Amnesty Internasional: Kasus Wadas Langgar HAM, Jokowi Harus Tanggung Jawab

Amnesty Internasional: Kasus Wadas Langgar HAM, Jokowi Harus Tanggung Jawab

Jauh Hari Wawan S. - detikJateng
Kamis, 10 Feb 2022 16:57 WIB
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. (Foto: Screenshoot 20detik)
Jogja - Amnesty International Indonesia (AII) angkat bicara terkait insiden di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. AII menyebut pengerahan pasukan ke Desa Wadas berlebihan dan melanggar HAM.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pemerintah harus bertanggung jawab atas insiden pengerahan pasukan yang menyerbu Desa Wadas. Terutama Presiden Joko Widodo dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

"Kami Amnesty menilai bahwa pengerahan pasukan tersebut yang disertai dengan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM harus dipertanggungjawabkan. Dan kami menilai bahwa pengerahan pasukan itu adalah tanggung jawab pimpinan pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden (Joko Widodo), menteri dan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo)," kata Usman saat jumpa pers virtual, Kamis (10/2/2022).

"Jadi Presiden Jokowi dan Ganjar harus bertanggung jawab atas pengerahan pasukan yang berlebihan dan segala dampak ikutannya yang melanggar prinsip-prinsip pemolisian yang demokratis, kaidah negara hukum dan HAM," imbuhnya.

Amnesty Internasional masih mempertanyakan kebijakan pengerahan pasukan keamanan ke Desa Wadas yang dinilai berlebihan.

"Dilihat dari jumlah personel, jenis satuan yang berseragam dan tidak berseragam termasuk kendaraan yang digunakan kami menilai pengerahan pasukan itu berlebihan," ucapnya.

Pengerahan yang diminta, kata Usman, sebenarnya untuk pengamanan anggota BPN yang melakukan pengukuran tanah. Menurutnya, pasukan yang mengawal cukup dengan jumlah terbatas.

"Bukan dengan pengamanan sebuah operasi seperti pengepungan kelompok kejahatan terorisme," ujarnya.

Usman juga melihat, pemerintah mestinya sadar dengan adanya penolakan warga dengan rencana penambangan di wilayah Wadas. Di tahun sebelumnya, ia mencatat adanya pengerahan pasukan dalam jumlah yang berlebihan. Maka wajar kalau dia mengatakan pengerahan pasukan kali ini bukan untuk mengamankan pejabat melainkan untuk mengamankan warga.

"Maka tampaknya memang penambahan pasukan yang terjadi ditunjukkan untuk mengamankan warga termasuk para pendamping dari lembaga bantuan hukum seperti LBH Jogja dan SP Kinasih dengan satu dalih sikap pendampingan mereka menghalangi proyek pemerintah," ujarnya.

"Jadi sulit berpegang dengan pernyataan Menko Polhukam, polisi sudah bertindak sesuai prosedur untuk menjamin keamanan masyarakat karena yang dijamin adalah keamanan pejabat negara yang turun ke lokasi," imbuhnya.

"Tidak profesional ketika aparat misalnya tidak menunjukkan identitas kepada warga saat melakukan tindakan pemolisian, juga tidak menggunakan pakaian resmi. Jika pemerintah membantah orang yang tidak berseragam bukan petugas resmi, pertanyaan mengapa aparat berseragam resmi justru membiarkan bahkan ada yang ikut serta melakukan tindakan yang sama menyimpang," tegasnya.

Usman meyakini, jika pemerintah harus bertanggung jawab terhadap perlambatan, pemutusan atau penghalangan komunikasi yang terjadi di Wadas.

"Kita yakin pemerintah bertanggung jawab atas pelambatan, pemutusan, atau penghalangan terhadap komunikasi mereka, terutama para pendamping dan warga baik dari segi internet, medsos LBH yang diretas sampai telepon seluler teman-teman SP Kinasih yang tidak bisa dibuka. Sekali lagi tindakan itu tidak bertanggungjawab, sebaliknya membuat polisi kehilangan wibawa karena tidak melaksanakan tugas pokok dan fungsi yaitu melindungi dan melayani masyarakat," katanya.

Usman mengatakan negara wajib secara konstitusional menjamin hak warganya, termasuk warga Desa Wadas. Negara juga wajib memulihkan status warga yang ditangkap agar di kemudian hari tidak ditahan.

"Warga yang ditangkap harus semuanya dibebaskan, yang dikenakan pasal, harus dicabut," katanya.

"Hentikan pencarian warga yang berusaha menyelamatkan diri, hentikan pencarian dengan cara-cara yang tidak perlu seperti penggunaan anjing pelacak, hentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga dan tindak lah pelaku yang terlibat dan juga usut tindakan pemutusan internet atau gangguan terhadap telpon seluler juga peretasan terhadap media sosial," imbuhnya.

64 Orang yang Diamankan Dipulangkan

Sebelumnya diberitakan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, melakukan pengukuran lahan kuari di Desa Wadas, Kecamatan Bener, yang akan dibangun Bendungan Bener. Di sisi lain, warga yang menolak menggelar aksi dan berujung ricuh hingga akhirnya puluhan orang diamankan petugas pada Selasa (8/2).

Di hari yang sama, sebanyak 64 warga yang ditahan di Mapolres Purworejo akhirnya dipulangkan. Sebelum pulang, satu per satu warga tampak diberi bingkisan Kapolda Jateng Irjen Ahmad Luthfi.

Setelah dimintai keterangan polisi, 64 warga yang ditahan usai kericuhan di Desa Wadas pada Selasa (8/2), diantar pulang menggunakan dua bus yang disediakan oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Sebelumnya, mereka menolak saat akan diantar menggunakan truk polisi.

"Polres Purworejo hari ini telah memulangkan warga Wadas yang kemarin kita amankan dan kemudian kita klarifikasi. Kemudian hari ini kita pulangkan didampingi oleh kepala desa setempat," kata Kasat Reskrim Polres Purworejo AKP Agus Budi Yuwono saat ditemui detikJateng di Mapolres Purworejo, Rabu (9/2) sore.


(sip/ams)


Hide Ads