Mengenang Dahsyatnya Gempa Jogja 16 Tahun Lalu

Mengenang Dahsyatnya Gempa Jogja 16 Tahun Lalu

Pradito Rida Pertana - detikJateng
Jumat, 27 Mei 2022 08:18 WIB
Warga mengenang gempa Jogja, 27 Mei 2006 di Kapanewon Bantul.
Warga mengenang gempa Jogja, 27 Mei 2006 di Kapanewon Bantul. (Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng)
Bantul -

Tanggal 27 Mei, tepatnya 16 tahun lalu gempa berkekuatan 5,9 skala richter mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), khususnya di Kabupaten Bantul. Hingga saat ini peristiwa gempa Jogja pada 27 Mei 2006 silam itu masih terekam di memori masyarakat, mulai dari sulitnya logistik hingga adanya kabar tsunami yang belakangan diketahui hoax.

Salah satu saksi hidup gempa yang terjadi sekitar pukul 05.55 WIB itu, yakni Anang Zainuddin (40). Anang mengaku masih ingat dahsyatnya gempa tersebut.

"Saat gempa itu kebetulan saya pas tidur di teras depan rumah. Jadi begitu grubyuk-grubyuk (terasa getaran gempa) langsung bisa lari. Kalau rasanya ya seperti dilempar itu," kata Anang kepada detikJateng saat ditemui di Kapanewon Bantul, Jumat (27/5/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Warga Pedukuhan Lanteng II, Kalurahan Selopamioro, Kapanewon Imogiri, Bantul itu mengenang tiba-tiba banyak asap di sekitar rumahnya. Dia sempat mengira asap itu berasal dari erupsi Gunung Merapi, ternyata asap itu adalah debu dari bangunan yang roboh.

"Terus banyak asap itu, saya kira Merapi mbledhos (meletus) karena waktu itu kan ada aktivitas dari Merapi. Nah, ternyata bukan asap, tapi kepulan debu dari rumah-rumah yang roboh," ujarnya.

ADVERTISEMENT

"Apalagi posisi rumah saya sebelah baratnya kan SMP. Jadi pas ambruk (bangunan SMP) mungkin menimbulkan banyak debu dari tembok-tembok bangunan yang roboh itu," lanjut Anang.

Anang mengaku bersyukur saat itu tidur di teras rumahnya. Mengingat beberapa bagian bangunan rumahnya ambruk diguncang gempa.

"Tapi saya bersyukur tidur di teras itu, karena kalau tidur di dalam kamar tidak tahu nasibnya bagaimana wong rumah bagian depan ambruk dan rumah bagian belakang rusak ringan," ucapnya.

Namun, adik Anang ternyata sempat terjepit karena berada di dalam rumah. Beruntung adiknya bisa keluar dalam kondisi selamat.

"Kalau bapak dan ibuku setiap habis subuhan langsung berkegiatan di belakang rumah sehingga saat gempa alhamdulillah aman. Tapi adikku sempat kejebak di dalam rumah, akhirnya lewat sela-sela tembok rumah yang rubuh bisa keluar dengan kondisi sudah putih itu badannya seperti keguyur tepung," ujarnya.

Tak hanya itu, warga juga dibuat panik dengan isu adanya tsunami di pantai selatan DIY. Akhirnya banyak warga yang mengungsi ke dekat rumahnya karena berada di pegunungan.

"Yo jelas kena isu tsunami itu. Kan pertama kan warga membuat tenda di lapangan, ada isu itu (tsunami) langsung pindah ke pegunungan. Wah, saat itu orang mana-mana ke tempat saya dengan niat mau menyelamatkan diri, kan timur rumah saya gunung," katanya.

Anang dan beberapa teman sekaligus tetangganya pun mendapati sejumlah warga yang luka-luka. Situasi yang kacau membuat warga yang luka tak bisa segera mendapatkan penanganan medis.

"Saat itu ada beberapa warga yang luka, dibawa ke puskesmas ternyata masih tutup terus dibawa ke rumah sakit pakai mobil pikap ternyata rumah sakitnya penuh. Akhirnya ya dibawa pulang lagi dan tidak dapat pertolongan medis," ujarnya.

Anang juga bercerita jika Kalurahan Selopamioro sempat terisolir usai gempa 27 Mei. Masyarakat pun sulit mendapatkan bantuan logistik karena banyak kendaraan pembawa bantuan logistik lebih dulu disetop di Kota Jogja sehingga sesampainya di Selopamioro, Imogiri tinggal sedikit bahkan habis.

"Selopamioro sempat terisolir selama 2 hari. Karena jalan raya ditutup, bantuan 'dibegal' dulu di dekat Kota (Yogyakarta), akhirnya kan yang jauh dari Kota seperti tempat saya tidak dapat apa-apa," ucapnya.

"Untung orang kampung masih punya stok beras meski hanya sedikit dikumpulkan terus dimasak bareng-bareng, lauknya yo seadanya saat itu cari bahan makanan di sawah atau kebun, pokoknya yang layak untuk dimakan. Ya intinya yang penting semua bisa makan dulu," imbuh Anang.

"Sebelum akhirnya datang Kopassus grup 2 Kandang Menjangan yang bantu warga, wah saat itu Kopassus datang di saat yang tepat tenan. Karena Kopassus membersihkan aksi 'begal-begal' bantuan itu dan akhirnya warga dapat bantuan," ujarnya.

Anang menyebut kejadian itu sangat berkesan dan tidak akan terlupakan dalam hidupnya. Selain itu, masyarakat di tempat tinggalnya selalu menggelar tahlilan setiap tanggal 26 Mei atau malam sebelum gempa terjadi.

"Tiap tahun kalau malam (sebelum peringatan) gempa tahlilan, tapi gara-gara pandemi itu terus berhenti sampai sekarang," ucapnya.

Senada dengan Anang, warga Pedukuhan Cimpon, Kalurahan Tirtosari, Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul Hendra Nurdiansyah (31) menceritakan situasi mencekam saat terjadi gempa tersebut. Hendra mengaku saat itu tengah tertidur lelap dan tiba-tiba terbangun karena merasakan getaran gempa.

"Saat itu jam setengah 6 pagi, terus posisi saya lagi tidur dan terdengar suara dentuman terus disusul rumah seperti bergoyang itu saya langsung keluar rumah. Saya kira suara Merapi karena saat itu Merapi kan baru aktif-aktifnya, ternyata gempa," ucap Hendra kepada detikJateng.

Beruntung Hendra dan keluarganya selamat, dan rumah tinggal mereka hanya mengalami retak. Dia pun lalu bergegas ke pusat Kota Bantul untuk memastikan kondisi kakek-neneknya selamat.

"Terus saya langsung ke Bantul Kota karena mencari simbah yang tinggal di sana. Apalagi saat itu kan menyebar isu kalau terjadi tsunami, selama perjalanan itu saya banyak lihat orang-orang pergi ke arah Pajangan, ke Gunung Sempu karena tempat-tempat itu kan tinggi," ujarnya.

Hendra masih ingat dia sempat berteriak untuk memberitahu warga jika situasi dekat pantai selatan Bantul tidak terjadi tsunami. Semua itu agar warga tidak termakan isu hoax saat itu.

"Saat itu saya sempat bengoki (teriak) ke orang-orang yang ke utara kalau tidak ada apa-apa di selatan (wilayah Pantai), tidak ada tsunami," ucapnya.

Dia mengaku daerah tempat tinggalnya sempat kesulitan logistik dan terisolir. Hal itu karena banyak orang-orang yang mencegat kendaraan pengangkut bantuan logistik dan meminta dengan alasan lapar.

"Awal-awal sempat kena 'begal' bantuan, ya tiga hari lah, dan setelah tiga hari itu baru bantuan bisa masuk (ke daerah tempat tinggalnya," katanya.

Hendra menambahkan, gempa yang berpusat di Pedukuhan Potrobayan, Kalurahan Srihardono, Kapanewon Pundong, Kabupaten Bantul 16 tahun lalu itu membuatnya sedikit trauma jika merasakan getaran gempa.

"Ya kalau teringat tanggal 27 Mei jadi ingat kejadian saat gempa itu. Terus sampai saat ini jadi masih merasa gimana gitu kalau ada gempa," ujarnya.

Untuk diketahui, berdasarkan data dari BPBD Bantul, jumlah korban meninggal di wilayah Bantul akibat gempa tersebut mencapai 4.143 korban jiwa. Sedangkan untuk jumlah rumah yang rusak total ada 71.763, rusak berat 71.372 dan rusak ringan 66.359 rumah.

Dihubungi terpisah, Kepala Pelaksana BPBD Bantul Agus Yuli Herwanta mengatakan, dalam memperingati 16 tahun terjadinya gempa Pemkab Bantul melaksanakan mengheningkan cipta di rumah dinas Bupati Bantul pagi tadi. Terkait peringatan tersebut, Agus meminta agar masyarakat menanamkan budaya mitigasi bencana.

"Kita hidup di DIY harus bersahabat dengan potensi bencana. Salah satunya adalah dengan budaya kesiapsiagaan yang dimulai dari keluarga," ucap Yuli kepada detikJateng.




(ams/ahr)


Hide Ads