Eks Tambang Mangan Kliripan di Kabupaten Kulon Progo, DIY, pernah berjaya dan menyerap banyak tenaga kerja. Para pekerja tambang itu rela bertaruh nyawa demi upah yang tak seberapa.
Masih tergambar jelas di ingatan Sukiman tatkala dia menggantungkan hidup dari tambang Kliripan. Menuruni lubang sejauh ratusan meter di bawah permukaan tanah kala itu menjadi rutinitas bagi pria lanjut usia tersebut. Hal itu dia lakoni demi memperoleh batu mangan yang merupakan bahan baku produksi baja dan besi.
Sukiman merupakan salah satu penambang di eks tambang Mangan Kliripan, Kalurahan Hargorejo, Kapanewon Kokap, Kulon Progo. Ia aktif menambang sejak 1972.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Waktu itu masih remaja, ya kalau sekarang mungkin seumuran siswa kelas 1 SMP," kata Sukiman saat ditemui di rumahnya di Kliripan, Kamis (29/9/2022).
Sukiman bercerita, menjadi penambang bagi warga Kliripan merupakan hal yang lumrah saat itu. Menurut dia, saat itu anak-anak, remaja, hingga orang dewasa seolah diharuskan memilih pekerjaan itu.
![]() |
Mayoritas warga Kliripan kala itu memang menggantungkan hidupnya dari tambang mangan. "Sudah seperti warisan leluhur. Dari kakek dan bapak saya dulunya juga penambang di sana," jelasnya.
Terbatasnya lapangan kerja dan minimnya penghasilan dari bertani menjadi alasan warga Kliripan memilih terjun sebagai penambang. Dari pekerjaan itu mereka bisa memperoleh upah meski tak besar.
Sukiman ingat betul upah yang pertama ia dapat saat jadi penambang, yaitu Rp 60 per kilogram batu mangan yang diperolehnya. Merujuk data inflasi keuangan, nominal Rp 60 saat itu diperkirakan sebanding dengan Rp 9.600 pada 2022.
"Waktu itu bisa dapat Rp 60 sudah senang banget. Saat itu Rp 60 termasuk besar bagi kami," ujarnya.
Upah itu sejatinya tak sebanding dengan risiko pekerjaan yang dihadapi para penambang mangan. Sukiman menuturkan, tak sedikit penambang yang celaka, hingga terenggut nyawanya ketika melakoni aktivitas tambang.
Bagaimana tidak, proses penambangan dilakukan di bawah tanah berkedalaman hingga 100 meter. Setelah itu penambang membuat lubang horizontal yang jauhnya bisa mencapai 300 meter.
"Dulu prosesnya pertama kali bikin lubang vertikal, lalu jadiin lubang horizontal seperti lubang tikus gitu. Di dalem itu masuk sudah dicabang-cabang. Masuknya sekira 200-300 meter dari pintu masuk," terang Sukiman.
Dalam situasi ini, penambang dituntut untuk bekerja cepat lantaran minimnya oksigen. Belum lagi jika terjadi tanah longsor yang sewaktu-waktu bisa menimbun mereka hidup-hidup. "Salah sedikit nyawa taruhannya," ujarnya.
Baca kisah mendebarkan Sukiman selanjutnya di halaman berikutnya...
Pada 1985, Sukiman berhenti jadi penambang mangan. Bukan karena takut dengan tingginya risiko pekerjaan tersebut, melainkan bahan mangan kian menipis hingga sulit dicari.
"Akhirnya saya berhenti aja, mau cari kerjaan dan saat itu dapatnya di Lampung," tuturnya.
Untuk diketahui, aktivitas pertambangan Mangan di Kliripan sudah terlihat lebih dari seabad yang lalu. Merujuk surat kabar De locomotief: Samarangsch handels en advertentie Blad, bertanggal 25 Juni 1896, terdapat berita mengenai eksploitasi Kliripan sebagai lokasi tambang.
Dalam koran lawas itu disebutkan tambang mangan Kliripan diresmikan pada Juni 1894 oleh pengusaha H W van Dhfsen. Kala itu Kliripan digambarkan sebagai kota tambang yang sibuk. Banyak warga terutama dari luar daerah berbondong-bondong ke sini untuk mencari bahan baku mangan. Komponen tambang mangan di wilayah Kliripan mencakup areal seluas Β± 6.916 (luas delineasi), dengan hasil tambang mencapai puluhan ton per bulan.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, Presiden Soekarno menetapkan Kliripan sebagai kawasan strategis pertambangan nasional dan sebagai kelanjutan pertambangan dari masa kolonial Belanda untuk meningkatkan devisa negara.
Tahun berganti, kejayaan Tambang Mangan Kliripan pun mulai meredup. Masifnya penambangan dengan metode hidrologi kala itu membuat mangan di sana perlahan kian sukar dicari. Puncaknya pada 1983, di mana akhirnya seluruh aktivitas pertambangan di sini akhirnya terhenti.
"Pada akhirnya aktivitas pertambangan di sana off pada 1983. Hingga kini sudah tidak dimanfaatkan lagi," ujar Tokoh masyarakat Kliripan, Sri Widodo.