Kericuhan terjadi saat proses pengukuran lahan warga yang digunakan untuk tambang batuan andesit untuk material Bendungan Bener di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Berbagai pihak pun menyoroti tindakan represif yang dilakukan aparat.
Amnesty Internasional Indonesia tuntut Jokowi dan Ganjar bertanggungjawab
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas insiden pengerahan pasukan yang menyerbu Desa Wadas. Terutama Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
"Kami Amnesty menilai bahwa pengerahan pasukan tersebut yang disertai dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM harus dipertanggungjawabkan. Dan kami menilai bahwa pengerahan pasukan itu adalah tanggung jawab pimpinan pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden (Joko Widodo), menteri dan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo)," kata Usman saat jumpa pers virtual, Kamis (10/2).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi Presiden Jokowi dan Ganjar harus bertanggung jawab atas pengerahan pasukan yang berlebihan dan segala dampak ikutannya yang melanggar prinsip-prinsip pemolisian yang demokratis, kaidah negara hukum dan HAM," imbuhnya.
Pengerahan pasukan ke Wadas terlalu berlebihan
Amnesty Internasional masih mempertanyakan kebijakan pengerahan pasukan keamanan ke Desa Wadas yang dinilai berlebihan.
"Dilihat dari jumlah personel, jenis satuan yang berseragam dan tidak berseragam termasuk kendaraan yang digunakan kami menilai pengerahan pasukan itu berlebihan," ucap Usman.
Pengerahan yang diminta, kata Usman, sebenarnya untuk pengamanan anggota BPN yang melakukan pengukuran tanah. Menurutnya, pasukan yang mengawal cukup dengan jumlah terbatas.
"Bukan dengan pengamanan sebuah operasi seperti pengepungan kelompok kejahatan terorisme," ujarnya.
Konflik Wadas, warga vs negara
Konflik yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah saat proses pengukuran tanah, Selasa (8/2) lalu menjadi sorotan. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menyebut konflik itu merupakan konflik antara warga dengan negara.
"Benar tidak ada penembakan oleh aparat, tapi tidak benar jika dikatakan tidak ada kekerasan dari aparat. Tidak benar juga jika dikatakan polisi sudah bertindak atas permintaan untuk pengawalan keamanan masyarakat agar tidak terjebak konflik horizontal, dan tidak terjebak provokasi," kata Usman saat jumpa pers secara virtual, Kamis (10/2).
Ia menilai konflik yang terjadi saat ini adalah konflik vertikal. Yakni antara warga dan negara.
"Yang benar, adalah pengerahan itu untuk mengawal dan menjaga keamanan pejabat pemerintah yang turun. Dan juga keliru jika dikatakan konflik Wadas adalah masalah konflik horizontal, yang benar adalah konflik vertikal antara warga dan negara," tegasnya.
PP Muhammadiyah soroti polisi tak berseragam di Wadas
Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dr Trisno Raharjo, mengatakan aparat kepolisian menggunakan cara lama saat melakukan tindakan pengamanan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (8/2) lalu. Dia menyebut cara polisi tak jelas prosedurnya.
"Cara-cara lama yang tidak jelas prosedurnya, tidak jelas duduk persoalannya, sehingga kita (warga Desa Wadas) sebagai warga negara tidak tahu sebenarnya dalam posisi apa saat diamankan di sana (di Mapolres Purworejo)," kata Trisno dalam konferensi pers pasca-penangkapan warga Desa Wadas 8-9 Februari 2022 secara daring via akun YouTube Yayasan LBH Indonesia, Kamis (10/2).
Menurut Trisno hal tersebut telah menodai ketentuan hukum acara yang seharusnya diterapkan oleh kepolisian. Trisno kemudian mengutip keterangan dari LBH selaku tim pendamping hukum warga Wadas soal status tersangka untuk tiga warga Desa Wadas.
Disebutkan bahwa tiga warga tersebut dikenakan UU ITE itu pasal 28 dan KUHP pasal 14 dan 15. Menurut Trisno, penetapan status tersangka itu berlebihan.
"Sebab, kalau memang ini ada hal yang harus diselesaikan menggunakan ketentuan hukum pidana, maka patut dipertanyakan, kenapa kepolisian melibatkan pihak-pihak di luar kepolisian (orang berpakaian sipil)," kata Trisno.
Anak-anak Wadas alami trauma
Lebih dari 60 orang sempat diamankan polisi saat ricuh di Desa Wadas, Purworejo, dua hari lalu. Komunitas Solidaritas Perempuan Kinasih (SP Kinasih) yang juga menjadi pendamping warga Wadas penolak tambang menyebut dari puluhan orang itu ada 13 anak di bawah umur yang turut diamankan.
"Yang perlu saya sampaikan adalah sampai detik ini ada 13 anak-anak yang ditahan," kata perwakilan SP Kinasih yang tidak mau disebut namanya saat jumpa pers dari YLBHI secara daring, Kamis (10/2).
SP Kinasih menyebut anak-anak yang ditangkap itu berusia sekitar 15-17 tahun. Dia menyebut kondisi itu memunculkan ketakutan terhadap anak-anak lain yang berusia sebaya.
"Dan itu memunculkan trauma, ketakutan yang luar biasa kepada anak-anak lain yang seusia mereka, karena mereka yang ditahan itu rata-rata usia 15-17 tahun," jelasnya.
"Otomatis itu membuat teman yang lainnya sebaya tidak aman ketika dia harus keluar rumah karena penangkapan itu tidak pandang bulu," imbuhnya.
(aku/aku)