Menjelang Imlek kampung pecinan di Kota Solo, Jawa Tengah yang terletak di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres Solo, jadi salah satu destinasi perjalanan. Kampung pecinan di belakang kawasan Pasar Gede ini merupakan kampung pecinan terbesar di Solo.
Komunitas Soerakarta Walking Tour bersama Solo Societeit menggelar acara jelajah kampung pecinan sebagai bagian edukasi sejarah terhadap anak anak muda di Solo. Dimulai dari Pasar Gede Solo, tur ini diberi tema Harmoni Pasar Gede. Cakupan wilayah Kampung Sudiroprajan meliputi beberapa kawasan, seperti di Kepanjen, Ketandan, Balong, Sudiroprajan, Mijen, dan Limolasan.
Ketua Solo Societeit, Dhani Saptoni, mengatakan Solo dibangun dari berbagai entitas dan keberagaman menjadi fondasi utama perjalanan sejarah Solo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jauh sebelum adanya Keraton Solo, saat masih menjadi Desa Sala, terbangun menjadi kota negara, lalu menjadi Kota Solo. Selalu ada riak konflik yang dalam sejarah perkotaan selalu bisa diredam dengan semangat harmoni," jelas Dhani, Minggu (30/1/2022).
Dalam catatan Solo Societeit, merujuk pada buku Kehidupan Dunia Kraton Surakarta Dari 1830 hingga tahun 1939 karya Darsiti Soeratman terbitan tahun 1989, mengatakan etnis Tionghoa di Solo, mendiami tempat tersendiri yang telah diatur sejak masa kolonial. Di bagian tengah kota Surakarta, didiami oleh beberapa etnis, yakni Tionghoa, Arab dan Eropa. Masing-masing menempati daerah tertentu secara terpisah.
Jika hunian Eropa terpisah dari perkampungan etnis lain berdasarkan ras, maka penunjukan Kampung Pecinan untuk orang-orang Tionghoa kala itu ditujukan agar gerak-gerik mereka mudah diawasi. Pecinan di Kota Solo, terletak di sekitar atau area Pasar Gede. Etnis Arab, sebagian besar tinggal di Pasar Kliwon dan bumiputera tinggal tersebar di seluruh kota.
Pada abad ke-19, etnis Tionghoa dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah kolonial Belanda. Mereka dilarang tinggal di tempat tertentu tanpa memiliki surat izin (wijkenstelsel). Selain itu, etnis Tionghoa juga dilarang berpergian bila tanpa surat jalan (passenstelsel). Muara dari pembatasan ini agar pemerintah kolonial Belanda lebih leluasa dalam mengeksploitasi ekonomi Hindia Belanda karena bagi pemerintah Belanda, adanya etnis Tionghoa akan merugikan mereka.
Sejarah inilah yang membuat Belva Aulia (17) tertarik untuk gabung dan berjalan keliling wilayah di sekitar Pasar Gede Solo. "Ini mendekati Tahun Baru Imlek, penasaran dengan Kampung Pecinan yang ada di Kota Solo. Sejarahnya yang belum tahu, meskipun sudah menjadi warga Solo belasan tahun belum tahu seluk beluknya Solo sampai dalam dalam," tuturnya.
Menurut Belva, dari kegiatan ini dia menjadi paham ada banyak andil toko-toko besar di Kampung Pecinan dalam pembangunan saat masa Raja Paku Buwono ke X dan Pura Mangkunegaran hingga menjadi Solo saat ini.
"Pengetahuan seperti ini penting untuk diketahui anak muda seperti saya untuk meneruskan pembangunan Kota Solo ke depan," kata Ketua Forum Anak Kota Solo itu.
Kegiatan Jelajah Kampung Pecinan ini menjadi agenda tahunan komunitas, karena pada dua tahun belakang disetop karena pandemi. Baru dua bulan belakang kegiatan Soerakarta Walking Tour kembali digiatkan.
Selepas mengeksplore Pasar Gede, para peserta diajak menelusuri gang-gang sempit Kampung Sudiroprajan yang pada tahun ini tidak banyak terpasang lampion karena Imlek tahun ini di peringati secara sederhana.
Dalam catatan Solo Societeit, sejarah tentang Sudiroprajan kampung ini awalnya merupakan wilayah pasar Keraton Solo. Pada abad-18, awal masuknya etnis Tionghoa ke Solo, Pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang Cina di kawasan belakang Pasar Gede. Lambat laun kawasan tersebut menjadi pusat perdagangan yang masih terlihat jejaknya hingga sekarang.
Sebagai kampung etnis Tionghoa, pluralitas di wilayah itu berkembang cukup baik. Pribumi dan etnis Tionghoa hidup saling berdampingan, Sudiroprajan adalah contoh nyata dalam merawat kebhinnekaan. Toleransi warga Sudiroprajan terlihat dari kehidupan sehari-hari. Dalam hal organisasi perkotaan misalnya, tak ada pembeda antara Jawa dan Tionghoa, semua memiliki kewajiban dan hak yang sama.
Kerukunan antaretnis yang ada di Sudiroprajan pada akhirnya melahirkan event budaya bernama Grebeg Sudiro. Grebeg Sudiro kini menjadi agenda tahunan wisata di Solo jelang datangnya Imlek. Sejak tahun 2007 Grebeg Sudiro pertama kalinya digelar, dan pada tahun 2020 dan 2021 bahkan pada 2022 ini Grebeg Sudiro ditiadakan untuk mengurangi kerumunan dan penularan virus Corona.
Namun suasana menjelang Imlek sudah sangat terasa dengan dipasangnya lampion di sekitar Pasar Gede Solo. Meskipun tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya, namun cukup mengobati rasa kangen warga Solo yang selama dua tahun belakang perayaan Imlek di Kota Solo ditiadakan.
(sip/aku)