Sidang kasus perundungan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip) kembali memeriksa saksi-saksi. Kali ini, saksi yang dihadirkan adalah teman seangkatan mendiang dr Aulia Risma dari PPDS 77, dr Herdaru.
Dalam sidang, Herdaru mengungkapkan adanya budaya senioritas hingga beban finansial yang harus dialami para residen. Salah satunya, pungutan bulanan hingga Rp 20 juta per orang.
Selain itu, mereka juga harus melayani berbagai kebutuhan senior. Berikut fakta-faktanya seperti dirangkum detikJateng:
1. Jadi Kurir Saat Semester Pertama
Herdaru yang menjadi peserta PPDS Anestesi Undip sejak Juli 2022 bersama 10 dokter yang lain, termasuk dr Aulia, menuturkan sudah menerima pembekalan dari pihak kampus maupun rumah sakit. Hanya, dia bercerita saat semester pertama, mereka menjadi semacam kurir.
"Semester pertama siang bertugas semacam kurir antar-jemput, misal ada sarapan, itu list dari pagi, misal fotokopi itu kegiatan rutin," kata Herdaru di PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (18/6/2025).
Herdaru mengungkap perintah itu datang tidak hanya dari senior langsung. Namun juga dari angkatan PPDS Anestesi di atasnya, 76.
"(Perintah) Paling tinggi diberikan semester delapan. Biasanya disuruh print thesis," jelasnya.
Bahkan, ada pengarahan melalui Zoom yang dipimpin oleh senior dan juga terdakwa Zara Yupita Azra. Dalam pertemuan itu dibahas peraturan ketat, termasuk soal 'pasal anestesi', serta perlengkapan yang wajib disiapkan junior.
"Ada operan tugas, peraturan anestesi mulai dari yang sudah viral 'pasal anestesi', tata tertib, larangan residen," ungkapnya.
2. Singgung Adanya Iuran Kas Rp 20 Juta Per Bulan
Herdaru melanjutkan, setiap residen di Angkatan 77 diwajibkan menyetor kas Rp 20 juta per bulan. Uang tersebut dipergunakan membayar 'helper' dan 'mafia', yakni sebutan untuk pihak ketiga yang mereka rekrut untuk menyelesaikan tugas dari senior.
"Kesepakatan kami per bulan Rp 20 juta, sebulan biasanya dua-tiga kali. Setiap residen Rp 20 juta. Dengan jumlah 11 orang, berarti Rp 200 juta satu bulan," jelasnya.
"Salah satunya untuk ke mafia, misalnya menggaji helper. Helper itu ada 5 orang untuk mengerjakan tugas kasar membelikan makanan ke luar, misal beli ke warteg A, kami kan nggak bisa keluar," lanjutnya.
Herdaru menerangkan helper adalah mahasiswa S1 yang biasanya dibayar untuk mengerjakan jurnal maupun PowerPoint untuk tugas dari senior. Selain harus membelikan makanan, helper juga bertugas mengantarkan senior ke rumah sakit, bahkan memastikan mobil senior siap digunakan lengkap dengan bensinnya.
Ia menambahkan sistem tersebut merupakan warisan dari angkatan sebelumnya. Meski tengah cuti, dia juga menyerahkan iuran kas.
"Tetap ditarik. Kalau saya nggak bantu teman saya kasihan. Masih ditarik Rp 20 juta," jelasnya.
3. Mendiang dr Aulia Sempat Keluhkan Perilaku Senior
Dia memerinci struktur organisasi internal angkatan juga dibentuk dengan ketua, bendahara, dan seksi-seksi seperti seksi keilmuan dan seksi insul (instrumen alat medis). Semua bertujuan agar kerja-kerja informal antarangkatan bisa terorganisasi.
Herdaru juga menyampaikan almarhumah Aulia, sempat beberapa kali mengeluh soal beban tugas, dan perilaku senior.
"Jadi awal masuk sampai sempat cuti, saya rasa nggak ada perbedaan perlakuan. Tugasnya nggak jauh berbeda, masih ngasih makan, ngangkat kasur," jelasnya.
"Kemudian off lagi kedua, baru saya masuk lagi, itu sudah ada perubahan. Ada peristiwa instruksi menteri kalau nggak salah," lanjutnya.
(apu/afn)