Sederet Kesaksian soal Iuran Kebersamaan di Kasus Korupsi Mbak Ita

Round-Up

Sederet Kesaksian soal Iuran Kebersamaan di Kasus Korupsi Mbak Ita

Tim detikJateng - detikJateng
Kamis, 10 Jul 2025 07:00 WIB
Terdakwa Hevearita Gunaryanti Rahayu di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (9/7/2025).
Terdakwa Hevearita Gunaryanti Rahayu di Pengadilan Tipikor Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (9/7/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng.
Semarang -

Sidang kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu atau Ita dan suaminya, Alwin Basri, kembali menghadirkan sejumlah saksi. Dalam sidang kemarin, sejumlah saksi mengungkapkan dana iuran kebersamaan yang dipotong dari tambahan penghasilan pegawai (TPP). Berikut sederet faktanya.

Ada Ancaman di Balik Iuran Kebersamaan

Kepala Bidang Pendataan dan Pendaftaran Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang, Binawan yang dihadirkan dalam persidangan menyebut Alwin pernah meminta Rp 3 miliar kepada Kepala Bapenda.

Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Semarang, Binawan mengungkap telah menyetorkan uang iuran kebersamaan untuk Ita sebesar Rp 300 juta setiap triwulan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Permintaan pertama diserahkan Desember 2022. Ia menyebut, uang disetor karena Ita tak kunjung menandatangani SK Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).

"Permintaan untuk Bu Ita sekitar Rp 300 juta, setahu saya di akhir Desember 2022 yang menyerahkan Bu Iin, tujuan dikasihkan Bu Ita untuk penandatanganan SK TPP," kata Binawan di Pengadilan Tipikor, Rabu (9/7/2025).

ADVERTISEMENT

"Untuk Bu Ita ada lagi setiap triwulan, yang saya dengar dari Bu Iin seperti itu. Setiap rapat pengalokasiannya itu, supaya cair (SK TPP), ada permintaan dari Bu Ita," lanjutnya.

Alwin juga disebut meminta uang hingga Rp 3 miliar menjelang akhir 2023. Uang itu disebut akan digunakan untuk mendukung pencalonan Ita.

"Pak Alwin minta Rp 3 miliar sampai akhir 2023, untuk pencalonan Bu Ita. Bu Iin keberatan, tapi Pak Alwin mengatakan jika tidak menyerahkan sudah ada pengganti dari provinsi," ungkapnya.

"Yang disampaikan Bu Iin jika tidak memberikan (untuk Ita), maka SK tidak ditandatangani. Kalau Bu Ita tidak ada ancaman untuk memindah," ungkapnya.

Dana Lomba Nasi Goreng

Dalam persidangan juga terungkap, sejumlah dana dari iuran kebersamaan digunakan untuk penyelenggaraan lomba nasi goreng antar-kelurahan dan event Semarak Simpang Lima yang menghadirkan salah satu artis.

Sidang pemeriksaan saksi kasus Ita dan Alwin di Pengadilan Negeri (PN) Semarang juga menghadirkan event organizer, Anton Setyawan. Ia disebut diminta Kabid Bapenda Binawan menangani dua kegiatan tersebut.

"Bagian saya hanya menggambar layout dan kebutuhan untuk produksinya, semacam kayak tratak (tenda), meja, kursi, saya yang membantu untuk menatakannya semuanya," kata Anton dalam persidangan, Rabu (8/7/2025).

Anton mengaku dirinya juga diminta mencarikan bintang tamu untuk acara Semarak Simpang Lima. Awalnya, ia sempat menawarkan Happy Asmara sebagai bintang tamu, tetapi ditolak.

"Ada beberapa talent yang saya coba tawarkan, saya carikan, ada Happy Asmara tetapi Pak Binawan menyampaikan tidak ACC, yang tidak ACC Bu Wali dan Pak Alwin," jelasnya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU), Rio Vernika lantas membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik Anton guna memastikan kebenarannya.

"Saya awalnya coba hubungi manajemen NDX AKA, tapi ternyata jadwalnya penuh. Kemudian saya menawarkan untuk mengundang Happy Asmara. Tapi saat dibahas di rapat tidak disetujui oleh Bu Hevearita Gunaryanti Rahayu," ungkap Rio.

"Selanjutnya dalam rapat disetujui Denny Caknan yang akan menjadi artis dalam acara ini, kemudian selanjutnya saya berkoordinasi dengan manajemen. Benar ya?," lanjut jaksa yang kemudian dibenarkan Anton.

Namun, Anton menyebut dirinya tak mengikuti rapat koordinasi. Rapat koordinasi hanya diikuti pejabat Bapenda Kota Semarang. Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi lantas bertanya apakah dirinya pernah diberi uang Rp 161 juta.

"(Rp 161 juta) Itu yang untuk Denny Caknan," ungkap Anton.

Hadiah Lomba

Saksi Kepala Bidang Pendataan dan Pendaftaran Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang, Binawan, juga menyebut uang iuran kebersamaan pegawai Bapenda Kota Semarang juga digunakan untuk membiayai hadiah dalam acara Lomba Nasi Goreng.

"Itu kegiatan PKK, mengadakan kegiatan tersebut dari iuran kebersamaan Rp 222 juta untuk hadiah," jelasnya.

Sementara saksi Eko Setyawati yang merupakan pengurus PKK Kota Semarang juga bersaksi bahwa ia menerima dana untuk membagikan hadiah lomba nasi goreng.

"Juara umum Rp 22,5 juta, juara satu Rp 20 juta, juara dua Rp 15 juta, juara tiga Rp 10 juta, juara harapan satu Rp 5 juta, juara harapan 2 Rp 4 juta, dan juara harapan 3 Rp 3 juta," jelasnya.

Sasa, sapaan akrabnya, mengaku tak pernah tahu sumber dana secara rinci dan tidak mengenal para penyumbang. Ia juga membenarkan tidak ada tanda terima saat ia menerima uang dan ia hanya menyimpan bukti berupa foto.

Sementara itu, Kuasa Hukum Terdakwa, Agus Nurudin bertanya kepada para saksi apakah ada saksi yang secara langsung memberikan uang kepada Mbak Ita maupun suaminya, Alwin Basri.

"Tidak ada," jawab Anton dan Sasa saat ditanya.

Sudah Berjalan Sejak Era Sebelumnya

Saksi Binawan juga mengungkap bahwa sistem iuran itu sudah berlangsung sejak era wali kota sebelumnya, Hendrar Prihadi (Hendi).

Hal itu terungkap saat Saksi Binawan yang merupakan Kepala Bidang Pendataan dan Pendaftaran Pajak Daerah Bapenda Kota Semarang ditanyai Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi.

Dalam keterangannya, ia menyebut, kebijakan pemotongan TPP dilakukan rutin per triwulan dan berlangsung jauh sebelum Mbak Ita menjabat.

"(Iuran kebersamaan) Ada di zaman Pak Hendi, yang tanda tangan alokasi (SK TPP) Pak Hendi," kata Binawan di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (9/7/3025).

Binawan mengaku tak mengetahui apakah iuran kebersamaan itu dilaporkan kepada Hendi kala ia menjadi wali kota. Ia juga tak mengetahui penggunaan iuran kebersamaan saat era Hendi digunakan untuk apa.

"(Pas Pak Hendi untuk apa?) Catatan ada di Mbak Syarifah. (Catatan) Sudah nggak ada, sudah dihancurkan," jelasnya.

Selengkapnya di halaman berikutnya....

Besaran Nominal Potongan Iuran

Binawan mengungkapkan, mekanisme penghitungan TPP yakni tujuh kali gaji bersih tiap bulan. Jumlah yang diterima Binawan pun dianggap janggal oleh Majelis Hakim.

"Gaji bersih Rp 4,7 juta dikalikan tujuh dikalikan tiga bulan, seharusnya hanya Rp 98 jutaan. Tapi saudara terima Rp 102 juta. Selisihnya dari mana?" tanya Ketua Majelis Hakim, Gatot Sarwadi di Pengadilan Tipikor Semarang, Rabu (9/7/2025).

Binawan menjawab, kemungkinan perhitungannya keliru. Namun, hakim mengaitkan selisih tersebut dengan iuran kebersamaan yang dipotong dari TPP pegawai.

"Jadi selama ini iuran diambil dari selisih TPP. Itu sebabnya tiap pegawai berbeda jumlahnya," jelas Gatot.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan rumus iuran kebersamaan. Terlebih, ada staf yang menyetor lebih banyak daripada pejabat eselon.

"Ada rumusannya? Nilai besarannya?" tanya hakim.

Binawan hanya menyebut perhitungan sudah disepakati para kabid dan kepala badan. Lebih lanjut, Binawan mengakui iuran tersebut digunakan untuk memenuhi permintaan Mbak Ita dan suaminya Alwin Basri.

Ia menyebut, permintaan dari Mbak Ita sebesar Rp 300 juta diserahkan pertama kali pada Desember 2022, agar SK TPP bisa segera ditandatangani.

Sementara itu, untuk Alwin, iuran pegawai juga disebut diserahkan empat kali dengan total Rp 1 miliar. Uang diberikan secara bertahap, Rp 200 juta pada Juli dan Oktober, serta Rp 300 juta pada Oktober dan November.

Halaman 3 dari 2
(apl/dil)


Hide Ads