Residen Anestesi Undip Ungkap Duit Kas Dipakai Bayar Joki Jurnal-Futsal Senior

Residen Anestesi Undip Ungkap Duit Kas Dipakai Bayar Joki Jurnal-Futsal Senior

Arina Zulfa Ul Haq - detikJateng
Rabu, 18 Jun 2025 20:03 WIB
Tersangka kasus PPDS Undip, Zara Yupita Azra dan Sri Maryani di ruang tahanan wanita PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (26/5/2025)
Tersangka kasus PPDS Undip, Zara Yupita Azra dan Sri Maryani di ruang tahanan wanita PN Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Senin (26/5/2025). Foto: Arina Zulfa Ul Haq/detikJateng
Semarang -

Sidang kasus perundungan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Universitas Diponegoro (Undip) dr Aulia Risma mengungkap fakta menarik. Residen PPDS Anestesi diminta setoran untuk keperluan joki hingga futsal seniornya.

Hal itu diungkap saksi dr. Deslia yang sebelumnya pernah menjadi bendahara angkatan. Dia mengaku beberapa kali mentransfer uang untuk joki jurnal untuk rekan angkatannya.

"Satu angkatan 14 residen. Satu bulan ratusan juta. Untuk makan dari situ, kalau ada yang cari jurnal, senior membutuhkan jurnal. Karena saya tak mengurusi itu saya nggak kerjakan. Saya hanya bagian transfer untuk joki, ada 20 kali," kata Deslia di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Kecamatan Semarang Barat, Rabu (18/6/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya itu, ia menyebut uang dari mahasiswa semester awal juga digunakan untuk kebutuhan senior. Mulai dari makanan, olahraga bahkan transportasi ke luar kota.

"Kalau ada acara keluar yang membiayai semester satu (walaupun yang berangkat senior)," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Deslia menjelaskan pada semester awal, residen diwajibkan membayar sejumlah uang, yang disebut sebagai 'kas angkatan'. Uang tersebut dipakai untuk berbagai kebutuhan non-akademik.

Jaksa Penuntut Umum (JPU), Sandhy Handika, lalu menanyakan soal rincian kegiatan non-akademik digunakan untuk futsal, kaus, dan konsumsi para senior. Deslia pun membenarkan hal itu, dan tak ada residen yang berani membantah.

"Semester satu untuk sewa lapangan dan snack," tutur Deslia menjawab pertanyaan jaksa soal siapa yang menyiapkan kebutuhan untuk futsal dan snack.

"Tidak ada (yang membantah) waktu itu. Iya (ada hukuman), hukuman tambah jaga, ikut operasi malam," sambung Deslia menjawab soal hukuman bagi junior yang membantah perintah.

Sanksi-sanksi ini, menurutnya, sudah menjadi kebiasaan turun-temurun di lingkungan residen. Dia lalu mengungkap adanya alokasi sebesar Rp 90 juta milik angkatannya yang digunakan untuk membayar ujian OSC angkatan lain.

"Rp 90 juta dari pendidikan angkatan 72 digunakan untuk pembayaran OSC angkatan 69," ujarnya.

"Saya nggak tanya, saya kira itu suatu sistem, artinya sudah bergiliran," terangnya.

Sebagai bendahara, Deslia mengaku bertugas membuat laporan jumlah saldo dan dilaporkan kepada Kaprodi Anestesiologi Taufik Eko Nugroho. Ia juga menyebut dirinya rutin menyetor uang kepada terdakwa Maryani, atas permintaan sejumlah dosen, dan pejabat pendidikan.

"(Yang memerintahkan minta duit siapa?) Itu Mbak Maryani. (Yang minta mengumpulkan siapa?) Mbak Maryani," terangnya.

"(Bentuk permintaan seperti apa?) Ada yang telepon, WhatsApp dan ketemu langsung. Cuma bilang minta uang untuk BOP. Untuk penyerahan uang, ambil cash dari bank terus diserahkan ke Mba Maryani secara tunai," lanjutnya.

Uang itu disebut berasal dari tiga sumber, yakni pembayaran ke universitas, BOP, dan kas angkatan. Saat ditanya apakah pernah mendapat tekanan atau ancaman nilai terkait pengumpulan uang, Deslia menegaskan tidak pernah mengalami hal itu.

Sebelumnya diberitakan, sidang perdana kasus PPDS Undip telah dilaksanakan Senin (26/5/2025). Terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani yang memungut BOP sebesar Rp 80 juta per mahasiswa didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Sementara Terdakwa Zara, yang merupakan senior sekaligus 'kambing' alias kakak pembimbing angkatan Aulia, didakwa melakukan pemaksaan dan pemerasan terhadap juniornya di PPDS Anestesi Undip. Atas perbuatannya, Zara didakwa melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dan Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang Pemaksaan dengan Kekerasan.




(ams/rih)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads