Belasan hewan ternak sapi dan kambing di Kabupaten Gunungkidul, DIY, mati terserang antraks. Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates pun turun tangan.
Selain itu, sejumlah warga memperlihatkan gejala yang mengindikasikan terpapar antraks. Salah satunya terpaksa dirujuk ke RSUD Wonosari.
"Yang jelas (ternak) di Gunungkidul dengan antraks ini betul. Sekali lagi betul, positif ada, ternak ya, yang terkonfirmasi ada beberapa," kata Bupati Gunungkidul Sunaryanta kepada wartawan, Senin (31/1/2022).
Ihwal 10 warga Gedangsari yang mengidap tanda-tanda penyakit antraks, Sunaryanta mengatakan hasil uji sampelnya belum keluar.
"Untuk orang yang terindikasi antraks, sampai hari ini secara medis belum ada yang dinyatakan itu, kita tunggu. Untuk tindak lanjut, ada vaksin dan macam-macam, itu sudah kita lakukan," ujar Sunaryanta.
Dia mengimbau masyarakat tidak khawatir menyikapi munculnya antraks. "Semua ada obatnya. Insya Allah hari ini sudah kita tangani.Yang takut makan daging sapi juga saya katakan jangan khawatir, jangan panik," ucapnya.
Kepala BBVet Wates Hendra Wibawa mengatakan, belasan hewan ternak yang mati terpapar antraks. " Dari investigasi kami bersama Dinas Peternakan Gunungkidul, total ada 11 sapi dan 4 kambing," ujarnya.
Adapun rinciannya, 5 sapi dan 2 kambing di Kapanewon Ponjong, 6 sapi dan 2 kambing di Gedangsari. Menurut Hendra, ternak yang terpapar antraks bisa sembuh jika cepat diobati di lokasi kasus dan di sekitarnya dilakukan vaksinasi. Demi mencegah penyebaran virus, ternak itu tidak boleh keluar dari wilayahnya sampai pengendaliannya selesai.
"Tidak lama, paling 3-4 minggu. Kalau terkendali cepat, kasus tidak bertambah," kata Hendra.
Kepala Dinkes Gunungkidul Dewi Irawaty menambahkan, ada 23 orang yang juga memiliki gejala menyerupai antraks. Sampel 23 orang itu dikirim ke BBVet Bogor.
"Yang memiliki gejala suspek kita ambil di Ponjong 13 orang, di Gedangsari 10 orang. Mereka bergejala semua, terutama kulit melepuh, khas mirip antraks," ucapnya.
Menurut Dewi, hanya 1 orang yang dirawat di RSUD Wonosari. Sedangkan lainnya rawat jalan dengan monitoring ketat.
"Satu kita rujuk ke RSUD Wonosari. Lainnya masih di kulit semua, kita tangani di lapangan. Kita monitoring selama 2 kali masa inkubasi (120 hari). Kalau 2x60 hari tidak ada tambahan (korban manusia) berarti aman," kata Dewi.
(dil/ahr)