Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Semarang memanas saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) mencecar dua saksi dari angkatan 77 dalam kasus dugaan pemerasan di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip). Para saksi dicecar karena pernyataannya berbeda dengan berita acara pemeriksaan (BAP).
Sidang dengan agenda pembuktian dari JPU dalam kasus yang menewaskan mahasiswa PPDS, dokter Aulia Risma itu dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat. Sidang menghadirkan mahasiswa PPDS Anestesi Undip angkatan 77, Bayu dan Kalika.
Kedua saksi dicecar terkait sistem operan tugas, iuran bulanan, dan pola komunikasi dengan senior selama menjalani pendidikan spesialis. JPU, Sandhy Handika menyoroti kesaksian Bayu yang pernah menjabat sebagai ketua angkatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam persidangan, Bayu mengakui adanya sistem operan tugas yang disampaikan dalam forum orientasi via Zoom pada Juni 2022 sejak dirinya resmi menjadi peserta PPDS. Forum tersebut, kata dia, diisi oleh kakak angkatan, termasuk terdakwa Zara Yupita Azra.
"Yang disampaikan banyak hal. Ada soal operan, yang saya ingat seperti makan residen, transportasi, olahraga, keagamaan," kata Bayu di PN Semarang, Rabu (25/6/2025).
Selain itu, ada pula tugas ilmiah dari senior maupun residen. Namun, saat ditanya JPU soal permintaan pengerjaan tugas ilmiah seperti pembuatan jurnal, power point, itu dari angkatan berapa, ia mengaku lupa.
"Yang minta untuk tugas ilmiah saya nggak ingat, tapi yang meminta langsung 76. Ada 9 orang, salah satunya terdakwa Zara. (Pelaksanaannya pakai uang?) Seharusnya tidak, tapi karena kami waktunya terbatas, jadi kami mengakali dengan menggunakan orang," jelasnya.
JPU menyoroti adanya iuran hingga Rp 20 juta per orang per bulan yang dikumpulkan angkatan 77 untuk berbagai keperluan. Bayu menyebut iuran itu digunakan untuk operasional sehari-hari para residen PPDS angkatan 77.
"Itu untuk seluruh angkatan senior sampai semester delapan. (DPJP juga?) Prinsipnya ada sendiri," jelasnya.
Saat disinggung soal Biaya Operasional Pendidikan (BOP) sebanyak Rp 80 juta, ia mengaku tak mendengar istilah BOP. Ia menyebut, uang Rp 80 juta itu merupakan tabungan pendidikan.
"Bukan BOP, tapi tabungan pendidikan, seingat saya tidak ada istilah BOP. Tabungan pendidikan setiap orang Rp 80 juta untuk tes CBT, OSCE, ujian nasional," urainya.
JPU lalu menggali lebih dalam alasan Bayu patuh pada sistem tersebut. Bayu mengaku tidak pernah mempertanyakan sistem tersebut dan hanya ngikut saja.
"Tabungan itu Rp 80 juta, kalau yang diserahkan ke Maryani itu BOP, Rp 40 juta per orang untuk pendidikan, waktu itu belum ada untuk apanya. (Ternyata) Untuk CBT. (Itu masuk tabungan?) Harusnya masuk," tuturnya.
Sementara itu, Saksi Kalika dicecar soal pengakuannya dalam BAP yang menyebut junior takut berkomunikasi dengan senior karena khawatir akan dihukum.
Sandhy menyinggung adanya pasal dan tata krama PPDS yang mengatur agar junior tak berkomunikasi dengan senior. Di persidangan, Kalika mengaku tidak pernah mengalami langsung peristiwa dimarahi atau dihukum berdiri.
"Kalau misalnya di OK (ruang operasi) kita bisa komunikasi langsung dengan senior. Karena kan di OK kita nggak mungkin diam-diaman, pasti butuh komunikasi. Di luar itu saya tidak bergaul dengan senior saya. Jadi tidak pernah ada komunikasi lagi," jelasnya.
Saat Kalika ditanya JPU mengapa tak pernah berkomunikasi dengan senior saat di luar OK, ia mengaku hanya karena tak ada kebutuhan untuk berkomunikasi dengan senior.
Namun, JPU kembali mencecar Kalika karena pernyataannya di persidangan dianggap berbeda dengan BAP yang menyebut bahwa junior takut berkomunikasi dengan senior.
"Berarti takut atau tidak? Karena di sini ada bilang takut komunikasi, takut salah ucap. Kalau memang kayak gitu saya mau tanya, memangnya pernah ada yang salah ucap dan apa hukumannya?" tanya Sandhy.
Kalika sempat terdiam cukup lama. Ia kemudian menjelaskan, komunikasi dengan senior memang terbatas dan dilakukan hanya saat berada di OK. Di luar itu, interaksi sangat minim dan diatur secara ketat. Namun ia mengelak senior pernah memaki-maki junior.
"Kalau memang tidak ada latar belakangnya, nggak ada yang pernah dimaki-maki karena salah ucap, kenapa takut?" jawab Kalika.
Selengkapnya baca di halaman berikut.
Kalika menjawab dirinya mematuhi aturan yang ada karena takut akan dihukum jika melanggar. JPU pun kembali mencecar Kalika.
"Pernah ada yang dihukum? Kok ada kepikiran gitu? Maaf, saya harus dalem nih karena jawabannya beda banget sama sebelumnya. Di BAP juga beda. Jadi saksi itu bukan cuma yang didalami, tapi yang dilihat dan didengar," tegasnya.
"Kalau Saudara bertahan sama saya tidak pernah (dihukum), ya sudah saya tanya, yang pernah Saudara lihat apa? Yang sudah pernah Saudara dengar apa?" tanyanya.
"Anda kan ini satu angkatan ramai-ramai, dihukum pun bisa ramai-ramai kan? Seringnya juga ramai-ramai kan? Salah satu kena semua kan? Masa nggak dilihat sebelahnya. Memangnya ruangan gelap?" desaknya.
Kalika pun hanya terdiam dan belum sempat menjawab pertanyaan. Sidang lantas diskors untuk istirahat. Selain Bayu dan Kalika, terdapat tiga saksi lainnya yang juga merupakan mahasiswa angkatan 77.
Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.