699 JW (pura trus winayang jalma). Menurut tarikh masehi tanggal tersebut merupakan tanggal 27 Juni tahun 1773.

Masjid Agung Kotagede ini berlokasi di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, DIY. Area masjid ini banyak berornamen Jawa seperti ukir-ukiran bermotif sulur daun.

Di kompleks Masjid Agung Kotagede ini juga ditemukan area makam yang dikelola Keraton Solo maupun Keraton Jogja. Di area makam ini ada lubang yang dipercaya masyarakat sekitar sebagai tempat masuk pemakaman Ki Ageng Mangir Wonoboyo karena jenazahnya tidak diperkenankan masuk ke gapura. Sebab Ki Ageng Mangir merupakan musuh, tapi dalam keluarga diterima sebagai menantu Panembahan Senopati.

2. Masjid Gedhe Kauman

Masjid Raya Yogyakarta atau lebih dikenal sebagai Kagungan Dalem Masjid Gedhe Kauman ini merupakan bagian tak terpisahkan dari Kasultanan Yogyakarta. Masjid Gedhe Kauman menjadi pertanda Jogja sebagai kerajaan Islam.

Mengutip situs Keraton Jogja, Masjid Gedhe Kauman ini didirikan pada 1773 Masehi. Pendirian tersebut ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Gapura Trus Winayang Jalma, sengkalan tersebut tertulis pada prasasti di serambi masjid.

Masjid Gedhe didirikan atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim Diponingrat selaku penghulu keraton. Kemudian arsitek masjid dikerjakan Kiai Wiryokusumo.

Gaya arsitektur Masjid Gedhe ini mewarisi gaya Masjid Demak. Karakteristik utamanya ada di empat pilar utama yang dikenal dengan saka guru berbentuk tajug lambang teplok atau atap bersusun tiga. Selain itu ciri khusus jika masjid ini merupakan milik Sultan yakni ada hiasan mahkota atau mustaka berbentuk bunga di puncak atap.

Pada masa awal Kesultanan Yogyakarta, masjid ini juga dipergunakan sebagai tempat untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan hukum Islam, terutama masalah perkara perdata. Pimpinan pengurus masjid adalah penghulu keraton yang berada di dalam struktur Abdi Dalem Pamethakan.

Salah satu Abdi Dalem penghulu keraton yang pernah bertugas di masjid ini bernama Raden Ngabei Ngabdul Darwis, atau yang dikenal sebagai Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sebagai Khatib Amin, ia memiliki tiga tugas utama, yakni memberikan kotbah Jumat bergantian dengan delapan khatib yang lain, piket di serambi masjid, dan menjadi anggota Raad Agama Islam Hukum Keraton.

3. Masjid Pathok Negara

Masjid Pathok Negara merupakan masjid milik Kasultanan Jogja yang dibangun di wilayah nagaragung. Masjid ini selain memiliki fungsi religius sebagai tempat ibadah, juga sebagai tempat pertahanan rakyat.

Mengutip situs Kemdikbud, masjid ini didirikan di daerah perdikan atau bebas pajak, tapi diwajibkan melakukan suatu tugas tertentu. Tugas itu yakni membantu penghulu hakim sebagai ketua Pengadilan Surambi dan bertanggung jawab terhadap masjid milik raja yang berada di daerah tempatnya bertugas.

Ada beberapa masjid Pathok Negara, yakni:

  • Masjid Mlangi

Masjid Mlangi dibangun pada tahun 1723 atau sebelum Kasultanan Jogja berdiri. Penetapan Masjid Mlangi sebagai masjid Pathok Negara dan Desa Mlangi sebagai desa perdikan merupakan penghargaan Sultan HB I terhadap Raden Sandiyo atau Kiai Nur Iman sebagai kakaknya. Di kompleks Masjid Mlangi kamu juga bisa berziarah ke makam patih pertama Kraton Jogja yaitu Patih Danureja I yang meninggal pada 1799. Masjid Mlangi sekarang terletak di Dusun Mlangi, Desa Nogotirto, Gamping, Sleman dan dikenal sebagai Masjid Jami' Mlangi.

  • Masjid Ploso Kuning

Masjid Ploso Kuning diperkirakan dibangun setelah tahun 1724. Sejarah pendiriannya berkaitan erat dengan Kiai Mursodo (putra Kiai Nur Iman). Masjid Ploso Kuning terletak di Dusun Ploso Kuning, Desa Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Sleman.

  • Masjid Dongkelan

Masjid Dongkelan ini berdiri berkat peran Kiai Syihabudin I yang berhasil mengusir pemberontakan Raden Mas Said dari wilayah Kraton Jogja setelah Perjanjian Giyanti. Atas jasanya itu, Sultan HB I menganugerahi Kiai Syihabudin I tanah perdikan dan memerintahkannya untuk mendirikan masjid. Kiai Syihabudin I pun diangkat menjadi Abdi Dalem Pathok Negara.

Masjid Dongkelan pun diperkirakan dibangun setelah Perjanjian Salatiga tahun 1757. Masjid Dongkelan beralamat di Kauman, Desa Tirtonirmolo, Kecamatan Kasihan, Bantul.

  • Masjid Babadan

Masjid ini dibangun pada 1774, pada masa pemerintahan Sri Sultan HB I. Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Babadan pernah direncanakan menjadi tempat gudang senjata untuk keperluan perang.

Oleh karena itu, masyarakat Babadan banyak yang pindah ke arah utara menuju Kentungan, termasuk memindahkan masjid Babadan. Rencana Jepang untuk menjadikan Babadan sebagai pusat penyimpanan amunisi batal sehingga masyarakat kembali ke Babadan dan membangun masjidnya lagi. Untuk menuju ke Masjid Babadan kamu bisa mencarinya di Kampung Kauman Babadan, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Bantul.

  • Masjid Wonokromo

Masjid Wonokromo ini merupakan satu-satunya masjid yang semula tidak berstatus Pathok Negara. Sebab, masjid ini merupakan perluasan dari Masjid Babadan.

Masjid Wonokromo didirikan di Desa Wonokromo, sebuah desa perdikan yang diberikan Sultan HB I kepada Kiai Haji Muhammad Fakih atau Kiai Welit. Kiai Haji Muhammad Fakih adalah guru sekaligus kakak ipar Sultan Hamengku Buwana I.

Perlu kamu tahu, Masjid Wonokromo ini tidak didirikan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunannya berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IV. Kamu bisa mengunjungi Masjid Wonokromo di Desa Wonokromo, Kecamatan Plered, Bantul.

Selanjutnya ada Gua Maria dan juga kelenteng tertua di Jogja...

B. Gereja dan Gua Maria

Jogja juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata religi bagi umat Katolik. Ada beberapa gua Maria yang kerap didatangi peziarah dari penjuru daerah.

Apa saja wisata gereja dan Gua Maria di Jogja?

1. Gereja Ganjuran

Gereja Ganjuran berlokasi di Jalan Ganjuran, Jogodayoh, Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul. Gereja ini merupakan gereja Katolik pertama yang didirikan di Bantul oleh keluarga Schmutzer.

Mengutip situs Gereja Ganjuran, Pembangunan Gereja Ganjuran ini selesai pada 16 April 194 dan diberkati pada 20 Agustus 1924 oleh Vicaris Apostolik Batavia Mgr JM van Velsen. Kemudian Gereja Ganjuran resmi menjadi paroki pada 1940.

Di kompleks gereja ada candi bernuansa Hindu, Buddha, dan Jawa. Perlu kamu tahu, altar dan patung Hati Kudus Yesus bergaya Jawa ini mendapat persetujuan dari Tahta Suci Vatikan, sedangkan untuk bangunan gereja masih bergaya Belanda.

Candi Ganjuran ini dibangun pada 1927 oleh Schmutzer bersaudara. Kala itu candi ini dibangun karena pabrik gula miliknya (Gondanglipuro) bisa bertahan dari krisis keuangan yang melanda dunia. Selain itu, pembangunan candi juga menjadi wujud syukur bagi daerah tersebut yang selama bertahun-tahun menderita kekurangan.

Berada di Kompleks Gereja, Ini Bangunan Candi HKTY Ganjuran BantulKompleks Gereja, Ini Bangunan Candi HKTY Ganjuran Bantul Foto: (Pradito Rida Pertana/detikcom)

2. Gua Maria Jatiningsih

Tak hanya Ganjuran, ada pula Jatiningsih yang menjadi tempat peribadatan bagi umat Katolik di Jogja. Gua Maria Jatingsih ini berada di Dusun Jitar, Desa Sumber Arum, Moyudan Sleman.

Sebelum dibangun menjadi Gua Maria, daerah ini dikenal sebagai Sendang Pusung, yang merupakan singkatan dari kalimat bahasa Jawa sing ngapusi busung alias siapa yang berbohong akan terkena tulah. Kemudian namanya diubah menjadi Sendang Jatiningsih yang berarti sumber air dari rahmat Tuhan yang mendatangkan kedamaian.

Gua Maria ini dibangun tepat di pinggir aliran Sungai Progo. Suasana syahdu dan gemericik air sungai menambah kekhusukan saat berdevosi kepada Bunda Maria.

Di tempat ini juga ada sendang mata air yang diberi nama Tirta Wening Banyu Panguripan. Mengutip situs Kevikepan DIY, Gua Maria Jatiningsih mencatat pembaptisan 169 orang tua di kawasan Moyudan.

3. Gua Maria Tritis

Gua Maria Tritis ini berada di Dusun Bulu, Desa Giring, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul. Gua Maria ini di Jalur Jalan Lingkar Selatan Gunungkidul dan dekat dengan rute yang mengarah ke pantai seperti Krakal, atau Indrayanti.

Para peziarah yang ingin melakukan jalan salib di Gua Maria Tritis akan memutari bukit karst dengan 14 pemberhentian. Gua Maria ini resmi dibuka pada tahun 1977. Nama Tritis diambil dari tetesan air dari stalaktit di gua tersebut.

4. Gua Maria Sriningsih

Gua Maria Sriningsih berada di Kelurahan Gayamharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman. Seperti di Gua Maria pada umumnya, ada sendang yang airnya bisa dibawa pulang.

Konon daerah ini dikenal angker, dan kerap dijadikan lokasi bersemadi atau bertapa. Namun pada akhirnya, kawasan ini diubah menjadi tempat ziarah dan dibangun Gua Maria.

Untuk menuju lokasi gua Maria ini, tidak disarankan melalui rute Candi Ijo atau Tebing Breksi. Alasannya rute tersebut gelap dan jalannya sempit. Kamu bisa mengambil arah dari Jalan Solo maupun rute ke Pasar Menggah.

5. Gua Maria Sendangsono

Gua Maria Sendangsono berada di Desa Banjaroyo, Kecamatan Kalibiru, Kulon Progo. Gua Maria ini ramai dikunjungi peziarah pada bulan Maria yakni Mei dan Oktober.

Banyak peziarah yang mengambil air dari sumber mata air di Sendangsono karena percaya air itu bisa menyembuhkan penyakit. Mengutip situs Kevikepan DIY, Sendangsono awalnya merupakan tempat pemberhentian (istirahat sejenak) para pejalan kaki dari Kecamatan Borobudur Magelang ke Kecamatan Boro (Kulon Progo), atau sebaliknya. Tempat itu banyak dikunjungi karena keberadaan sendang (mata air) yang muncul di antara dua pohon sono.

Suasana sejuk di lokasi itu yang membuat nyaman dan dimanfaatkan para pertapa Buddha untuk menyucikan dan menyepikan diri. Selain itu ada juga legenda jika tempat itu dihuni Dewi Lantamsari dan putra tunggalnya Den Baguse Samija.

Pembangunan Gua Maria Sendangsono tak luput atas peran rohaniwan Belanda, Romo Van Lith SJ. Sendangsono pun menjadi saksi pembaptisan 171 warga setempat menggunakan air dari kedua pohon sono tersebut pada 1904 silam. Kemudian pada 1929 Sendangsono dinyatakan resmi sebagai tempat perziarahan oleh Romo JB Prennthaler SJ.

Pembangunan kawasan itu pun dilakukan bertahap sejak 1974. Budayawan dan rohaniwan YB Mangunwijaya turut andil memberikan sentuhan arsitektur bernuansa Jawa dan ramah lingkungan. Pada 1991 kompleks bangunan Sendangsono pun mendapat penghargaan arsitektur terbaik dari ikatan arsitek Indonesia untuk kategori kelompok bangunan khusus.

6. Goa Maria Lawangsih

Gua Maria Lawangsih dan Gua Maria Pangiloning Leres berada di kawasan Pegunungan Menoreh, di Dusun Patihombo, Desa Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo. Berada di gua Maria Lawangsih kamu akan merasakan udara yang sejuk, dan keheningan karena lokasinya yang jauh dari keramaian.

Mulanya Gua Maria ini merupakan tempat bersarangnya kelelawar (lawa), namun pintu gua tidak terlihat karena tertutup tanah. Saat pembangunan Gua Maria itu diambil nama Lawangsih untuk mengabadikan nama asli gua tersebut. Sementara itu menurut bahasa Jawa Lawangsih berasal dari kata lawang yang berarti pintu, dan sih yang berarti rahmat. Sehingga diharapkan gua Maria ini menjadi pintu berkat atau rahmat bagi para peziarah, maupun masyarakat di sekitarnya.

Mengenai kelenteng dan pura, sila baca di halaman berikutnya...

C. Kelenteng

Jogja juga memiliki dua kelenteng tertua yang ramai dikunjungi umat Buddha dan Konghucu. Salah satunya bahkan sudah dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya.

Berikut sekilas tentang kelenteng di Jogja:

1. Kelenteng Gondomanan

Kelenteng Fuk Ling Miau yang sering disebut sebagai Kelenteng Gondomanan ini dibangun pada 1846 oleh masyarakat China di Jogja. Kelenteng ini dibangun di tanah milik De Chinese Bevolhing.

Mengutip situs BPCB DIY, nama kelenteng ini berasal dari tiga suku kata yakni Miau yang berarti kelenteng, Fuk yang bermakna berkah, dan Ling yang berarti tak terhingga. Dengan kata lain kelenteng ini bermakna kelenteng penuh berkah yang tak terhingga.

Ciri yang menonjol dari kelenteng ini yakni adanya dua patung naga bertengger di bubungan atapnya. Kedua patung naga itu saling berhadapan. Masing-masing berpose membuka mulut, mengangkat ekor tegak lurus ke atas dan menatap tajam pada sebuah bola api/mutiara yang berada di tengah keduanya.

Kelenteng Gondomanan resmi berstatus cagar budaya berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.25/PW.007/MKP/2007. Kelenteng yang digunakan sebagai tempat ibadah umat Konghucu dan Buddha ini berada di Jalan Brigjen Katamso No 3, Prawirodirjan, Gondomanan, Kota Yogyakarta.

2. Kelenteng Poncowinatan

Tak hanya kelenteng di Gondomanan, kelenteng di Poncowinatan Jogja juga dinyatakan sebagai cagar budaya. Kelenteng yang bernama Kwan Tee Kiong dan lebih dikenal sebagai Kelenteng Poncowinatan ini didirikan pada 1879 di atas tanah hibah Sri Sultan HB VII.

Mengutip situs Kemdikbud, Kelenteng Poncowinatan digunakan sebagai tempat pemujaan Tri Dharma yaitu Buddha, Konghucu, dan Taoisme. Upacara keagaman di kelenteng ini biasanya dilaksanakan pada hari ulang tahun kelenteng pada tanggal 24 bulan ke-6 dan tahun baru imlek.

Kelenteng Poncowinatan ditetapkan sebagai Cagar Budaya melalui Permenbudpar RI No. PM.07/PW.007/MKP/2010. Kelenteng ini beralamat di Jalan Poncowinatan No. 11 Yogyakarta.

D. Pura

Jogja juga memiliki sejumlah pura yang terkenal dan ramai dikunjungi. Pura di Jogja ini pun cocok untuk tangkil, maturan atau pun bebakti.

Berikut daftar pura di Jogja yang bisa kamu kunjungi:

1. Pura di Pantai Ngobaran

Keberadaan pura di Pantai Ngobaran ini didirikan pada 2003 untuk memperingati kehadiran Brawijaya V, salah satu keturunan Majapahit di Ngobaran. Mitos yang berkembang Pantai Ngobaran merupakan tempat pelarian Prabu Brawijaya V. Konon di pantai inilah sang Prabu wafat dengan membakar dirinya sehingga diberi nama Pantai Ngobaran. Lokasi pura ini ada di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul.

2. Pura Jagatnatha

Pura Jagatnatha Jogja berada di kawasan Banguntapan, Bantul. Pura Jagatnata ini dibangun pada 1967. Kala itu daerah Banguntapan banyak disinggahi masyarakat beragama Hindu sehingga akhirnya dibangunlah pura ini.

3. Pura Vaikuntha Vyomantara

Pura Vaikuntha Vyomantara ini berada di kompleks Lanud Adisutjipto Jogja. Lokasi pura ini berada di lahan 5.000 meter persegi dan berdampingan dengan Gereja Kristen Protestan dan masjid di kompleks Lanud. Peresmian Kori Agung Pura Vaikuntha Vyomantara ini dilakukan Marsekal Ida Bagus Putu Duni yang menjabat sebagai KSAU kala itu pada 2014 silam.

Kori Agung adalah bagian bangunan dalam Pura yang merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah (Madya Mandala) dengan jeroan (Utama Mandala). Tidak setiap orang bebas leluasa melainkan masuk satu persatu,maksudnya agar mereka yang masuk ke dalam jeroan atau (Utama Mandala) benar-benar orang yang satu antara bayu (tenaganya), sabha (perkataannya), idep (pikirannya), dan bulat tertuju hanya untuk memuja Tuhan.

Halaman 2 dari 3
(ams/dil)


Hide Ads