Komunitas From Terrace to The Stage (FTTS) menggelar pameran 'Urban Hurk: Usai Lemparan Kerikil' di Jogja National Museum (JNM), Kota Jogja. Pameran yang berlangsung hingga Minggu (13/11) ini mengajak masyarakat melihat kondisi Jogja dari sudut berbeda, yakni dari kaca mata pecinta sepakbola.
Wakil Ketua Panitia Pameran Urban Hurk, Reza Firmansyah, menjelaskan urban memiliki makna masyarakat perkotaan dan hurk atau dalam Bahasa Jawa yaitu horeg memiliki makna keriuhan atau kekacauan. Menurutnya, hal itulah yang kini dialami warga asli Kota Jogja.
"Urban Hurk itu punya arti urban adalah masyarakat perkotaan dan hurk atau horeg itu memiliki konotasi negatif dalam Bahasa Jawa. Karena horeg itu riuh, chaos," kata Reza kepada wartawan di JNM, Sabtu (12/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itulah yang kami rasakan belakangan ini saat tinggal sebagai warga lokal, keluar rumah kena macet dan mencari pekerjaan susah. Kami ingin beri sisi berbeda-beda soal Jogja," lanjut Reza.
![]() |
Sehingga Jogja bukan hanya soal murahnya makan di angkringan atau sajian kopi dengan arang. Bahkan, bukan pula soal rindu yang teramat sangat dan bukan pula soal pulang.
"Jadi pameran ini memosisikan Yogyakarta sebagai ceruk hajat hidup orang banyak, di mana kami bergelut hidup di dalamnya," ujarnya.
Pameran ini melibatkan para seniman dan pegiat seni. Ada 34 karya yang masuk dalam kerangka kuratorial. Di antaranya jersey, kaus, lukisan, poster, foto dan replika piala.
![]() |
"Bisa dirumuskan bahwa ada dua kata kunci soal pameran ini isu kota dan sepakbola. Jika dikembangkan lebih luas lagi kita akan berjumpa pada permasalahan soal tata ruang, isu tanah, kejahatan jalanan, hingga insiden di lapangan hijau," ucapnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya...
Reza melanjutkan, karya yang dipamerkan dalam pameran banyak yang mengandung unsur sepakbola. Menurutnya, hal tersebut karena pihaknya banyak yang menyukai sepakbola, khususnya PSIM Jogja.
![]() |
"Kami suka band-bandan dan juga suka menonton sepakbola, khususnya PSIM di Jogja. Sehingga kami tidak mau meninggalkan itu. Karena selain suporter, di luar stadion kami warga biasa, sehingga mengapa kami tidak menyuarakan keluh kesah sebagai warga lokal karena sepakbola itu termasuk di Urban Hurk," ujarnya.
"Sepakbola itu cerminan dari masyarakat kalau sepakbola suka rusuh berarti tata kelola kota ada yang tidak beres, kurang lebih seperti itu," imbuh Reza.
Pameran ini juga menyoroti Tragedi Kanjuruhan yang menjadi titik balik bagi suporter di Yogyakarta. Di mana setelah tragedi tersebut perdamaian suporter terjadi di Yogyakarta.
![]() |
"Berangkat dari situasi inilah, inisiatif Urban Hurk muncul. Bagaimana membingkai keriuhan, keramaian hingga keruwetan dari perspektif orang-orang yang hidup di dalamnya. Jika kamu merasa setuju ada baiknya mengamati karya satu demi satu," imbuhnya.