Perjuangan Septi Penghuni 'Kampung Mati' Kulon Progo Susur Bukit demi Sekolah

Perjuangan Septi Penghuni 'Kampung Mati' Kulon Progo Susur Bukit demi Sekolah

Jalu Rahman Dewantara - detikJateng
Minggu, 18 Jun 2023 21:37 WIB
Jalan menuju kampung mati di Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023).
Jalan menuju kampung mati di Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo, Jumat (16/6/2023). (Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng)
Kulon Progo -

Penghuni terakhir 'Kampung Mati' di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) harus berjalan menyusuri perbukitan Menoreh demi bisa bersekolah. Hal ini ditempuh lantaran ketiadaan akses jalan yang layak.

Adalah Dewi Septiani (10) satu-satunya pelajar yang berasal dari Kampung Mati, Dusun Watu Belah, Kalurahan Sidomulyo, Kapanewon Pengasih, Kulon Progo. Siswa kelas III SD ini setiap hari berjalan kaki dari rumahnya di tengah hutan kawasan perbukitan Menoreh untuk bersekolah di SDN Kutogiri. Total jarak dari rumahnya ke SD tersebut berkisar 7 kilometer.

Setidaknya, Septi harus berjalan kaki terlebih dahulu sejauh 2 km hingga sampai titik di mana terdapat akses jalan bagi kendaraan. Setelah itu, Septi diantar oleh kakaknya Agus Sarwanto (23) ataupun ayahnya, Sumiran (49) menuju SDN Kutogiri menggunakan sepeda motor. Motor bebek lawas milik keluarga ini biasa dititipkan di rumah tetangga yang lebih dekat dengan akses jalan sebagai sarana antar jemput Septi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Septi terpaksa jalan kaki karena akses dari rumahnya hingga jalan yang layak dilalui kendaraan merupakan jalur berbatu dengan tingkat kemiringan hingga 70 derajat. Medan ini tak memungkinkan kendaraan melintasi jalur tersebut, bahkan sepeda sekalipun.

"Iya harus jalan kaki, jalannya juga sulit jadi bikin capek," ucap Septi saat ditemui di rumahnya, Jumat (16/6/2023).

ADVERTISEMENT

Hal itu membuat Septi harus bangun lebih pagi. Dia mengaku sering bangun pukul 05.00 WIB, untuk kemudian berangkat pukul 05.30 WIB. Meski begitu, dia mengaku sering telat masuk sekolah karena jauhnya jarak yang ditempuh.

"Iya, sering telat. Soalnya memang jalannya lumayan jauh. Bisa setengah jam lebih," ujarnya.

Sementara itu, ibu Septi, Sugiati menuturkan Septi selalu ditemani sang ayah maupun kakaknya dalam perjalanan menuju sekolah. Ini untuk memastikan anaknya baik-baik saja di jalan. Mengingat kondisi jalan yang ekstrem dan terkadang sering longsor ketika masuk musim penghujan.

"Kalau hujan itu sering digendong sama ayahnya, karena ayahnya enggak tega. Soalnya kan di jalan situ batunya sering jatuh ke bawah gitu. Jalannya juga licin," ucapnya.

Terjalnya jalur yang ditempuh juga membuat Septi sering gonta-ganti sepatu. Sugiati mengungkapkan anaknya biasa ganti sepatu setiap 3 bulan sekali lantaran kerap rusak.

"Minimal tiga bulan sekali pasti ganti sepatu karena sering rusak mas. Tapi ya mau gimana lagi karena memang jalan yang dilewati kaya gitu," ungkapnya.

Kendati demikian, Sugiati menyebut semangat anaknya untuk bersekolah tetap tinggi meski setiap hari harus menempuh medan yang ekstrim. Dia juga jarang mendapat keluhan dari sang anak perihal jalanan yang sulit itu.

"Nggak pernah ngeluh mas. Dia tetap ceria dan semangat sekolah. Karena dia itu punya cita-cita jadi guru melukis, jadi semangat buat sekolah," ucapnya.

Guru Wali Kelas III SD N Kutogiri, Yuliati, mengungkapkan anak didiknya itu termasuk pribadi yang ceria. Meski setiap hari harus berjalan kaki hingga 2 km untuk bersekolah, Septi selalu terlihat semangat di kelas.

"Luar biasa sekali ya karena dia tanpa menunjukkan rasa lelah sampai di sekolah, dia tetap ceria langsung bermain dengan teman-temannya. Bahkan ketika jam pulang itu dia merasa sedih, mungkin karena nanti di rumah teman-temannya sudah terbatas. Kalau di sekolah kan banyak temannya kalau di rumah nanti temannya ya sama orang tuanya itu," ucap Yuliati saat ditemui detikJateng di SDN Kutogiri, Jumat (16/6/2023).

Yuliati mengaku pada awalnya tidak menyangka jika rute perjalanan Septi menuju sekolah sesulit itu. Sebelumnya Yuliati hanya mendengar dari cerita Septi. Akhirnya dia coba membuktikan langsung bersama rekan-rekan guru.

Menurutnya rute yang ditempuh Septi tergolong ekstrem dan akan membuat siapapun yang mencobanya bakal ngos-ngosan.

Yuliati sempat mencoba rute harian Septi. Simak di halaman selanjutnya.

"Pengalaman jalannya itu, pertama kita naik motor lewat jalan batu-batu lancip dengan rute yang curam. Saya saja sampai enggak berani. Nah setelah itu kita nitip di perkampungan penduduk, kemudian jalan kaki sampai ke rumah Septi. Kurang lebih itu jaraknya 2 km, dengan jalur yang naik turun belok-belok dengan setapak berbatu yang mungkin kalau hujan licin mas. Karena kemarin itu kita ke sana itu enggak posisi hujan, tapi tetap terpeleset. Pas balik nya ada turunan, naikan. Naiknya lumayan ngos-ngosan. Baliknya juga seperti itu," ucap Yuliati menceritakan pengalamannya berkunjung ke rumah Septi.

Sulitnya medan yang ditempuh Septi untuk bersekolah membuat pihak sekolah trenyuh. Hingga pada akhirnya memaklumi jika ada beberapa tugas Septi yang tidak bisa dikerjakan karena persoalan itu. Salah satunya tugas mengisi buku Ramadan.

Yuliati menuturkan, Septi tidak bisa mengisi buku Ramadan karena jarak yang ditempuh dari rumahnya ke masjid terdekat mencapai 2 km. Itupun juga harus dilalui dengan jalan kaki.

"Kan kita ada progam mengisi buku Ramadan. Jadi ketika salat tarawih terus minta diisi apa ceramahnya dan minta paraf ustaz. Nah dia enggak bisa mengisinya karena rute untuk sampai ke masjid sangat jauh, ditambah dengan cerita jalan di sana itu sangat sulit. Ternyata, ketika kita sampai di sana ya baru tahu, perjalanannya memang sangat luar biasa," ujarnya.

Sementara itu Kepala SDN Kutogiri, Ismartono mengatakan sulitnya perjalanan Septi ke sekolah tak membuat semangat belajarnya kendur. Menurutnya Septi punya kemauan yang keras sehingga tetap berangkat sekolah dan jarang absen.

"Septi itu punya kemauan yang keras sehingga tetap berangkat, dia juga jarang izin," ujarnya.

Dari pengamatannya, Septi punya satu potensi besar dalam bidang seni rupa. Karyanya tergolong lebih baik dibandingkan siswa lain. Ke depan, pihaknya akan mengikutkan Septi ke perlombaan menggambar untuk meraih prestasi.

"Dia itu menonjol di bidang melukis. Gambarannya bagus. Jadi nanti insyaallah mau kita ikutkan lomba," ucapnya.

Terkait bantuan, Ismartono mengatakan bahwa pihak sekolah sudah memberikan sejumlah bantuan kepada Septi dan keluarganya. Selain itu, Septi juga terdata sebagai siswa progam KIP dan PIP.

"Ya ada (bantuan). Pas kami ke sana (ke rumah Septi) dua kali sudah memberikan bantuan. Sekolah juga memberikan bantuan KIP, PIP dan lain-lain," ujarnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Mengalami Insiden Terperosok di Air Saat Bermain Offroad di Yogyakarta"
[Gambas:Video 20detik]
(aku/aku)


Hide Ads